HASTABRATA
Wahyu
Makutha Rama yang dikenal dengan nama ajaran HASTABRATA yang artinya HASTA
adalah 8 dan BRATA adalah tingkah laku atau watak. Jadi HASTABRATA adalah
merupakan 8 guidance (pedoman) ilmu standard perilaku manusia dalam leadership
& Manajemen.
Pertama
ilmu HASTABRATA telah di-wejangkan oleh Raden Regowo (Titisan Bhatara Wisnu)
dari Ayodya kepada adiknya Barata sebelum dinobatkan menjadi raja di Ayodya
bergelar Prabu Barata (Dalam Cerita Romo Tundung).
Yang
kedua oleh Raden Regowo juga (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada Raden
Wibisono sebelum dinobatkan menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi
Sindelo bergelar Prabu Wibisono (Dalam Cerita Bedah Alengko).
Yang
ketiga Sri Bathara Kresna (Juga Titisan Bhatara Wisnu) dari Dworowati
mewejangkan rahasia ilmu HASTABRATA (Dalam Cerita Wahyu Makutoromo) kepada
Raden Arjuna, sebagai penengah Pendawa yang telah menjalani “Perilaku” prihatin
dengan cara bertapa.
Dikatakan
bahwa ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku
sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin
negara dan bangsa dengan implementasi prinsip-prinsip hukum alamiah.
Ajaran
HASTABRATA berisi 8 ajaran perilaku yang harus dipunyai seorang pemimpin, yang
terdiri dari sbb;
1. Watak Surya atau matahari diteladani oleh Bhatara Surya
Matahari
memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan yang membuat semua makhluk
tumbuh dan berkembang.
Seorang
pemimpin hendaknya mampu menumbuh kembangkan daya hidup rakyatnya untuk
membangun bangsa dan negara dengan bekal lahir dan batin untuk dapat tetap
berkarya. Seorang pemimpin harus
menjadi titik api yang sama. Dialah sumber inspirasi, semangat dan motivasi
bagi para pengikutnya.
2. Watak Candra atau Bulan diteladani oleh Bhatari Ratih
Bulan
memancarkan sinar kegelapan malam. Cahaya bulan yang lembut dan tidak menyilaukan mampu menumbuhkan
semangat dan harapan-harapan yang indah.
Pemimpin yang berwatak bulan memberi pencerahan di kala
gelap, memberi kehangatan di kala susah, memberi solusi saat masalah dan
menjadi penengah di tengah konflik. Seorang pemimpin yang diteladani, justru
disaat krisis dan masa-masa sulit harus bisa menjadi bulan.
3. Watak Kartika atau Bintang diteladani oleh Bhatara Ismoyo
Bintang
memancarkan sinar indah kemilau, mempunyai tempat yang tepat di langit hingga
dapat menjadi pedoman arah.
Seorang
pemimpin hendaknya berwatak bintang
dalam artian dapat menjadi suri teladan (Ing Ngarso Sun
Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut wuri Handayani). Mampu menjadi panutan dan memberi petunjuk bagi orang yang dipimpinnya.
Pendirian yang teguh karena tidak pernah berpindah, serta bisa menjadi pedoman
arah dalam melangkah.
4. Watak Angkasa yaitu Langit diteladani oleh Bhatara Indra
Langit itu
luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.
Seorang
pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan mengendalikan diri
yang kuat, hingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang
bermacam-macam.
5. Watak Maruta atau Angin diteladani oleh Bhatara Bayu
Angin selalu
ada di mana-mana, tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang
kosong.
Seorang pemipin harus mampu menembus semua celah tatanan
masyarakat. Bagaikan angin, ia mampu berhembus kemana saja, dan bergaul dengan
siapa saja, selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan
derajat dan martabatnya.
Mampu mengetahui
keadaan dan keinginan rakyatnya sehingga juga bisa memahami dan menyerap aspirasi
rakyat. Pemimpin juga tak
pernah lelah bergerak dalam mengawasi orang yang dipimpinnya.
6. Watak Samudra yaitu Laut atau Air diteladani oleh Bhatara Baruna
Laut,
betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yang rata dan bersifat sejuk
menyegarkan.
Seorang
pemimpin hendaknya menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama,
sehingga dapat berlaku adil, bijaksana, dan penuh kasih sayang terhadap
rakyatnya. Jadi seorang pemimpin
harus mempunyai pandangan luas, mampu menerima
berbagai macam
persoalan, bisa berbesar jiwa dengan memaafkan kesalahan orang lain, serta menjadi muara bagi
semua pengikutnya.
Api
mempunya kemampuan untuk membakar habis dan menghancur leburkan segala sesuatu
yang bersentuhan dengannya.
Seorang
pemimpin hendaknya berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan
secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu. Di samping tegas, seorang pemimpin
harus mempunyai prinsip
konsisten serta dapat
menahan emosi atau mengendalikan diri.
Bagaikan api, seorang pemimpin harus mampu membakar jika
diperlukan. Jika terdapat resiko yang mungkin bisa merusak organisasi,
kemampuan untuk merusak dan menghancurkan resiko tersebut sangat membantu untuk
kelangsungan oraganisasi.
Bumi adalah simbol kesabaran dan kesuburan. Bumi
menawarkan kesejahteraan bagi seluruh mahkluk hidup yang ada di atasnya. Bumi
mempunyai sifat kuat dan bermurah hati. Selalu memberi hasil kepada siapa pun
yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun.
Seorang
pemimpin hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan
senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan rakyatnya. Selalu bersikap membumi dan sederhana.
A. LAKON “WAHYU MAKUTARAMA”
1. Pengantar
Lakon “Wahyu Makutarama” adalah bukti kepiawaian para
pujangga Nusantara dalam mengadopsi cerita wayang, yang aslinya dari India.
Epos India terdiri dari “Ramayana” dan “Mahabharata”. Lakon “Wahyu Makutarama” adalah hasil
karya leluhur Nusantara kita, merupakan “titik temu” atau “jembatan penghubung”
antara kedua kisah tadi, Dalam
lakon ini ada tokoh Gunawan Wibisana dan Anoman, tokoh dalam kisah Ramayana.
2. Ringkasan lakon “Wahyu Makutarama”.
Syahdan, para dewa mengabarkan kepada para insan
marcapada, bahwa telah ada Mahkota yang diberi nama Sri Batara Rama. Barang siapa memiliki mahkota itu, akan
menjadi sakti, dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di
marcapada. Karena berkhasiat menurunkan raja-raja, kemudian sering disebut
sebagai “Wahyu Makutarama”.
Prabu Duryudana dari Astina mengutus Adipati Karna untuk
memperoleh mahkota sekaligus wahyu tadi. Adipati Karna, dengan diiringi para
senapati Kurawa, pergi menemui Begawan Kesawasidi di pertapaan Kutharunggu.
Karna meminta wahyu itu, yang diyakininya berada di tangan
Kesawasidi. Kesawasidi mengatakan dia tidak punya Makutarama. Adipati Karna
marah, dan melepaskan panahnya, yang disambut oleh Anoman, pendamping
Kesawasidi. Panah itu ditangkap Anoman, kemudian dipersembahkan kepada
Kesawasidi. Bukannya dipuji, Anoman malah ditegur Kesawasidi, karena, dapat
dipandang sebagai meragukan kepiawaian kanuragan gurunya.
Setelah Karna pergi, datanglah Begawan Wibisana, adik
Rahwana, yang sudah berusia lanjut dan ingin segera meninggalkan dunia, kembali
ke alam asal. Tidak dilayani oleh Kesawasidi, hingga terjadi pertempuran.
Kesawasidi “tiwikrama”, dan sadarlah Wibisana bahwa Kesawasidi titisan Rama, bekas junjungannya
dulu.
Kesawasidi memberi petunjuk cara kembali ke alam asal.
Wibisana pamit, dan dalam perjalanan ke alam asal bertemu sukma Kumbakarna,
kakaknya dulu, yang sedang gelisah. Wibisana menasehati Kumbakarna supaya
menyatu dengan Bima, ksatria Pandawa.
Sementara itu, Arjuna juga berupaya mendapatkan
Makutarama. Dia pergi diam-diam dari istananya, kemudian menyamar sebagai
pendeta. Selagi bersemedi, Arjuna mendapat “wangsit” untuk menemui Begawan
Kesawasidi. Setelah
Arjuna datang menghadap, tahulah Kesawasidi bahwa sudah tiba saatnya memberikan
wahyu itu kepada orang yang tepat.
Diwedarkannya rahasia bahwa Makutarama bukanlah berujud
benda, tetapi berupa ajaran luhur yang patut dijadikan pedoman dan dilakoni
oleh manusia, terutama yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Ajaran luhur ini
dinamakan “Hasta
Brata”, yang intinya meneladan sifat-sifat alam dalam melakoni kehidupan. Hasta Brata ini dulunya diajarkan Rama
kepada Wibisana, sepeninggal Rahwana, sebagai bekal bagi Wibisana menjadi raja
Alengka menggantikan Rahwana.
Sepeninggal Arjuna, Bima mencarinya. Dalam pencarian itu,
ketemu sukma Kumbakarna, yang kemudian merasuk ke paha kiri Bima. Istri Arjuna,
Sumbadra, juga mencari Arjuna. Sumbadra dibantu Betara Narada, dan berubah rupa
menjadi ksatria, yang kemudian pergi ke Kutharunnggu menantang perang Arjuna. Dalam perang tanding itu, Kesawasidi
datang. dan “badar” lah semuanya. Kesawasidi kembali ke wujud Kresna, sang
ksatria penantang kembali menjadi Sumbadra.
Arjuna mewarisi wahyu Makutarama berupa ajaran Hasta Brata, yang kelak diwariskan
kepada puteranya, Abimanyu. Anak Abimanyu, Parikesit, belakangan mewarisi tahta
kerajaan Hastina.
B. “HASTA BRATA”.
1. Inti ajaran Hasta Brata.
Ajaran Hasta Brata pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah
Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat,
tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya
diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana.
Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama
sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu,
namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya
yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di
kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan.
Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana
yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang
bersama bala tentaranya.
Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana.
Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa
yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang
disebut dengan Hasta
Brata.
Dalam lakon
Wahyu Makutarama, Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk melestarikan Hasta Brata dan menurunkannya kepada Arjuna.
Setelah itu, Hasta
Brata
diturunkan oleh Arjuna kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang
kemudian menjadi Raja.
Hasta
Brata
adalah simbol alam semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi
sejatinya menyiratkan keharmonisan sistem alam semesta.
Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut merupakan
manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang diciptakan
Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan
terhindar malapetaka. Bila manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan
alam semesta, maka selaraslah kehidupannya.
Delapan simbol alam itu adalah : bumi, geni, banyu, angin, srengenge,
bulan, lintang, dan awan. Mengambil kedelapan simbol alam sebagai contoh, itu
lah inti ajaran Hasta
Brata,
sebagai pedoman tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum
sebagai:
“Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada
warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat
bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh
warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi warganya yang memerlukan;
mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan
maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat
memberikan pelita bagi warganya.”
2. Beberapa versi rumusan Hasta Brata
a. Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta:
Hasta Brata adalah delapan prinsip
kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu:
1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)
Seperti
halnya bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber
kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya
dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan
segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.
2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti
sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin.
Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan
riil rakyatnya. Rakyat akan merasa
sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu
diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam
membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin,
tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas
yang diembannya sendirian.
3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin)
Seperti
halnya sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada
siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya
dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan).
4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan)
Seperti
sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati
rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak
menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena
aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.
5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari)
Seperti
sifat matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat.
Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi
atas masalah yang dihadapi rakyatnya.
6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra)
Seperti
sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah)
dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir
pantai. Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan
ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan,
dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih
sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.
7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung)
Seperti
sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki
keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela
kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus
memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang
pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi
yang dapat menyuburkan tanah.
8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api)
Seperti
sifat api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati
dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan,
dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya.
b. Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga Warsita.
Pemimpin
dituntut ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam. Hasta
berarti delapan, brata berarti laku atau watak.
1. Watak
Surya atau srengenge (matahari); sareh sabareng karsa, rereh ririh ing
pangarah.
2. Watak
Candra atau rembulan (Bulan); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing
budi jatmika, prabawa sreping bawana.
3. Watak
Sudama atau lintang (Bintang); lana susila santosa, pengkuh lan kengguh
andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana,
setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola
wali.
4. Watak
Maruta atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen
amariksa tumindake punggawa kanthi cara alus.
5. Watak
Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener sajroning paring ganjaran, jejeg lan
adil paring paukuman.
6. Watak
Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen reresik regeding bawana, kang arungkut
kababadan, kang apateng pinadhangan.
7. Watak
Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah paring pangapura, adil paramarta.
Basa angenaki krama tumraping kawula.
8. Watak
pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah adedana lan karem paring bebungah
marang kawula.
c. Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut :
1. “kapisan
bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya
kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang
kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape
ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga
dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.
2. Kapindho
hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng,
sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi anawuraken
raras rum sumarambah marang saisining bawana.
3. Katelu
hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri.
Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan,
puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating
sagung dumadi.
4. Kaping
pate hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris,
kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda
midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih
lamun ala antuk pidana, yen becik antuk nugraha.
5. Kalima
ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune
titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh
winengku ing maruta.
6. Kaping
nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora
mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming
nagara.
7. Kasapta
hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing
samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya
pikukuh hamimbuhi santosa.
8. Kaping
wolu hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege
para wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah.
Kepala negara atau raja yang ideal adalah orang yang
adil, berwibawa, murah hati pada rakyat dan dicintai para ulama. Kewibawaan,
keagungan, dan kebijaksanaan raja diceritakan sebagai berikut :
“Narendra ingkang kinasih Dewa, kinawula ing Widadari, cinedhak ing
brahmana, lan kinacek sesamaning agesang / adasih / Narendra. Narendra guna ing
aguna tan ngendhak gunaning janma, paring payung kang kudanan, paring teken
kang kelunyon, paring obor kang kepetengan”
‘Raja yang dikasihi para Dewa, diperhamba Bidadari, dekat dengan Pandhita
[orang bijak], dan disegani sesama Raja. Raja yang menguasai pengetahuan luas
namun tak merendahkan pengetahuan orang lain, memberi payung siapa yang
kehujanan, memberi tongkat orang yang kelicinan, memberi pelita orang yang
kegelapan’.
Raja yang melaksanakan 8 Laku yang dikenal sebagai Hasta
Brata tersebut akan mampu membawa bangsa & negara menujiu kemakmuran
seperti yang diceritakan Dalang :
“nagari ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah
loh jinawi tata tentrem karta raharja”
‘suatu negara yang terbentang luas lautan dan
pegunungannya, ramai pelabuhan dan perdagangannya, murah sandang pangan, subur
makmur, tertib tentram damai, jauh dari laku kejahatan’.
C. NILAI DAN
TELADAN
a. Relevansi Hasta Brata dengan ajaran serupa di dunia Internasional.
Ada banyak rumusan Hasta Brata. Bahkan, pernah dijadikan pelajaran
wajib di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Apakah ajaran ini bersifat Universal, dalam arti tidak
hanya dihayati bangsa Indonesia saja ?
Ternyata, memang benar. Ajaran Hasta Brata bersifat Universal, dikenal
pula di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda sebutan dan rumusannya.
Berupa apa sifat ajaran Universalnya? Yaitu, bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam.
Di Negeri China, Korea, dan Jepang dikenal “Fengshui”
(harfiahnya Angin dan Air), yang berlandaskan teori lima proses: Logam, Kayu,
Tanah, Air, dan Api.
Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api,
Tanah, Air, Udara (Angin) dan Ruang. Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Hasta Brata lebih lengkap? Ternyata, tidak sesederhana itu. Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam
ajaran Hasta
Brata? Tanpa
ruang, di manakah ke unsur-unsur alam itu berada?
Makna :
Tidak semua yang terlihat berbeda itu benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan
kita untuk bisa melihat, bahwa ada kesamaan di antara perbedaan.
b. Esensi Makna Hasta Brata
Hasta
Brata bukan hanya berlaku bagi para pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya
mengamalkannya, dalam arti “hidup selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran
yang diembannya, sehingga memberi manfaat bagi sesama”.
Seorang pemimpin yang tidak mampu melaksanakan Hasta Brata bagai raja tanpa mahkota.
Sebaliknya, rakyat jelata yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Hasta Brata, berarti ia adalah rakyat
jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi pekertinya.
c. Peran kepemimpinan Hasta Brata
Berbagai peran yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar mendapat dukungan secara mantap dan
bertahan lama, hendaknya berpegang pada sifat kepemimpinan yang dijalankan oleh
Sri Rama yang disebut Hasta Brata tadi.
Seorang pemimpin harus
dapat menjadi perhatian. Bila kepemimpinannya tidak baik, tidak jujur dan
berbuat korupsi jelas tidak mungkin dan tidak perlu menjadi panutan. Perilaku pemimpin
Jawa yang dapat menjadi panutan harus mampu berperan atau berfungsi sebagai
:
1.
Komandan. Pemimpin harus mampu memerintah anak buahnya, bertindak tegas dan
berani tampil ke depan. Ia harus berdisiplin diri sebelum mendisiplinkan anak
buahnya, memberi arahan dan perintah disertai dengan petunjuk dan pedoman yang
jelas.
2. Pelopor. Pemimpin harus kreatif, penuh inisiatif dan bila
perlu tampil ke depan untuk membuka jalan dan mengatasi masalah yang timbul.
Sebagai pelopor, pemimpin harus memiliki intelegensi yang cukup tinggi, cakap
dan pandai mengatur strategi.
3. Bapak. Seorang pemimpin harus bijaksana dan adil.
Pemimpin harus mengayomi anak buahnya, memberi harapan kehidupan yang bahagia
dan menjamin kesejahteraan seluruh anak buahnya. Pemimpin harus mampu
menciptakan suasana tenang, tentram dan damai sehingga anak buahnya dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Selain itu harus dapat membimbing anak
buahnya agar dapat mandiri dan bekerja benar.
4. Ibu. Seorang pemimpin harus memiliki rasa kasih sayang.
Ia harus dapat menampung aspirasi, keluhan, laporan dan informasi dari anak
buahnya untuk dianalisa sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
5.
Guru. Seorang pemimpin dituntut mampu memberikan pendidikan, pengajaran dan
pelatihan pada anak buahnya guna kaderisasi. Guru merupakan sumber ilmu,
karenanya seorang pemimpin harus selalu belajar agar ilmu pengetahuannya
berkembang dan mempunyai visi yang jauh ke depan. Sebagai guru, seorang
pemimpin harus sabar dan dapat menilai secara obyektif hasil karya anak
buahnya.
6. Pandita. Seorang pemimpin harus taat dalam menjalankan
ibadahnya dan mendorong anak buahnya untuk melaksanakan ibadahnya sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing. Pemimpin harus menanamkan moral,
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
7. Sahabat. Seorang pemimpin tidak perlu menjaga jarak
dengan menjauhkan diri dari anak buahnya. Sebagai sahabat, seorang pemimpin
harus memiliki keakraban, tenggang rasa, berdialog dalam memecahkan masalah
yang terjadi. Dengan keakraban, anak buah merasa dihargai sehingga timbul
motivasi untuk bekerja lebih giat dan bersemangat.
8. Satria. Seorang pemimpin harus melindungi dan mau
berkorban demi kebahagiaan anak buahnya. Yang terpenting dari seorang satria
adalah rasa malu untuk berbuat curang, menyeleweng, melakukan korupsi
dan menyalahgunakan wewenang. Inilah yang perlu dikembangkan sebagai peminpin
panutan.
No comments:
Post a Comment