Friday, December 20, 2019

Gerakan Perlawanan di Surakarta dan Yogyakarta 1830 – 1870


  
1.  Munculnya gerakan peri-peri dan semi peri-peri di Surakarta dan Yogyakarta
Gerakan peri-peri dan semi peri-peri di Surakarta dan Yogyakarta merupakan suatu gerakan yang dilancarkan untuk melampiaskan kekecewaan rakyat terhadap tatanan kehidupan yang berantakan, tidak adil dan merugikan rakyat.

 Sering terjadi intrik dan perebutan kekuasaan akibat dari ambisi-ambisi egois para ningrat. Kraton berubah menjadi kebarat-baratan.

Gerakan-gerakan di Surakarta dan Yogyakarta disebabkan oleh beberapa faktor :
·                         Pertama, karena kondisi ekonomi rakyat yang pada saat itu sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kondisi perekonomian para tuan tanah, Aristokrat dan tentunya orang-orang Belanda.
Rakyat juga menganggap bahwa kekayaan yang mereka peroleh itu didapatkan dengan cara yang kotor dan melanggar hukum. Mereka tidak mempedulikan rakyat atau pegawai yang telah bekerja keras untuk mereka. Para ‘majikan’ itu hanya mementingkan diri sendiri dan sibuk dengan dunia politik untuk sekedar memperkuat kedudukan. Hal itu mendorong banyak orang untuk merampok dan mencuri.

·                         Kedua, adanya jargon-jargon Mesianis yang dianut sebagian besar rakyat yang bergabung dengan kekuatan dari ‘orang-orang yang tersingkirkan’.
Jargon-jargon Mesianis seolah-olah menjadi dasar pemikiran rakyat bahwa keadaan yang sekarang ini sudah kacau, mereka lalu beranggapan bahwa dengan melancarkan serangan-serangan, keadaan bisa berubah dan kehidupan mereka akan menjadi lebih baik.
Sedangkan ‘orang-orang yang tersingkirkan’ berpikir untuk mengembalikan lagi keadaan atau kedudukan mereka dahulu.

·                         Ketiga, kecilnya upah polisi tingkat rendahan sehingga para polisi rendahan itu tidak memiliki etos kerja dan semangat yang tinggi untuk mengabdi kepada Negara.
Gaji yang kecil membuat mereka mudah untuk disuap oleh orang-orang tertentu untuk memuluskan rencana jahat mereka. Hal itu membuat para polisi rendahan sering menyimpang dan melalaikan tugasnya. Akibatnya gerakan-gerakan yang dilancarkan oleh rakyat sering dibiarkan, barang-barang curian sangat jarang yang terlacak dan barang-barang berharga yang digadaikan untuk meminjam uang sering lenyap.

·                         Keempat, adanya desas-desus yang mengatakan Pangeran Diponegoro Anom sedang berupaya membentuk pasukan pengikut disekitarnya. Juga beredar kabar akan kembalinya Pangeran Diponegoro dan Senthot ke Jawa untuk memulai perang baru.
Kedua kabar tersebut telah membangitkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial yang selama ini telah menindas dan memperlakukan mereka secara tidak adil. Kebencian dan ketidakpuasan yang diakibatkan oleh kemiskinan telah membelenggu kehidupan rakyat kecil.

·                         Kelima, pengaruh provokasi dan tulisan-tulisan yang sifatnya menghasut, serta pandangan orang Jawa yang sangat percaya pada kekuatan supernatural yang dimiliki oleh pemimpin mereka sehingga rakyat mudah terpengaruh dengan ajakan pemimpin mereka untuk melakukan pemberontakan.
Rakyat berpikir bahwa jika pemimpin mereka mempunyai kekuatan supernatural, maka kekuatan mereka akan menjadi lebih tangguh, dengan demikian rakyat menyerang dengan penuh semangat dan percaya diri.

·                         Keenam, bangitnya semangat Islam sebagai akibat dari kemenangan Turki atas Rusia dalm Perang Crimean (1854-1856), berkembangnya ibadah haji dan meningkatnya jumlah Tarekat (persaudaraan mistis Muslim).
Hal ini mendorong rakyat berusaha untuk mengembalikan Islam ke dalam kehidupan baik di Kraton maupun di kalangan masyarakat biasa. Usaha ini tidak akan terwujud jika orang asing (Belanda) masih berkeliaran disana-sini dan satu-satunya jalan ialah dengan melancarkan serangan-serangan untuk mengusik kehidupan orang-orang Belanda agar mereka tidak betah dan kemudian pergi.

·                         Ketujuh, adanya surat perintah dari Pakubuwana IX agar seluruh rakyat bersatu membentuk kekuatan untuk mengusir Belanda dari tanah Jawa.
Rakyat Jawa harus bersatu juga dengan orang-orang asing yang ada di Jawa, semisal orang Cina, orang Khoja, Lucik, Bugis dan Sipahi. Jika mereka tidak mau membantu,untuk mengusir Belanda, sebaiknya dibunuh saja sekalian. Adanya surat perintah itu membuat semangat rakyat semakin tinggi untuk melancarkan serangan-serangan ke pihak Belanda. Hal ini seakan-akan menjadi penegas bahwa tindaan yang mereka lakukan adalah benar dan mendapat restu dari raja.

2.  Landasan pemikiran yang memicu kemunculan gerakan-gerakan
Landasan utama yang mendasari munculnya berbagai gerakan peri-peri dan semi peri-peri di Yogyakarta adalah masalah perpolitikan atau keadaan politik di kedua Kraton yang banyak dipengaruhi dan dicampuri oleh Belanda dan akhirnya berimbas pada keadaan ekonomi rakyat. Perbuatan Belanda sekilas memang terpusat atau terkonsentrasi di lingkungan Kraton namun akibat yang ditimbulkan menjalar kemana-mana.

Akibat dari campur tangan Belanda di lingkungan Kraton ialah terjadi perpecahan pada tubuh birokrasi Kraton, dimana sebagian dapat disuap untuk membantu segala urusan dan kepentingan Belanda. Sedangkan disisi lain, para pejabat yang tidak pro dengan Belanda sengaja disingkirkan dengan cara-cara licik dan hasutan ala Belanda.

Di dalam Kraton sendiri, sering terjadi intrik dan perebutan kekuasaan akibat dari ambisi-ambisi egois para ningrat. Para ningrat saling berlomba-lomba untuk cari muka dihadapan para penguasa guna memperkuat keduduan mereka agar tidak ikut ditendang oleh Belanda.

Orang-orang yang tersingkir karena hal diatas tidak terima dan kemudian berusaha untuk mendapatkan kembali kedudukan mereka dahulu. Usaha mereka untuk ‘kembali’ tidak akan terlaksana jika Belanda masih ada di Kraton, baik Surakarta atau Yogyakarta sehingga mereka melancarkan serangkaian serangan untuk mengusir Belanda dari lingkungan Kraton.

Para pejabat atau birokrat yang tersingkir dari Kraton otomatis akan kehilangan kedudukan dan pekerjaannya padahal banyak rakyat yang bekerja pada mereka sebelumnya. Dengan begitu para buruh sudah pasti juga kehilangan pekerjaannya.

Sebagian mantan buruh yang tahu bahwa yang mereka alami adalah akibat dari ulah Belanda dan tidak memiliki keterampilan hidup terpaksa merampok dan mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Banyaknya pengangguran dan para Kecu dimanfaatkan para tersingkir untuk memprovokasi mereka agar mau bergerak menyerang Belanda dengan berbagai alasan. Ada yang karena jargon Mesianis, ada yang berdasar semangat jihad dan sebagainya.

3.  Gerakan peri-peri dan semi peri-peri merupakan Sinergi antara Elit Kraton, Ulama dan Santri
Gerakan peri-peri dan semi peri-peri merupakan sinergi antara Elit Kraton, Ulama dan Santri karena ketiga golongan tersebut terlibat dan saling terkait dalam gerakan peri-peri dan semi peri-peri. Dalam kedua jenis gerakan itu, masing-masing golongan memiliki kepentingan yang agak berbeda satu sama lain, namun demikian melakukan cara yang hampir sama guna mencapai tujuan masing-masing.

Elit Kraton, yakni mereka yang tersingkir berusaha untuk memperoleh kembali kedudukan mereka sehingga melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Ulama, gerakan-gerakan golongan ini didasari oleh kebangkitan Islam, dimana pada masa itu adalah saat-saat berkembangnya ibadah haji dan meningkatnya jumlah Tarekat. Golongan ini juga yang paling menentang terhadap program Kristenisasi yang dijalankan Belanda kepada masyarakat Jawa.

Para Ulama seperti biasa dalam segala pergerakan dan usahanya selalu didukung oleh para santri mereka. Ulama menginginkan Islam kembali kepada rakyat namun jika Belanda belum angkat kaki dari tanah Jawa, tentu usaha para Ulama tidak akan berhasil.

Ketiga golongan tersebut memiliki tujuan yang hampir sama. Saat Kraton mulai kebarat-baratan dan dipenuhi dengan intrik politik dari berbagai pihak, para penggerak tersebut sangat menginginkan adanya restorasi terhadap tatanan kehidupan pada masa itu yang mulai berubah.

Mereka juga menginginkan suatu pembaruan kekuasaan kerajaan, yakni kembali pada konsepsi Klasik, dimana Elit politik mendapatkan kembali kedudukannya yang seperti dahulu, sedangkan Ulama tetap dapat menyiarkan dan menegakkan syariat Islam tanpa adanya satu gangguan dari pihak lain terutama Belanda.

 Mungkin antara Ulama dan Elit politik belum ada kerjasama yang nyata secara bersama dalam pergerakannya, namun kedua golongan itu dapat saling mengisi dalam pergerakan dan serangan yang mereka lancarkan guna mengusir Belanda dari lingkungan Kraton, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...