A.
Biografi
kehidupan dan karier bermusik
1. Gesang
muda menyukai Seni dan Olah Raga
Gesang atau lengkapnya Gesang Martohartono lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1 Oktober
1917. Gesang adalah seorang penyanyi dan pencipta lagu yang juga di kenal
sebagai maestro keroncong Indonesia dan terkenal melalui lagu Bengawan Solo. Maestro bukan gelar
akademisi, bukan pula jabatan yang diraih berdasarkan pilihan suara terbanyak.
Maestro adalah sebuah hasil prestasi dari sebuah perjuangan dan pengabdian yang
nyata.
Nama Gesang kecil ialah Sutadi, namun sewaktu kecil
sering sakit-sakitan. Orang tua
Sutadi kemudian
mengubah nama Sutadi menjadi Gesang Martohartono untuk melukiskan harapan orang
tuanya yang menginginkan Gesang terus hidup. Gesang dalam bahasa Jawa artinya
hidup.
Gesang awalnya bukanlah seorang pencipta lagu, namun sejak kecil telah
menyenangi musik. Gesang
dahulu hanya
seorang penyanyi lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan di Solo.
Gesang
adalah anak kelima dari 10 bersaudara dari keluarga Martodiharjo. Pada awalnya
Keluarga Martodiharjo memiliki kehidupan yang cukup makmur sebagai pengusaha batik di kota Solo dan Gesang senang dengan kondisi
keluarganya pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, usaha Batik tersebut
mengalami pasang surut karena keadaan sosial-politik di Solo dan pada akhirnya terhenti.
Mengalami kehidupan yang tidak menentu akibat adanya goncangan
sosial-politik, maka penderitaan masyarakat di jaman penjajahan sangat
dirasakan sehingga hampir setiap anak pribumi menjalani kehidupan yang tidak layak, termasuk Gesang kecil.
Keluarga Gesang bukan berasal dari keturunan seniman, namun ayah Gesang,
memiliki suara yang merdu sehingga bakat menyanyi itu menurun kepadanya. Gesang
terkesan dengan ayahnya yang sering ura-ura
untuk menghiburnya ketika Gesang sakit. Gesang kecil yang hidup di masa
penjajahan, mengenyam pendidikan
di Standard School atau Sekolah Rakyat (SR)
Ongko Loro di daerah Punggawan, Solo,
sampai kelas V.
Masa sekolah Gesang tidak begitu gemilang, namun Gesang tidak minder dan cukup
bangga karena pada masa itu jarang ada seorang anak pribumi yang bisa sekolah
sampai kelas V.
Masa kanak-kanak Gesang tidak banyak diingat karena Gesang kecil hidup
di masa penjajahan Kolonial Belanda. Ayah Gesang dengan tegas melarang
anak-anaknya menekuni dunia seni, karena profesi di bidang tersebut dipandang
tidak akan menjanjikan masa depan yang cerah.
Pelarangan menekuni bidang seni tersebut karena kehidupan seniman
keroncong pada sekitar tahun 1920-an identik dengan kemiskinan. Seniman
keroncong di mata masyarakat lekat dengan hura-hura, minuman keras, judi dan
hal-hal buruk lainnya.
Darah seni yang mengalir dari ayah Gesang tidak mendapat saluran yang
tepat, sehingga naluri seni yang dimiliki Gesang lebih banyak dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar dan tekad kuat dalam dirinya. Gesang setelah selesai sekolah
tidak berpangku tangan dan secara otodidak
belajar apa saja kepada orang-orang tertentu tentang segala pengetahuan
termasuk belajar musik.
Gesang
menyukai seni karawitan atau gendhing-gendhing Jawa sebelum menekuni keroncong.
Gesang kemudian memutuskan pindah ke jalur musik keroncong karena seni
karawitan dirasa agak sulit.
Selain menekuni musik keroncong, Gesang juga mempunyai
keahlian melukis. Pada saat masih muda, Gesang ingin belajar melukis dan
perlahan mulai bisa melukis. Lukisan yang sekarang ada di Kemlayan merupakan
hasil karya Gesang. Pada tahun 1935 Gesang sempat melukis ayah dan ibunya.
Gesang tidak punya peninggalan lukisan karena setelah masuk
dunia keroncong, kegiatan melukis ditinggalkan. Meninggalkan dunia seni lukis
dan menekuni keroncong, Gesang dimarahi orang tuanya. “wah, sudah bisa
keroncongan terus, apa itu?” kalimat tersebut selalu diingat oleh Gesang dan
sempat diceritakan kepada keponakannya, Bapak Yani Efendi yakni anak dari adik
Gesang. Dimarahi orang tua tidak membuat Gesang berhenti untuk belajar musik
keroncong dan tetap nekat menekuni keroncong.
Gesang tertarik terhadap
seni sejak kecil dan tidak
dapat dicegah oleh siapapun, termasuk
orang tua Gesang. Ayah Gesang meskipun melarang anaknya terjun ke dunia seni,
namun tanpa sadar telah merangsang memori musikal Gesang ketika sedang ura-ura. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa Gesang kecil sering sakit-sakitan, sehingga ayah Gesang juga
sering ura-ura untuk menghibur Gesang
kecil.
Memori musikal yang ada dalam diri Gesang semakin bertambah karena
sering mendengar rengeng-rengeng para
pegawai pabrik batik ayahnya ketika jam kerja. Momentum lain yang sering dialami dan menggetarkan jiwa seni Gesang
adalah ketika mendengarkan bawa dari
piringan hitam milik tetangga, yang merupakan seorang Swarawati di Kraton Kasunanan Surakarta. Berkat suara piringan
hitam tersebut, Gesang mampu menirukan bawa Sekar Macapat Dhandhanggula.
Bidang yang menarik minat Gesang selain musik adalah olahraga. Dalam
dunia olahraga Gesang lebih banyak aktif dalam kegiatan bermain bulu tangkis.
Gesang juga pernah menjadi anggota klub sepak bola, namun hanya sebagai
pemain cadangan karena Gesang bertubuh pendek dan permainannya tidak mengalami
kemajuan. Sering menjadi pemain cadangan membuat Gesang bosan, karena hanya
duduk di tepi lapangan menonton teman-temannya bermain.
Gesang memilih bulu tangkis sebagai kegiatan olah raga setelah tidak
lagi bermain sepak bola, karena Gesang dapat lebih berprestasi dan
diperhitungkan setiap lawan.
Permainan bulu tangkis membat Gesang menjadi sangat serius sehingga
mendorong ke arah sikapnya yang Individualistis. Sikap Individualis Gesang juga
berdampak ke dalam karier bermusiknya, yakni mulai mencoba menciptalan lagu dan
kemudian dinyanyikan sendiri.
Gesang belajar menyanyi secara otodidak
dan mandiri serta pernah mendapat bimbingan nembang berkat suara piringan
hitam. Selama belajar di Sekolah Ongko Loro, Gesang juga mendapat pelajaran
nembang macapat sehingga bakat nembangnya
meningkat.
Bakat yang dimiliki Gesang semula hanya untuk hiburan pribadi, yaitu ketika rengeng-rengeng di tepi lapangan sepak
bola atau ketika bersantai.
Semenjak mampu menyanyikan bawa
Sekar Macapat Dhandhanggula Turulare
dhawah lelagon Kembang Kacang dengan baik, nama Gesang mulai dikenal
masyarakat umum. Lingkungan di kampung tempat Gesang tinggal ternyata sangat
kondusif untuk merangsang kepekaan seni dan memori musikal dalam diri Gesang.
Pada awalnya Gesang hanya sebatas tertarik pada tembang-tembang Jawa,
namun kemudian secara perlahan dan bertahap Gesang dapat menguasai beberapa
bawa dan lagu lainnya.
2.
Menjadi
Musisi Profesional dan Mencipta Lagu Sendiri
Gesang menekuni bidang seni musik keroncong sejak usia muda sebagai
penyanyi dari kampung ke kampung. Pada awalnya Gesang tidak percaya diri karena
menganggap suaranya tidak begitu merdu, namun demikian tidak ada satupun
pendengar yang protes dengan suara Gesang. Teknik menyanyi Gesang pada awalnya
masih cukup rendah, namun Gesang tekun mempelajari teknik-teknik menyanyi, baik
dari orang lain maupun evaluasi sendiri.
Gesang mempunyai lagu andalan yang menjadi ciri khas dalam setiap
pertunjukannya, yakni bawa Sekar Macapat Dhandhanggula Turulare dhawah
lelagon Kembang Kacang dan bawa
atau lagu-lagu lainnya. Imbalan menyanyi pertama yang didapat Gesang adalah
sebesar 25 (dua puluh lima) Sen, yang sebagian digunakan untuk membeli
alat-alat musik keroncong.
Hal yang unik adalah alat-alat musik keroncong yang dibeli tersebut,
yang memainkan adalah teman-teman Gesang yang lebih mahir, karena Gesang
sendiri tidak bisa memainkan alat musik selain seruling.
Gesang bergabung ke dalam kelompok Marko (Marsudi Agawe Rukun Kasarasan
lan Olahraga) pada tahun 1935 dan mempelajari lagu-lagu keroncong lama dari
teman-temannya yang lebih dahulu menjadi penyanyi. Mempelajari lagu keroncong
menurut Gesang tidaklah sulit, karena pada saat itu irama keroncong masih
sederhana, mudah diingat dan mudah dihapal.
Tiga tahun menjadi penyanyi di
kelompok Marko membuat Gesang menjadi terkenal di Kota Solo. Bergabung dengan
kelompok Marko, membuat Gesang dapat menggali, menimba dan mengembangkan
wawasan budaya bahkan membesarkan nama Gesang dalam bidang seni suara. Gesang
kemudian mendapat ide untuk berusaha membuat lagu sendiri dengan media seruling
kesayangannya.
Lagu ciptaan Gesang yang pertama adalah lagu berjudul Si Piatu, yang
menceritakan tentang seorang anak yang sudah tidak punya orang tua. Gesang
kemudian memperkenalkan lagu keroncong ciptaan pertamanya kepada segenap
masyarakat Solo, dimana Gesang sendiri yang menyanyikan lagu Si Piatu.
Kelompok Marko membawa Gesang menyanyi dari kampung ke kampung dan
akhirnya masuk ke radio dan dapur rekaman. Suara Gesang pertama kali mengudara
di radio SRV (Solosche Radio Vereeniging) Solo lewat lagu karyanya sendiri yang
berjudul Si Piatu.
Selama menjadi penyanyi, Gesang mencoba menciptakan lagu
sendiri sehingga akhirnya Gesang terkenal sebagai penyanyi sekaligus pencipta
lagu keroncong di Solo. Karya-karya Gesang dapat dikatakan merupakan rekaman
peristiwa yang dilihat, didengar dan dialami oleh Gesang. Semua lagu yang
diciptakan oleh Gesang adalah berdasarkan pengalaman yang ada semasa hidupnya.
Pada tahun 1938 Gesang menciptakan lagu Roda Dunia, yakni sebuah lagu
yang bertema tentang politik. Lagu Roda Dunia merupakan ungkapan isi hati
Gesang yang menanggapi keadaan dunia yang pada saat itu sedang dilanda perang.
Belanda yang telah lama menjajah Nusantara, mengalami kekalahan oleh
tentara Jerman sehingga memaksa Ratu Belanda mengungsi ke Inggris dan Gesang
begitu gembira dengan kabar tersebut. Kekalahan Belanda oleh Jerman membuat
Gesang berpikir bahwa sesungguhnya keadaan dunia itu serba tidak pasti, yakni
seperti roda yang selalu berputar.
Lagu Bengawan Solo yang
diciptakan tahun 1940 merupakan karya Gesang yang paling terkenal. Lagu ciptaan Gesang yang terinspirasi dari pasang surut air Sungai
Bengawan Solo tersebut merupakan lagu yang mendunia karena diterjemahkan ke dalam
13 bahasa, termasuk bahasa Inggris, bahasa Tionghoa, dan bahasa Jepang.
Lagu-lagu
ciptaan Gesang terdahulu yakni Si Piatu dan Roda Dunia termasuk keroncong asli,
namun kali ini Bengawan Solo merupakan lagu dengan gaya baru. Masih termasuk
lagu keroncong tetapi beda, karena bukan keroncong asli. Munculnya lagu
Bengawan Solo telah menggemparkan masyarakat Kota Solo.
Gesang heran dengan air Sungai Bengawan Solo yang selalu pasang surut.
Pada musim kemarau, sungai Bengawan Solo sangat kering sampai-sampai dapat
digunakan untuk bermain sepak bola oleh anak-anak dan banyak perahu yang
terbengkalai di tepi sungai karena tidak ada air. Di musim hujan air sungai
Bengawan Solo mengalir penuh dan terkadang meluap sampai ke kota.
Proses penciptaan Lagu Bengawan
Solo memakan
waktu hingga 3 bulan. Pada awal kemunculan Lagu Bengawan Solo, tidak semua
orang menyukainya karena dianggap tidak sesuai pakem atau tidak memenuhi syarat
sebagai Lagu Keroncong.
Berbeda dengan pendapat kawula muda yang menyukai lagu tersebut, karena
merupakan sesuatu yang baru dalam musik keroncong. Lagu Bengawan Solo kemudian disebut sebagai “Langgam
Keroncong”, yakni lagu keroncong dengan model baru. Gesang selanjutnya disebut
sebagai tokoh pembaharu dengan memunculkan Langgam Keroncong.
Bubarnya Kelompok Marko tidak membuat karir Gesang berakhir. Gesang
kemudian bergabung dalam Orkes Keroncong Kembang
Kacang yang dipimpin Soeyoko. Kemampuan menyanyi Gesang semakin baik karena Orkes Kembang Kacang memiliki pengasuh dan pemain-pemain yang lebih
profesional.
Orkes Kembang Kacang merupakan
kelompok yang laris, karena sering mendapat tanggapan pentas dan sering
memenuhi banyak permintaan dari masyarakat yang mempunyai hajatan untuk
keperluan pesta. Pada masa itu, sebagian golongan masyarakat berpendapat bahwa
suatu hajatan akan lebih bergengsi jika disertai hiburan musik
keroncong.
Semakin seringnya musik keroncong tampil dalam suatu
hajatan atau pesta merupakan tanda bahwa musik dan musisi keroncong semakin
dihargai oleh masyarakat, tidak seperti keroncong pada tahun 1920-an atau
keroncong Cap Barat yang identik dengan hura-hura dan minuman keras.
Suara Gesang yang baik menjadi
jaminan mutu dan nilai tambah bagi setiap Orkes Keroncong tempat Gesang
bergabung. Perjalanan karir Gesang sebagai penyanyi di grup-grup Orkes
Keroncong yang terkenal pada masa itu antara lain sebagai anggota Orkes
Keroncong Marko, Orkes Kembang Kacang pimpinan Soeyoko, Sinar Bulan, Bunga Mawar pimpinan Soeprono, Monte
Carlo, Cempaka Putih pimpinan
Marto Viol, Irama Sehat pimpinan
Slameto, Gema Puspita pimpinan M.
Munawir, Bintang Surakarta pimpinan
Budi Sulistyo (suami dari penyanyi Waljinah), Nada Pratidina pimpinan Soejatman dan Radio Orkes Surakarta milik Radio Republik Indonesia.
Kualitas suara Gesang juga menarik beberapa produser rekaman. Studio
rekaman yang pernah merekam suara dan karya-karya Gesang antara lain Borobudur Record, Kusuma Record, Pusaka Record,
Ira Puspita Record, Dasa Record, Lokananta Record, Musica Studio dan PT. Gema Nada Pertiwi Record.
Tahun 1941 Gesang menciptakan sebuah Lagu berjudul Sapu Tangan. Lagu
tersebut merupakan lagu tentang kisah percintaan Gesang yang awalnya bahagia
namun berakhir dengan kesedihan. Lagu Sapu Tangan terinspirasi oleh sapu tangan
pemberian kekasih Gesang.
Pada jaman dahulu, ada semacam Mitos yang mengatakan, kalau sedang
pacaran jangan sampai memberi tanda mata berupa sapu tangan karena sapu tangan
itu sering memutus tali cinta. Gesang yang awalnya berpikir realistis dan tidak
percaya, pada akhirnya harus mengalami mitos sapu tangan tersebut.
Hubungan Gesang dengan kekasihnya harus berakhir karena kekayaan Ayah
Gesang masih kalah dengan kekayaan Ayah kekasih Gesang. Pada masa itu ada
sebuah adat yang berlaku bagi kalangan juragan Batik Kota Solo, bahwa Anak
Juragan Batik harus dikawinkan dengan anak juragan batik pula yang kekayaannya
setara.
Pada tahun 1942 Gesang ikut teater
keliling “Bintang Surabaya” pimpinan Fritz Young. Kelompok Bintang Surabaya
pada tahun 1942 mengadakan pertunjukan keliling Pulau Jawa dan pimpinan kelompok
tersebut mengajak Gesang bergabung. Gesang digaji cukup besar ketika ikut
teater keliling tersebut. Tugas Gesang adalah menyanyi lagu-lagu keroncong disetiap
pergantian babak ketika pementasan berlangsung.
Pada
saat ikut
Bintang Surabaya itulah Gesang
menciptakan lagu Jembatan Merah di tahun 1943. Awalnya Gesang diminta pimpinan
kelompok Bintang Surabaya menciptakan lagu berjudul Jembatan Merah untuk
keperluan Sandiwara. Pimpinan Bintang Surabaya menceritakan Lakon Jembatan
Merah yang akan dipentaskan bercerita tentang kisah cinta yang putus ditengah
jalan.
Pagi hari Gesang naik becak melintasi sebuah jembatan kecil di Surabaya
yang tidak berpagar, namun di
sebelah timur
jembatan berdiri
beberapa gedung besar yang bagus. Gesang segera mengambil pena yang dibawanya,
kemudian menulis syair dan terciptalah lagu Jembatan Merah yang kemudian
dinyanyikan dalam.
Pada tahun 1943 Gesang bergabung dalam Palang Merah Indonesia (PMI) Solo
yang berpusat di Mangkubumen. Bergabung dalam PMI merupakan perjuangan Gesang
sebagai warga Negara, karena Gesang takut mengangkat senjata sehingga memilih
perjuangan non fisik sebagai wujud baktinya kepada Negara.
Sebagai warga sipil dan anggota PMI Solo, Gesang pernah ditangkap dan
diinterogasi oleh Belanda karena dicurigai sebagai pejuang Indonesia yang ikut
berperang. Penahanan Gesang tidak berlangsung lama, karena Belanda tidak
mempunyai cukup bukti dan banyak tentara Belanda yang mengetahui bahwa orang
yang ditahan itu adalah penyanyi Orkes Keroncong Monte Carlo.
Bergabung dalam PMI selama setahun membuat Gesang berhenti sementara
untuk menyanyi dan mencipta lagu karena berada dalam situasi yang tidak
mendukung. Berakhirnya perang, maka berakhir juga situasi yang berbahaya
sehingga Gesang dapat kembali menyanyi dan
pencipta lagu keroncong.
3.
Tampil
di Luar Negeri dan Tetap Mencipta Lagu
Presiden Soekarno pada masa pemerintahannya sering mengadakan diplomasi
luar negeri dengan menggunakan bidang sosial-budaya untuk menarik minat bangsa
asing, agar mau menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia yang baru
merdeka. Program yang digagas oleh Presiden Soekarno juga disebut Misi
Kebudayaan.
Negara-negara yang pertama menjadi tujuan adalah Republik Rakyat China
dan Korea utara pada tahun 1963. Gesang turut bergabung dalam Misi Kebudayaan
tersebut bersama seniman-seniman Indonesia dari berbagai bidang seni dan
bertugas menjalin persahabatan melalui seni dan budaya.
Di RRC dan Korea Utara, tugas Gesang adalah
menyanyikan lagu Bengawan Solo dan Sapu Tangan. Dapat dikatakan tugas Gesang
adalah memperkenalkan Musik Keroncong kepada masyarakat di kedua Negara
tersebut. Gesang terkesan dengan keindahan Tembok Besar Cina ketika misi
kebudayaan singgah di RRC. Kekaguman Gesang terhadap The Great Wall of China telah memberi inspirasi untuk menciptakan
lagu berjudul Tembok Besar.
Tahun
1963 selain menciptakan lagu Tembok Besar, Gesang juga menciptakan lagu yang
berjudul Sebelum Aku Mati. Lagu dengan bentuk langgam keroncong ini
terinspirasi dari pidato-pidato Bung Karno yang didengar Gesang
melalui siaran radio RRI pada saat masih
menjadi Presiden Repulik Indonesia.
Presiden Soekarno secara tidak langsung telah berperan dalam
karier Gesang. Misi Kebudayaan yang digagas oleh Presiden Soekarno telah membawa Gesang berpetualang
ke luar negeri dan dapat melakukan hobi bermusik keroncong. Pesan lain yang
ingin disampaikan Gesang adalah sebelum mati, Gesang ingin terlebih dahulu
meninggalkan warisan yang berharga dan dapat dinikmati oleh orang-orang yang
ditinggalkan.
Pada Tahun 1971 Gesang menciptakan Lagu Pamitan, yang merupakan lanjutan
cerita cinta pada lagu Sapu Tangan. Pada malam hari, Gesang teringat dengan
kisah cintanya yang berakhir sedih dan kemudian mencipta lagu dengan media
seruling. Pamitan
merupakan langgam yang melengking tinggi dan bernada berat, sehingga tidak
mudah dinyanyikan oleh setiap penyanyi.
Lagu ciptaan Gesang lainnya yang juga terkenal adalah Langgam Caping
Gunung yang digubah tahun 1973. Langgam Caping Gunung bercerita tentang orang
tua yang teringat dengan anak laki-lakinya. Pada jaman perang kemerdekaan, anak
laki-laki ketika berjuang dibekali Nasi Jagung dan dipinjami Caping Gunung dan
pada masa pembangunan, ternyata si anak tidak melupakan jasa orang tua dari
desa yang dahulu telah mendukung perjuangan anak.
Mulai tahun 1980-an Gesang melanjutkan lagi kunjungannya ke luar negeri.
Jepang merupakan Negara yang paling sering dikunjungi Gesang, yakni tahun 1980
diundang sebagai tamu kehormatan dalam “Festival Bengawan Solo” pada upacara
penyambutan musim gugur dan diundang pada Festival Salju Sapporo atas undangan
Himpunan Persahabatan Sapporo dengan Indonesia.
Kunjungan berikutnya pada tahun 1988 atas undangan Organisasi
Pesahabatan Indonesia-Jepang di Kansai. Tahun 1990 dan 1991 Gesang bersama
seniman keroncong Surakarta mendapat undangan dari Osaka. Pada tahun 1992
Gesang diundang oleh Tuan Oen dari Orkes Melayu Malaysia dan berpentas di
Gedung Keputraan Kuala Lumpur serta di Negara bagian Johor. Tahun 1994 Gesang
bersama Waljinah berkunjung ke Jepang atas undangan Mitsuo Hirano di Tokyo.
Kunjungan terakhir Gesang ke luar
negeri adalah pada bulan Mei tahun 1996 bersama rombongan Delegasi Kesenian PT.
Gema Nada Pertiwi ke Shanghai, dalam acara yang bertajuk “Malam
Bengawan Solo”.
Gesang menciptakan lagu dan diyanyikan oleh orang yang tepat, sehingga
terdengar bagus dan pas. Lagu-lagu ciptaan Gesang seperti Bengawan Solo dan
Jembatan Merah menjadikan Gesang populer di Jepang, karena banyak orang Jepang yang
menyukai lagu-lagu tersebut yang dapat mengingatkan sebagian orang Jepang
yang pernah tinggal di Indonesia.
Kepopuleran Lagu Bengawan Solo juga telah mengharumkan nama Kota Solo
sampai ke luar negeri,
yakni sebagai kota tempat tinggal pencipta lagu Bengawan Solo.
Gesang meyakini bahwa kemampuannya mencipta lagu adalah Anugerah Tuhan yang
harus dijaga.
Gesang tidak ingin hanya membuat asal jadi dalam
berkarya, karena setiap pekerjaan harus dituntaskan dengan sebaik-baiknya agar
tidak mendatangkan penyesalan dikemudian hari. Prinsip dalam
berkesenian adalah tidak larut dalam tren mencipta lagu yang sekejap dikenal
orang, syairnya asal-asalan dan hanya memenuhi pesanan juragan kaset.
Karya-karya
Gesang merupakan jaminan mutu dan selalu mempunyai nilai jual tinggi. Selain
bermutu, juga banyak digemari masyarakat.
Faktor-faktor
yang menyebabkan lagu-lagu Gesang digemari masyarakat antara lain:
a)
Lagu-lagu Gesang mudah dihapal dan dinyanyikan karena memiliki kesahajaan dalam
melodi lagu, lirik serta tema. Hal tersebut membuat penyanyi maupun musisi akan
dapat membuat lagu Gesang menjadi lebih baik dengan menggunakan variasi yang
selaras,
b) Pengaruh
publikasi yang berlangsung selama bertahun-tahun mengakibatkan masyarakat
menyatu dengan karya-karya yang telah
dipublikasikan,
c)
Karya-karya Gesang dapat diterima masyarakat dan dapat berkolaborasi dengan
jenis musik yang lain,
d)
Khusus untuk langgam Jawa, dinyanyikan oleh penyanyi yang tepat (Waljinah)
ketika pertama kali dikenalkan kepada masyarakat.
Gesang
merupakan seorang yang sangat rendah hati, pantang berkonflik, tidak ingin
mengecewakan orang lain, cenderung lentur dan mengalah. Dalam menjalani hidup,
Gesang ingin tetap bersikap jujur, sabar, apa adanya serta tidak silau dengan
daya tarik imbalan materi dan ketenaran. Menurut Gesang, menjalani hidup itu
baiknya apa adanya, asal tidak merugikan orang lain.
Gesang
tidak mengeluarkan reaksi berlebihan ketika beredar kabar bahwa lagu Bengawan
Solo bukanlah ciptaan Gesang, melainkan ciptaan Soejoko pemimpin Orkes
Keroncong Monte Carlo. Sikap Gesang
yang nrimo itu juga di tunjukkan
ketika Gesang dirampok saat mengambil uang Rp 10 juta dari bank. Tidak ada
tindakan apa pun, Gesang kembali memutar sepeda motornya menuju bank dan
mengambil lagi uang Rp 7 juta. Gesang merasa tidak mengapa dan tidak perlu
lapor polisi karena merasa dirinya selamat dari perampokan tersebut.
Ada
peristiwa yang hampir merugikan Gesang karena sikapnya yang lugu dan nrimo.
Lagu-lagu Gesang pernah direkam orang lain dan Gesang tidak dibayar samasekali,
namun Gesang hanya diam saja. Mengetahui hal tersebut, Waljinah kemudian maju
dan mengurus segala sesuatunya sehingga Gesang bisa mendapat bayaran yang
semestinya.
Waljinah
merupakan penyanyi yang dekat dengan Gesang dan menyanyikan hampir semua
lagu-lagu ciptaan Gesang, terutama yang berbentuk langgam Jawa. Waljinah pula
yang mendorong Gesang untuk menciptakan langgam Jawa. Lagu-lagu Gesang yang
dahulu diciptakan hanya berbentuk
keroncong dan langgam keroncong.
4.
Masa
Tua Bersama Keponakan
Kehidupan Gesang di masa tua begitu sederhana, baik ketika tinggal di
Perumnas Palur, maupun setelah pindah ke rumah keponakannya di Jalan Bedoyo No.
5 Kemlayan, Solo.
Gesang pindah ke Kemlayan Sejak tahun 2001,
“Sebelumnya pakdhe Gesang tinggal di
Perumnas Palur, menempati rumah hadiah dari gubernur pada saat itu, Bapak Suparjo
Rustam. Di Palur pakdhe tinggal sendirian tanpa sanak saudara, cuma sama
pembantu dan mulai sering sakit karena usia yang sudah lanjut. Pihak keluarga,
yakni ibu saya (ibu saya ‘kan adiknya) kemudian menyarankan agar pakdhe Gesang
pindah ke sini (Kemlayan)”, ujar Bapak Yani Efendi.
Gesang
menyatakan prihatin dengan kondisi musik keroncong saat ini. Musik keroncong
seakan-akan ambles, merosot sekali,
namun tidak bisa dikatakan mati. Musik keroncong merupakan musik nasional yang
muncul di Indonesia dan Gesang yakin keroncong tidak akan mati. Sejak munculnya
musik Campursari, banyak masyarakat yang menggemari, karena memang musiknya
enak didengar sehingga keroncong asli seperti tenggelam.
Akhir-akhir
ini keroncong mulai digemari kembali, yakni banyak kaset musik keroncong yang
terjual. Hal yang keliru adalah banyak masyarakat yang menganggap campursari
adalah keroncong, padahal kedua musik tersebut jelas berbeda. Banyak musik
campursari sekarang yang menurut mendiang Gesang tidak bagus, karena tiap
instrumen hanya berebut keras, gobyog
(riuh-rendah).
Musik
keroncong sekarang ini menurut Gesang, pada umumnya tanpa aransemen. Keroncong
sekarang apabila diaransir, aransemennya terlalu ramai dan jadi kurang laras.
Pada masa lampau, setiap lagu harus diaransir, karena aransemen adalah jiwa
dari sebuah lagu. Menurut Gesang, lagu yang diaransir akan lebih hidup dan
laras.
Musisi-musisi keroncong sekarang ini
pada umumnya kurang menguasai jenis-jenis musik keroncong maupun aturan-aturan
bakunya, misalnya tidak bisa membedakan lagu mana yang merupakan Stambul II dan
lagu keroncong asli.
Hal
lain yang menimbulkan keprihatinan bagi Gesang adalah lagu-lagunya dibajak oleh
label yang tidak jelas dan beredar luas di luar negeri, terutama di Belanda.
Keprihatianan Gesang tersebut sangat mendasar mengingat Negeri Belanda sangat
erat hubungannya dengan Suriname, yang sebagian besar penduduknya merupakan
keturunan orang Jawa.
Di
Negara Suriname banyak pejabat maupun masyarakat yang mengenal Gesang melalui
lagu-lagunya, padahal Gesang sangat identik dengan Indonesia, khususnya Jawa
Tengah. Semakin memprihatinkan karena pembajakan tersebut baru diketahui pada
awal tahun 2010.
Hal
yang membuat Gesang sedikit mengabaikan rasa prihatinnya adalah banyak anak
muda sekarang yang mau berkecimpung dalam dunia musik keroncong, meskipun
kurang menguasai jenis-jenis musik keroncong maupun aturan-aturan bakunya.
Dalam
pengembangan musik keroncong, Gesang berpesan agar anak-anak muda jangan sampai
meninggalkan pembawaan dan gaya keroncong aslinya. Dalam perkembangan musik
keroncong di masa modern, musik keroncong dikombinasikan dengan musik jenis
lain seperti yang digubah oleh Bondan Prakoso Fade 2 Black, yakni
mengkombinasikan musik keroncong dengan musik rap.
Mengenai
kepindahan Gesang ke Kampung Kemlayan, adalah karena memang Gesang dahulu
tinggal di Kemlayan saat masih bersama orang tuanya.
“Pakdhe
itu ‘kan memang aslinya dari sini, Kampung Kemlayan. Rumah ini adalah
peninggalan kakek saya, pak Martodiharjo dan dulu kakek saya memang tinggalnya
di sini. Dulu rumahnya luas, tapi karena sudah dibagi-bagi, sekarang tinggal
ini. Rumah ini sebenarnya milik pak Toyib, adiknya pakdhe Gesang”, begitu
penjelasan Bapak Yani Efendi.
Kegiatan
Gesang di Kemlayan hanya kegiatan yang ringan seperti orang tua biasa pada
umumnya. Di pagi hari Gesang sering jalan-jalan, kemudian sarapan atau jajan
Soto di daerah Kratonan dan malam harinya terkadang pergi ke Wedangan di
wilayah Pasar Pon.
“Ya sering. Warung Sotonya di Kratonan, dari Matahari
Singosaren itu ke timur, ada perempatan ke kanan. Saya lupa nama warungnya,
tapi sampai sekarang masih buka. Kalau malam hari kadang main ke Wedangan dekat
perempatan Pasar Pon agak ke barat, di selatan jalan. Kalau sekarang ‘kan
wedangannya sudah pindah ke utara jalan semua, tapi bakule (yang jualan) juga masih. Dulu pernah diliput sama TATV pas
makan di warung Soto sama di Wedangan”.
Menikmati hari tua di Kemlayan, Gesang masih sering
dikunjungi oleh tokoh-tokoh musik, baik dari Solo maupun luar Solo, bahkan
musisi dari ibukota. “Wah, banyak Mas, terutama dari lingkungan dekat sini
misalnya Waljinah, dan banyak Mas, saya sampai lupa, terus artis-artis ibukota
juga pernah ke sini seperti Mas Iwan Fals, Bodan Prakoso Fade 2 Black, ya...,
yang respek sama musik keroncong, terus Sundari Sukotjo, Mus Mulyadi, dan banyak
lah..” kata Bapak Yani Efendi.
Tokoh-tokoh musik yang mengunjungi Gesang, merupakan para
musisi yang mengaku mengagumi sosok Gesang sebagai seorang Maestro Keroncong.
Gesang itu orangnya lugu, sangat sederhana, meskipun dijuluki Maestro, tetapi
tidak merasa terkenal. Lebih suka dianggap sebagai orang biasa dan tidak suka
ditinggi-tinggikan.
Pada
akhir tahun 2007 Grup Bondan Prakoso & Fade 2 Black, menciptakan
komposisi lagu berjudul Keroncong Protol, yang memadukan musik gaya rap dengan musik latar
belakang irama keroncong.
Pada saat Gesang ditanya mengenai munculnya Keroncong Protol, Gesang tidak mempermasalahkannya.
“Pas
ditanya itu, pakdhe menjawab ya, nggak apa-apa asalkan masih ada keroncongnya.
Keroncong mau diselingi musik apa aja, pakdhe nggak apa-apa. Sebenarnya memang
sudah keluar dari pakem, tapi karena ada unsur keroncongnya pakdhe tetap
manghargai” ujar Bapak Yani Efendi.
Menurut
Bapak Yani sendiri yang juga menyukai musik keroncong, lagu Keroncong
Protol tidak menjadi
masalah karena dikemas dengan bagus dan masyarakat juga bisa menerima, serta
tidak ada yang protes ataupun mencibir.
Gesang tidak mempunyai putra sehingga tidak mewariskan
kemampuannya bermusik kepada seseorang. Pak Yani keponakan Gesang juga tidak mewarisi bakat bermusik
keroncong dari Gesang, hanya sebagai penikmat saja.
Selama
tinggal di Kemlayan, Gesang masih sering mendapat undangan dari berbagai pihak
untuk acara-acara tertentu, namun tidak semua bisa dihadiri mengingat kondisi kesehatan
Gesang yang menurun.
“Tinggal
menikmati hari tua, lebih banyak istirahatnya. Kalau pas bugar, kondisinya
baik, terus kemudian ada undangan ya datang, tapi kalau kondisi kesehatannya
tidak memungkinkan ya ijin”. Kesehatan yang menurun adalah hal yang wajar
mengingat usia Gesang sudah memasuki 86 tahun ketika pindah ke Kemlayan pada
tahun 2001.
Menjelang akhir hayatnya, Gesang senantiasa mengingatkan
kepada generasi muda agar melestarikan keroncong dan juga berpesan jangan
sampai keroncong mati. Gesang meninggal pada hari kamis, tanggal 20
Mei 2010 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo pada umur 92 tahun.
Selain
faktor usia yang sudah tua, meninggalnya Gesang juga karena penyakit komplikasi
yang dialami, antara lain jantung koroner, gangguan saluran pernapasan,
gangguan paru-paru, gangguan saluran kencing (prostat) dan kesadaran yang
menurun. Gesang memang telah meninggal, namun
karya-karyanya akan tetap melegenda.
5. Pekerjaan,
Karya dan Penghargaan
a. Pekerjaan :
1) Membantu perusahaan batik orang tua (1933-1941)
2) Penyanyi keroncong/langgam (1935-2002)
3) Pencipta Lagu (1939-1996)
b. Karya :
1) Si Piatu, 1938 (Keroncong asli)
2) Roda Dunia, 1939 (Keroncong asli)
3) Swasana Desa, 1939 (Keroncong asli)
4) Bengawan Solo, 1940 (Langgam keroncong)
5) Sapu Tangan, 1941 (Langgam keroncong)
6) Tirtonadi, 1942 (Langgam keroncong)
7) Muda Dewasa, 1942 (Keroncong asli)
8) Bilamana Dunia Berdamai,
1942 (Langgam keroncong)
9) Jembatan Merah, 1943 (Langgam keroncong)
10) Pandan Wangi, 1949 (Langgam Jawa)
11) Dongengan, 1950 (Langgam keroncong)
12) Kacu Biru, 1950 (Langgam Jawa)
13) Nawala, 1955 (Langgam Jawa)
14) Pangling, 1955 (Langgam Jawa)
15) Nemahi, 1955 (Langgam Jawa)
16) Sandang Pangan, 1960 (Langgam Jawa)
17) Aduh Lae, 1960 (Langgam Jawa)
18) Pinter, 1960 (Langgam Jawa)
19) Oglangan, 1960 (Langgam Jawa)
20) Pilih Tandhing, 1960 (Langgam Jawa)
21) Bumi Emas Tanah Airku, 1963 (Keroncong asli)
22) Sebelum Aku Mati, 1963 (Langgam keroncong)
23) Tembok Besar, 1963 (Langgam keroncong)
24) Sun Kibarke, 1965 (Langgam Jawa)
25) Borobudur, 1965 (Langgam keroncong)
26) Tlingsingan, 1965 (Langgam Jawa)
27) Andheng-andheng, 1965 (Langgam Jawa)
28) Rahayu, 1965 (Langgam Jawa)
29) Tandha Tangan, 1965 (Langgam Jawa)
30) Tersenyum, 1965 (Langgam keroncong)
31) Janji Rukun, 1966 (Langgam Jawa)
32) Ngelam-lami, 1967 (Langgam Jawa)
33) Andum Basuki, 1968 (Langgam Jawa)
34) Ali-ali, 1970 (Langgam Jawa)
35) Urung, 1970 (Langgam keroncong)
36) Ngimpi, 1970 (Langgam Jawa)
37) Pamitan, 1971 (Langgam Jawa)
38) Luntur, 1971 (Langgam Jawa)
39) Caping Gunung, 1973 (Langgam Jawa)
40) Kacu-kacu, 1973 (Langgam Jawa)
41) Kenya Sala, 1973 (Langgam Jawa)
42) Nusul, 1973 (Langgam Jawa)
43) Kalung Mutiara, 1973 (Langgam keroncong)
44) Payungan, 1975 (Langgam Jawa)
45) Seto Ohasi, 1988 (Langgam keroncong)
46) Ora Menangi, 1996 (Langgam Jawa)
c. Penghargaan :
1) Penghargaan
Bintang Warga Kota Teladan dari Walikota Surakarta (1973)
2) Piagam dari
Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) II (1976).
3) Piagam
Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan & Kebudayaan RI (1977).
4) Penghargaan
TVRI stasiun Yogyakarta (1978).
5) Piagam
Penghargaan dari OISCA International Indonesia (1978).
6) Hadiah rumah
di Perumnas Palur dari Gubernur Jawa Tengah (1979).
7) Pembangunan
Taman Gesang di Jurug, tepi sungai Bengawan Solo (1983).
8) Penghargaan
PWI HUT XXXIX dan HUT VI Museum Pers Nasional (1985).
9) Penghargaan
Walikota Surakarta, Dalam rangka Fespic Games IV (1986).
10) Bintang
penghargaan dari Kaisar Akihito, Jepang (1992).
11) Tanda
Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden RI (1992).
12) Penghargaan
Anugerah Seni dari Yayasan Musik Hanjaringrat (2002).
13) Penghargaan dari Museum Rekor
Indonesia (MURI) atas prestasi “Usia Tertua (85 Tahun) Masuk Dapur Rekaman”
(2003).
14) Penghargaan
dari ajang Anugerah Musik Indonesia (AMI) Samsung Awards kategori ”The Legend” (2004).
15) Penghargaan dari Museum Rekor
Indonesia (MURI) atas prestasi “Pencipta Lagu Keroncong Yang Paling Banyak
Direkam Dalam Berbagai Versi Oleh Bermacam Artis” (2004).
16) Penghargaan
”Special Achievement For A Lifetime” dalam Bali Music Award (2005).
17) Penghargaan
dari SOLOPOS Award (2006).
18) Penghargaan
dari Majalah Rolling Stones (2008).
19) Piala Metronome
dari Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Penata Musik Indonesia (2008).
B.
Peranan
Gesang dalam perkembangan Musik Keroncong
1. Buaya – Maestro Keroncong
Di
Indonesia Gesang disebut sebagai “Buaya Keroncong” oleh para insan musik
keroncong.
Julukan Buaya keroncong yang disandang oleh Gesang merupakan julukan dalam arti
yang positif, yakni sebutan untuk seorang pakar musik keroncong.
Buaya Keroncong dalam konotasi yang
baik merupakan julukan untuk menyebut orang-orang yang mempunyai intensitas
aktif dalam dunia keroncong baik sebagai penyanyi, pemusik atau pencipta lagu
keroncong. Dalam pengertian singkat, Buaya Keroncong diartikan sebagai orang
yang sehidup semati dengan keroncong.
Versi lain menyatakan sebutan Buaya Keroncong
untuk Gesang berasal dari lagu Bengawan
Solo ciptaannya. Bengawan Solo adalah nama sungai yang
berada di wilayah Kota Surakarta. Buaya yang memiliki
habitat di rawa dan
sungai itu tidak terkalahkan, sehingga Gesang
diibaratkan sebagai Buaya Keroncong karena merupakan pakar keroncong yang belum ada tandingannya.
Asal
usul kata “Buaya” sebenarnya berasal dari nama sebuah grup keroncong yang
sangat terkenal pada abad ke-19, yakni De
Krokodil (krokodil dalam bahasa Belanda berati Buaya) yang berasal dari
Kampung Tugu. De Krokodil sempat bubar namun terbentuk kembali di Kemayoran
pada tahun 1920-an, oleh orang-orang yang berbeda dengan nama De Krokodillen.
Dalam arti yang negatif, Buaya
Keroncong adalah sebutan bagi para pemusik keroncong yang masuk-keluar kampung
untuk mencari nafkah dengan mengibur dan membuat senang hati, bahkan merayu
para gadis. Keroncong pada tahun 1920-an
identik dengan grup De Krokodillen, sehingga
pemusik
keroncong yang hobi merayu gadis dijuluki Buaya Keroncong.
Di
Surakarta, kehidupan Buaya Keroncong dalam bermasyarakat tidak berbeda dengan kehidupan
orang-orang biasa. Banyak pengalaman dalam kehidupan yang dapat diangkat
menjadi sebuah lagu keroncong maupun langgam Jawa. Pengalaman kehidupan
tersebut dapat berupa keindahan alam, situasi suatu tempat berkumpulnya
orang-orang, tempat bersejarah, keadaan kota, kisah percintaan, kenangan masa
perjuangan, tentang makanan atau kondisi sosial masyarakat.
Orang-orang
yang dijuluki Buaya Keroncong biasanya juga menikmati kesenian lain misalnya
karawitan, ketoprak, wayang kulit, wayang orang dan kesenian lain. Dalam
kesenian, Gesang juga menyukai wayang kulit, wayang orang dan ketoprak.
Pengalaman dalam menikmati pertunjukan tersebut dapat menimbulkan ide musikal
maupun syair yang kemudian diwujudkan menjadi sebuah lagu keroncong maupun
langgam Jawa.
Kehidupan
Gesang bergantung pada musik, karena dari kegiatan bermusiklah Gesang mencukupi
kebutuhan hidupnya. Seorang pemusik yang berolah musik sebagai mata pencaharian
pokok untuk hidup disebut pemusik profesional. Musisi dapat hidup dan terus
mengembangkan kepandaian serta keterampilan dalam hidupnya jika dalam
masyarakat tempat musisi hidup, ada segolongan orang yang gemar musik.
Berdasarkan
penjelasan tersebut maka Gesang dapat dikatakan sebagai musisi profesional. Hal
yang patut ditiru adalah Gesang kesetiaan terhadap keroncong meski musik-musik
Barat mulai datang dan menggeser kepopuleran keroncong.
Gesang menjalani profesi sebagai
seorang musisi pencipta lagu-lagu keroncong dan langgam dengan tekun, sehingga
membuat Gesang memiliki gelar sebagai Maestro keroncong Indonesia.
Maestro adalah
orang yang ahli di bidang seni, terutama seni musik seperti komponis dan
konduktor. Maestro juga
merupakan suatu gelar untuk hasil prestasi dari perjuangan dan pengabdian yang
nyata. Tolok ukur
seorang seniman untuk dapat mendapat gelar Maestro tidak dipandang dari segi
kuantitas karya, melainkan dipandang dari kualitas karya yang muncul dan tidak
cepat menghilang.
Gelar
Maestro disematkan kepada Gesang berkat perjuangannya dan kesetiaannya dalam
mengembangkan serta melestarikan musik keroncong di Indonesia. Gesang sebagai
Maestro keroncong sejati tidak pernah berlebihan mengenai konsep berkeseniannya
dan tidak memperdebatkan perbedaan idealisme yang ada. Gesang melihat segala
sesuatu tidak hanya dari luarnya saja, namun dari kualitas isinya.
2. Lagu Sederhana yang Bermutu
Lirik
lagu ciptaan Gesang semuanya sederhana, tidak ada yang rumit dan semua hal yang
pernah dialami Gesang diceritakan kembali dengan jujur sepenuh hati. Gesang
hanya menangkap makna dari hal-hal sederhana yang dilihatnya kemudian menulis
not dengan bantuan seruling bambu.
Penggunaan
seruling bambu, yang merupakan instrumen musik sederhana menyebabkan seluruh
lagu ciptaan Gesang bernada utuh dan tidak mengenal tanda chromatic, yaitu naik atau turun setengah nada.
Lagu
Bengawan Solo, Jembatan Merah dan Caping Gunung ciptaan Gesang telah memberi
makna bahwa untuk mengharumkan nama bangsa di mata dunia tidak perlu harus
melalui kekuatan militer. Lagu-lagu ciptaan Gesang meskipun syairnya sederhana
namun mampu memberi inspirasi bagi setiap pendengarnya, bahkan kepada bangsa
lain. Hal tersebut merupakan orisinalitas kemaestroan Gesang yang pantas ditiru.
Gesang
tidak butuh mobil mewah, kekuasaan, rumah megah dan piagam penghargaan sebagai
tujuan perjuangannya. Gesang hanya menginginkan budaya bangsa, yakni musik
keroncong tetap lestari dan tidak dipandang sebelah mata oleh dunia. Gesang
tetap teguh dan setia untuk selalu berjuang mempertahankan idealismenya meski
budaya asing semakin gencar masuk ke Indonesia.
Usaha
untuk mempertahankan idealisme telah dibuktikan oleh Gesang dengan tetap
mencipta lagu-lagu keroncong dan langgam, meski musik populer mulai menggeser
keroncong.
Mengarang
lagu dan langgam keroncong merupakan profesi sekaligus kegiatan sehari-hari Gesang.
Seorang yang disebut pencipta musik memerlukan selera musikal dan bakat khusus
untuk mencipta. Selera musikal atau musikalitas saja belum dapat memberi
jaminan yang cukup untuk menentukan adanya bakat untuk mencipta.
Orang
yang memiliki musikalitas disebut orang yang musikal, namun musikalitas bukan
syarat mutlak untuk menekuni dunia musik. Orang musikal yang mempunyai bakat
khusus untuk mencipta dengan baik tidak banyak jumlahnya, jika dibandingkan
dengan orang yang mempunyai bakat khusus untuk memainkan sebuah alat musik.
Dalam
hal ini Gesang telah membuktikan bahwa dirinya memiliki bakat mencipta yang
luar biasa sehingga lagu ciptaannya bisa melegenda, meski hanya bisa memainkan
seruling.
Lagu-lagu
ciptaan Gesang juga dipengaruhi oleh budaya Jawa, yaitu penggunaan bawa, mengikuti ketentuan Gendhing Jawa.
Gesang merupakan pelopor dalam membuat atau memasukkan bawa untuk keroncong
atau langgam Jawa.
Pengaruh
budaya Jawa yang ada dalam diri Gesang dikarenakan Gesang suka membaca
karya-karya sastra Jawa seperti Serat Wedhatama, Wulangreh, Kalatidha dan
buku-buku tentang tembang Jawa. Hal-hal yang didapat Gesang adalah ajaran
tentang kebajikan dan seluk-beluk tembang, yakni hal-hal yang menyangkut
tatanan baku seperti guru wilangan, guru pada dan guru lagu.
Gesang
memang mempelajari seluk-beluk tembang, namun ketika mencipta lagu, liriknya
jauh dari kesan pengaruh struktur bahasa Jawa yang ketat. Pilihan kata dan
kalimatnya sederhana, tidak terikat aturan bahasa baku serta cenderung bebas
sesuai dengan keinginan hati Gesang.
Struktur
melodi lagu-lagu ciptaan Gesang jauh berbeda dengan gaya komponis masa kini
yang lebih mengutamakan kecanggihan eksplorasi nada dan harmoni. Kesederhanaan
lagu-lagu Gesang tersebut menjadi sesuatu yang klasik di masa kini dan justru
menjadi suatu kelebihan.
Munculnya
sebuah lagu tidak mungkin dipaksakan, kalau Gesang sedang tidak sedang
mempunyai motivasi untuk mencipta karena dibutuhkan sebuah inspirasi serta
waktu untuk perenungan tertentu yang mantap. Kreativitas Gesang mencipta lagu
keroncong maupun langgam Jawa dengan gaya baru pada waktu itu menunjukkan bahwa
Gesang telah menjadi seorang seniman keroncong kreatif.
Gaya dari lagu-lagu Gesang yang unik
namun digemari masyarakat, sedikit demi sedikit telah membawa perubahan pada
kalangan pencipta lagu dan masyarakat penikmatnya. Karya-karya Gesang telah
memberikan sumbangan dalam kehidupan seni musik keroncong di Surakarta dengan
memunculkan langgam keroncong, meskipun awal kemunculan langgam keroncong
menjadi perdebatan antara para musisi di Surakarta.
Di
bidang sosial kemasyarakatan, lagu-lagu Gesang digunakan sebagai hiburan dalam
pesta, terutama pesta pernikahan. Lagu Caping Gunung menjadi lagu peralihan
dari penyajian musik yang halus ke suasana yang lebih meriah dan lagu Pamitan
menjadi lagu wajib untuk mengakhiri pementasan musik keroncong.
Dalam
mencipta lagu, Gesang adalah komponis yang santai. Selama satu tahun hanya
mancipta sebuah lagu tidak menjadi masalah karena bagi Gesang yang penting
adalah melodi dan lirik lagunya sejiwa.
Pedoman
mencipta lagu bagi Gesang adalah bahwa lagu itu harus mencakup diantaranya
jiwa, perasaan, penglihatan, pendengaran serta penghayatan. Pedoman yang
digunakan Gesang tersebut memang menyebabkan penciptaan sebuah lagu membutuhkan
waktu lebih lama, namun demikian dapat menghasilkan lagu yang berkualitas. Hal
tersebut membuktikan bahwa seorang pencipta musik memerlukan selera musikal dan
bakat khusus untuk mencipta.
Seniman
musik pencipta lagu atau komposer pada umumnya mempunyai kiat-kiat tersendiri
dalam mencipta lagu.
Menurut
Danis
Sugiyanto kiat-kiat
Gesang agar dapat mencipta lagu yang bermutu antara lain:
a) Murni curahan jiwa. Karya yang muncul harus mempunyai
orisinalitas dari kehendak hati yang sudah tidak dapat dibendung,
b) Tidak mengedepankan komersialitas telebih dahulu.
Mencipta karya adalah sebagai wujud manifestasi tuntutan jiwa untuk kepentingan
seni semata,
c) Mencipta yang belum pernah dicipta orang lain. Hasil
kreatifitas baru akan memunculkan ciri khas yang lain dari lagu karya komponis lain,
d) Menyeimbangkan gagasan ideal dengan kebutuhan masyarakat.
Karya seni seyogyanya seimbang antara kebutuhan ekspresi jiwa seni dan
apresiasi seni yang tumbuh dalam masyarakat.
Gesang
yang kariernya mulai berkembang ketika bergabung dengan Orkes Kembang Kacang,
telah menarik orang-orang untuk menikmati musik keroncong dengan cara menyanyi
yang unik dan apa adanya. “Memang unik. Nyanyinya itu sakmuni-munine
(sebunyi-bunyinya), cirinya ya seperti itu, apa adanya” ujar Ibu Waljinah.
Lagu
keroncong yang dinyanyikan juga merupakan keroncong yang khas dengan suasanan
baru yaitu dominannya bunyi cello
yang dipetik sehingga suara cello
menyerupai kendang, namun dengan alunan yang santai dan lembut. Keroncong
dengan alunan yang santai dan lembut sangat sesuai dengan kepribadian orang
Solo, sehingga cepat diterima.
Gesang
dapat dikatakan telah menyuguhkan irama-irama keroncong dan langgam kepada
masyarakat sehingga kedua jenis musik tersebut akrab ditelinga masyarakat,
khususnya masyarakat Solo. Gesang dianggap telah berjasa dalam hal budaya dan
kesenian.
3.
Melestarikan
Keroncong
Gesang
mengaku tidak mempelajari ataupun memperdalam jenis musik selain keroncong
karena takut terpengaruh. Menurut mendiang Gesang, pengarang lagu atau penyanyi
itu harus orisinal, jeli dan tidak membiarkan pengaruh dari luar masuk. Hal
tersebut merupakan bukti tentang orisinalitas karya dan kemaestroan Gesang.
Di
hari tuanya, Gesang sangat antusias jika dikunjungi oleh kalangan muda yang
tertarik pada musik keroncong. Contohnya ketika mendapat kunjungan dari pelajar
SMA St. Joseph yang datang dan memainkan lagu-lagu keroncong. Selama satu jam,
Gesang tampak bersemangat dan bertepuk tangan dengan ritme yang tepat, meskipun
masih dalam masa penyembuhan.
Pesan
yang selalu disampaikan Gesang kepada para musisi keroncong dan penjenguknya
adalah lestarikan keroncong, jangan biarkan keroncong mati.
Pesan
tersebut juga disampaikan kepada penyanyi keroncong Sundari Sukotjo dan Gesang
menambahkan agar Sundari Sukotjo tetap bertahan di jalur musik keroncong, walau
apapun yang terjadi. Bagi Sundari Sukotjo, sosok Gesang tidak hanya dianggap
sebagai Maestro keroncong. Gesang merupakan guru serta penyemangat dalam karier
Sundari Sukotjo untuk menekuni jalur musik keroncong.
Gesang
tetap bersahaja meski telah bergelar Maestro dan tidak pernah menyerah dalam
memperjuangkan musik keroncong. Pada tahun 2000 Gesang dan Sundari Sukotjo
menjadi model dalam pembuatan video klip lagu Sapu Tangan dan Bengawan Solo.
Gesang rela naik turun dan mengarungi sungai dengan Gethek meskipun saat itu kesehatannya mulai menurun. Gesang begitu
ikhlas melakukan apa saja agar musik keroncong tetap eksis.
Sumbangsih
mendiang Gesang Martohartono terhadap kehidupan seni musik, terutama musik
keroncong dan langgam Jawa telah teruji dengan perjalanan karier yang panjang.
Sejak remaja sampai hari tua, bahkan meski telah tiada, semangat, dedikasi,
serta loyalitas Gesang terhadap musik keroncong dan langgam Jawa masih dapat
dirasakan ketika mendengarkan karya-karyanya yang abadi.
Kontribusi
budaya dari Gesang diwujudkan ke dalam berbagai hal, yakni kepada seni itu
sendiri dan kehidupan sosial masyarakat. Lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang
ketika didengarkan telah dapat membuat rangsangan kreativitas baru bagi seniman
lain di Solo dan dapat membangkitkan imajinasi sejarah di masa lampau bagi
kalangan tertentu.
Sebagai
contoh para tentara Jepang yang pernah bertugas di Indonesia pada masa
penjajahan Jepang, sebagian besar masih hapal lagu Bengawan Solo.
Gesang
menjadi inspirasi bagi musisi keroncong lain untuk menciptakan lagu-lagu yang
bernuansa keroncong. Anjar Any menganggap Gesang sebagai gurunya ketika
mengawali karier sebagai pengarang lagu tahun 1957.
Dalam
grup Bintang Surakarta, banyak anggota yang mulai mencoba menciptakan lagu
keroncong seperti Gesang. Banyak penyanyi keroncong di Solo yang belajar
keroncong kepada Gesang melalui Bintang Surakarta. Lagu pertama yang
dinyanyikan adalah Bengawan Solo, setelah itu mempelajari lagu-lagu langgam dan
keroncong lainnya.
Bintang
Surakarta menjadi grup tempat Gesang berkarier keroncong sampai akhir hayatnya.
Gesang bergabung dengan Bintang Surakarta sejak tahun 1968. Kolaborasi dengan Waljinah sebagai
pencipta dan penyanyi lagu keroncong dalam Grup Bintang Surakarta menjadi
sumber penghasilan sekaligus hobi bermusik keroncong.
Undangan
menyanyi datang dari berbagai tempat dan lagu-lagunya dihargai masyarakat.
Gesang juga menerima berbagai penghargaan baik dari pemerintah, maupun dari
masyarakat yang mencintai keroncong di dalam dan luar negeri. Hal tersebut
merupakan bukti Gesang mempunyai arti penting dalam pelestarian musik keroncong
di Nusantara.
Sosok
Gesang Martohartono tidak pernah lepas dari keroncong, maskipun sejak tahun
2001 sudah tidak aktif di panggung musik keroncong. Belum pernah ada tokoh
penting di Kota Solo yang sebelum dimakamkan disemayamkan dahulu di Pendhapi
Balai Kota. Hal tersebut menandakan bahwa pemerintah kota dan seluruh
masyarakat Kota Solo merasa memiliki serta menghormati Pak Gesang.
Gesang diusulkan sebagai Pahlawan
Nasional oleh Pemkot Solo karena berjasa besar dalam memajukan musik keroncong.
Alasan lain adalah Gesang pernah menerima Bintang Budaya Parama Dharma,
sehingga kedudukan Gesang sejajar dengan seorang pahlawan. Selain usulan pahlawan,
juga ada usulan tentang pembangunan Museum Gesang di Kota Solo, sebagai upaya
untuk mengabadikan dan melestarikan berbagai karya Gesang.
Pada tahun 2008 Gesang mengeluarkan Album Karya Emas Gesang,
yang berisi lagu-lagu Gesang yang dianggap sebagai karya-karya terbaik atau
Masterpieces Gesang dan dibawakan oleh Gesang sendiri.
Album bertajuk Karya Emas Gesang diproduksi PT Gema
Nada Pertiwi dalam bentuk VCD dan DVD karaoke. Album istimewa ini terdiri dari 2 seri album total berisi 24 lagu, yang
sebagian besar telah melegenda, seperti Bengawan
Solo, Jembatan Merah, Sebelum Aku Mati, Pamitan, Caping Gunung dan lain-lain.
Khusus lagu
Bengawan Solo selain dinyanyikan versi aslinya oleh Gesang, juga
dinyanyikan oleh penyanyi lain dalam bahasa Mandarin dengan iringan musik keroncong dan versi Sunda dengan iringan musik Degung.
Peluncuran Album Emas Gesang tersebut dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2008 di Solo, Jawa Tengah. Pemasaran Album Emas Gesang bukan hanya di Jawa dan Indonesia, melainkan sudah merambah ke mancanegara, seperti
Jepang, Belanda, Suriname dan China.
No comments:
Post a Comment