Misteri
tentang kisah Syekh Siti Jenar seolah-olah selalu menarik untuk diulas.
Terlebih lagi jika keberadaan Syekh Siti Jenar dikaitkan dengan pemahaman
konsep ketuhanannya yang dianggap menyimpang dari pemahaman 9 wali atau Wali
Songo.
Adalah
KH. Shohibul Faroji Al-Robbani, seorang cendekiawan muslim yang berasal dari
Banyuwangi, membeberkan fakta-fakta baru yang membantah mitos kekeliruan
pemahaman tentang sosok Syekh Siti Jenar selama ini. Dalam sebuah artikelnya,
ada lima poin tanggapan yang dipaparkan oleh Shohibul Faroji Al-Robbani yang
membantah fakta sejarah tentang Syekh Siti Jenar.
Pertama, mengenai anggapan
bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Menurut Shobil Faroji, sejarah ini
bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti
referensi yang kuat bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah
sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat Jati
menceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu
salah.
“Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat
jelata, bertempat tinggal di Desa Lemah Abang,” jelasnya.
Kedua, tentang ajaran
Manunggaling Kawulo Gusti yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh
beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias
ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk
Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’.
Fana’
Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah
Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah yang
berarti segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah. Syaikh
Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid
Qur’ani dan Tauhid Syar’i.
Ketiga, dalam beberapa buku
diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan sholat, puasa Ramadhan, sholat
Jumat, dan haji. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya,
ia berkata,
“Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun,
saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal
syari’at Islam sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar
adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti
berdzikir ‘Allah, Allah, Allah…’ dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia
putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat
dia meninggalkan sholat Jumat” bela Syaikh Burhanpuri pada gurunya.
Keempat, tentang kematian
Syaikh Siti Jenar yang dibunuh oleh Wali Songo dan mayatnya berubah menjadi
anjing.
“Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah,
seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut
Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis
menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih”.
Dalam
teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia
dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan
riwayat para habaib, ulama, kiai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya.
Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud
di pengimaman Masjid Agung Cirebon setelah sholat Tahajjud. Kemudian para
santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh,“ terang
Shohibul Faroji.
Kelima, tentang cerita
bahwa Syekh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki
literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar
kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron.
“Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah
Jawa. Padahal dalam Maqaashidussyarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara
kehidupan. Tidak boleh membunuh seorang jiwa mukmin yang di dalam hatinya ada
Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin sembilan waliyullah yang suci dari
keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama.
Tidak bisa diterima akal sehat,” tegas Shohibul Faroji membantah beberapa fakta yang
selama ini keliru dipahami oleh masyarakat tentang Syekh Siti Jenar.
Penghancuran
sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia, Azyumardi Azra adalah ulah
penjajah Belanda untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni
dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan, menurut
Azyumardi Azra, Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan
Politik Devide et Empera (Politik Pecah Belah) dengan tiga kelas, yaitu kelas
santri yang diidentikkan dengan 9 Wali, kelas Priyayi yang diidentikkan
dengan Raden Fattah dan Sultan Demak. Kemudian kelas Abangan yang diidentikkan
dengan Syekh Siti Jenar.
Riwayat singkat
Syaikh Siti Jenar
Nama
asli Syaikh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di
Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan
ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia
mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah
Brit.
Syaikh
Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru
kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti
Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian
ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah
dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat
menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad
Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah
Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya
bermukim di Malaka.
Kemudian
pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar
Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid
Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada
akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon.
Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah
Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam
Kesultanan Cirebon.
Sayyid
Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu
itu berusia 20 tahun. Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru
kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan
Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah
wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai
Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di
antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali
Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment