Friday, November 30, 2018

Mbah Gesang, Maestro Keroncong dari Solo




A.  Biografi kehidupan dan karier bermusik

1.  Gesang muda menyukai Seni dan Olah Raga
Gesang atau lengkapnya Gesang Martohartono lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1 Oktober 1917. Gesang adalah seorang penyanyi dan pencipta lagu yang juga di kenal sebagai maestro keroncong Indonesia dan terkenal melalui lagu Bengawan Solo. Maestro bukan gelar akademisi, bukan pula jabatan yang diraih berdasarkan pilihan suara terbanyak. Maestro adalah sebuah hasil prestasi dari sebuah perjuangan dan pengabdian yang nyata.  

Nama Gesang kecil ialah Sutadi, namun sewaktu kecil sering sakit-sakitan. Orang tua Sutadi kemudian mengubah nama Sutadi menjadi Gesang Martohartono untuk melukiskan harapan orang tuanya yang menginginkan Gesang terus hidup. Gesang dalam bahasa Jawa artinya hidup.
Gesang awalnya bukanlah seorang pencipta lagu, namun sejak kecil telah menyenangi musik. Gesang dahulu hanya seorang penyanyi lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan di Solo.
         
 Gesang adalah anak kelima dari 10 bersaudara dari keluarga Martodiharjo. Pada awalnya Keluarga Martodiharjo memiliki kehidupan yang cukup makmur sebagai pengusaha batik di kota Solo dan Gesang senang dengan kondisi keluarganya pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, usaha Batik tersebut mengalami pasang surut karena keadaan sosial-politik di Solo dan pada akhirnya terhenti.

Mengalami kehidupan yang tidak menentu akibat adanya goncangan sosial-politik, maka penderitaan masyarakat di jaman penjajahan sangat dirasakan sehingga hampir setiap anak pribumi menjalani kehidupan yang tidak layak, termasuk Gesang kecil.

Keluarga Gesang bukan berasal dari keturunan seniman, namun ayah Gesang, memiliki suara yang merdu sehingga bakat menyanyi itu menurun kepadanya. Gesang terkesan dengan ayahnya yang sering ura-ura untuk menghiburnya ketika Gesang sakit. Gesang kecil yang hidup di masa penjajahan, mengenyam pendidikan di Standard School atau Sekolah Rakyat (SR) Ongko Loro di daerah Punggawan, Solo, sampai kelas V.

Masa sekolah Gesang tidak begitu gemilang, namun Gesang tidak minder dan cukup bangga karena pada masa itu jarang ada seorang anak pribumi yang bisa sekolah sampai kelas V.

Masa kanak-kanak Gesang tidak banyak diingat karena Gesang kecil hidup di masa penjajahan Kolonial Belanda. Ayah Gesang dengan tegas melarang anak-anaknya menekuni dunia seni, karena profesi di bidang tersebut dipandang tidak akan menjanjikan masa depan yang cerah.

Pelarangan menekuni bidang seni tersebut karena kehidupan seniman keroncong pada sekitar tahun 1920-an identik dengan kemiskinan. Seniman keroncong di mata masyarakat lekat dengan hura-hura, minuman keras, judi dan hal-hal buruk lainnya. 

Darah seni yang mengalir dari ayah Gesang tidak mendapat saluran yang tepat, sehingga naluri seni yang dimiliki Gesang lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan tekad kuat dalam dirinya. Gesang setelah selesai sekolah tidak berpangku tangan dan secara otodidak belajar apa saja kepada orang-orang tertentu tentang segala pengetahuan termasuk belajar musik.

Gesang menyukai seni karawitan atau gendhing-gendhing Jawa sebelum menekuni keroncong. Gesang kemudian memutuskan pindah ke jalur musik keroncong karena seni karawitan dirasa agak sulit. 

Selain menekuni musik keroncong, Gesang juga mempunyai keahlian melukis. Pada saat masih muda, Gesang ingin belajar melukis dan perlahan mulai bisa melukis. Lukisan yang sekarang ada di Kemlayan merupakan hasil karya Gesang. Pada tahun 1935 Gesang sempat melukis ayah dan ibunya.

Gesang tidak punya peninggalan lukisan karena setelah masuk dunia keroncong, kegiatan melukis ditinggalkan. Meninggalkan dunia seni lukis dan menekuni keroncong, Gesang dimarahi orang tuanya. “wah, sudah bisa keroncongan terus, apa itu?” kalimat tersebut selalu diingat oleh Gesang dan sempat diceritakan kepada keponakannya, Bapak Yani Efendi yakni anak dari adik Gesang. Dimarahi orang tua tidak membuat Gesang berhenti untuk belajar musik keroncong dan tetap nekat menekuni keroncong.

Gesang tertarik terhadap seni sejak kecil dan tidak dapat dicegah oleh siapapun, termasuk orang tua Gesang. Ayah Gesang meskipun melarang anaknya terjun ke dunia seni, namun tanpa sadar telah merangsang memori musikal Gesang ketika sedang ura-ura. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Gesang kecil sering sakit-sakitan, sehingga ayah Gesang juga sering ura-ura untuk menghibur Gesang kecil.

Memori musikal yang ada dalam diri Gesang semakin bertambah karena sering mendengar rengeng-rengeng para pegawai pabrik batik ayahnya ketika jam kerja. Momentum lain yang sering dialami dan menggetarkan jiwa seni Gesang adalah ketika mendengarkan bawa dari piringan hitam milik tetangga, yang merupakan seorang Swarawati di Kraton Kasunanan Surakarta. Berkat suara piringan hitam tersebut, Gesang mampu menirukan bawa Sekar Macapat Dhandhanggula.

Bidang yang menarik minat Gesang selain musik adalah olahraga. Dalam dunia olahraga Gesang lebih banyak aktif dalam kegiatan bermain bulu tangkis.

Gesang juga pernah menjadi anggota klub sepak bola, namun hanya sebagai pemain cadangan karena Gesang bertubuh pendek dan permainannya tidak mengalami kemajuan. Sering menjadi pemain cadangan membuat Gesang bosan, karena hanya duduk di tepi lapangan menonton teman-temannya bermain.

Gesang memilih bulu tangkis sebagai kegiatan olah raga setelah tidak lagi bermain sepak bola, karena Gesang dapat lebih berprestasi dan diperhitungkan setiap lawan. 

Permainan bulu tangkis membat Gesang menjadi sangat serius sehingga mendorong ke arah sikapnya yang Individualistis. Sikap Individualis Gesang juga berdampak ke dalam karier bermusiknya, yakni mulai mencoba menciptalan lagu dan kemudian dinyanyikan sendiri.
 
Gesang belajar menyanyi secara otodidak dan mandiri serta pernah mendapat bimbingan nembang berkat suara piringan hitam. Selama belajar di Sekolah Ongko Loro, Gesang juga mendapat pelajaran nembang macapat sehingga bakat nembangnya meningkat. Bakat yang dimiliki Gesang semula hanya untuk hiburan pribadi, yaitu ketika rengeng-rengeng di tepi lapangan sepak bola atau ketika bersantai.

Semenjak mampu menyanyikan bawa Sekar Macapat Dhandhanggula Turulare dhawah lelagon Kembang Kacang dengan baik, nama Gesang mulai dikenal masyarakat umum. Lingkungan di kampung tempat Gesang tinggal ternyata sangat kondusif untuk merangsang kepekaan seni dan memori musikal dalam diri Gesang.

Pada awalnya Gesang hanya sebatas tertarik pada tembang-tembang Jawa, namun kemudian secara perlahan dan bertahap Gesang dapat menguasai beberapa bawa dan lagu lainnya.

2.  Menjadi Musisi Profesional dan Mencipta Lagu Sendiri
Gesang menekuni bidang seni musik keroncong sejak usia muda sebagai penyanyi dari kampung ke kampung. Pada awalnya Gesang tidak percaya diri karena menganggap suaranya tidak begitu merdu, namun demikian tidak ada satupun pendengar yang protes dengan suara Gesang. Teknik menyanyi Gesang pada awalnya masih cukup rendah, namun Gesang tekun mempelajari teknik-teknik menyanyi, baik dari orang lain maupun evaluasi sendiri.

Gesang mempunyai lagu andalan yang menjadi ciri khas dalam setiap pertunjukannya, yakni bawa Sekar Macapat Dhandhanggula Turulare dhawah lelagon Kembang Kacang dan bawa atau lagu-lagu lainnya. Imbalan menyanyi pertama yang didapat Gesang adalah sebesar 25 (dua puluh lima) Sen, yang sebagian digunakan untuk membeli alat-alat musik keroncong.

Hal yang unik adalah alat-alat musik keroncong yang dibeli tersebut, yang memainkan adalah teman-teman Gesang yang lebih mahir, karena Gesang sendiri tidak bisa memainkan alat musik selain seruling.

Gesang bergabung ke dalam kelompok Marko (Marsudi Agawe Rukun Kasarasan lan Olahraga) pada tahun 1935 dan mempelajari lagu-lagu keroncong lama dari teman-temannya yang lebih dahulu menjadi penyanyi. Mempelajari lagu keroncong menurut Gesang tidaklah sulit, karena pada saat itu irama keroncong masih sederhana, mudah diingat dan mudah dihapal.

Tiga tahun menjadi penyanyi di kelompok Marko membuat Gesang menjadi terkenal di Kota Solo. Bergabung dengan kelompok Marko, membuat Gesang dapat menggali, menimba dan mengembangkan wawasan budaya bahkan membesarkan nama Gesang dalam bidang seni suara. Gesang kemudian mendapat ide untuk berusaha membuat lagu sendiri dengan media seruling kesayangannya.

Lagu ciptaan Gesang yang pertama adalah lagu berjudul Si Piatu, yang menceritakan tentang seorang anak yang sudah tidak punya orang tua. Gesang kemudian memperkenalkan lagu keroncong ciptaan pertamanya kepada segenap masyarakat Solo, dimana Gesang sendiri yang menyanyikan lagu Si Piatu.

Kelompok Marko membawa Gesang menyanyi dari kampung ke kampung dan akhirnya masuk ke radio dan dapur rekaman. Suara Gesang pertama kali mengudara di radio SRV (Solosche Radio Vereeniging) Solo lewat lagu karyanya sendiri yang berjudul Si Piatu. 

Selama menjadi penyanyi, Gesang mencoba menciptakan lagu sendiri sehingga akhirnya Gesang terkenal sebagai penyanyi sekaligus pencipta lagu keroncong di Solo. Karya-karya Gesang dapat dikatakan merupakan rekaman peristiwa yang dilihat, didengar dan dialami oleh Gesang. Semua lagu yang diciptakan oleh Gesang adalah berdasarkan pengalaman yang ada semasa hidupnya.

Pada tahun 1938 Gesang menciptakan lagu Roda Dunia, yakni sebuah lagu yang bertema tentang politik. Lagu Roda Dunia merupakan ungkapan isi hati Gesang yang menanggapi keadaan dunia yang pada saat itu sedang dilanda perang.

Belanda yang telah lama menjajah Nusantara, mengalami kekalahan oleh tentara Jerman sehingga memaksa Ratu Belanda mengungsi ke Inggris dan Gesang begitu gembira dengan kabar tersebut. Kekalahan Belanda oleh Jerman membuat Gesang berpikir bahwa sesungguhnya keadaan dunia itu serba tidak pasti, yakni seperti roda yang selalu berputar.

Lagu Bengawan Solo yang diciptakan tahun 1940 merupakan karya Gesang yang paling terkenal. Lagu ciptaan Gesang yang terinspirasi dari pasang surut air Sungai Bengawan Solo tersebut merupakan lagu yang mendunia karena diterjemahkan ke dalam 13 bahasa, termasuk bahasa Inggris, bahasa Tionghoa, dan bahasa Jepang.

Lagu-lagu ciptaan Gesang terdahulu yakni Si Piatu dan Roda Dunia termasuk keroncong asli, namun kali ini Bengawan Solo merupakan lagu dengan gaya baru. Masih termasuk lagu keroncong tetapi beda, karena bukan keroncong asli. Munculnya lagu Bengawan Solo telah menggemparkan masyarakat Kota Solo.

Gesang heran dengan air Sungai Bengawan Solo yang selalu pasang surut. Pada musim kemarau, sungai Bengawan Solo sangat kering sampai-sampai dapat digunakan untuk bermain sepak bola oleh anak-anak dan banyak perahu yang terbengkalai di tepi sungai karena tidak ada air. Di musim hujan air sungai Bengawan Solo mengalir penuh dan terkadang meluap sampai ke kota.

Proses penciptaan Lagu Bengawan Solo memakan waktu hingga 3 bulan. Pada awal kemunculan Lagu Bengawan Solo, tidak semua orang menyukainya karena dianggap tidak sesuai pakem atau tidak memenuhi syarat sebagai Lagu Keroncong. 

Berbeda dengan pendapat kawula muda yang menyukai lagu tersebut, karena merupakan sesuatu yang baru dalam musik keroncong. Lagu Bengawan Solo kemudian disebut sebagai “Langgam Keroncong”, yakni lagu keroncong dengan model baru. Gesang selanjutnya disebut sebagai tokoh pembaharu dengan memunculkan Langgam Keroncong.

Bubarnya Kelompok Marko tidak membuat karir Gesang berakhir. Gesang kemudian bergabung dalam Orkes Keroncong Kembang Kacang yang dipimpin Soeyoko. Kemampuan menyanyi Gesang semakin baik karena Orkes Kembang Kacang memiliki pengasuh dan pemain-pemain yang lebih profesional.

Orkes Kembang Kacang merupakan kelompok yang laris, karena sering mendapat tanggapan pentas dan sering memenuhi banyak permintaan dari masyarakat yang mempunyai hajatan untuk keperluan pesta. Pada masa itu, sebagian golongan masyarakat berpendapat bahwa suatu hajatan akan lebih bergengsi jika disertai hiburan musik keroncong.

Semakin seringnya musik keroncong tampil dalam suatu hajatan atau pesta merupakan tanda bahwa musik dan musisi keroncong semakin dihargai oleh masyarakat, tidak seperti keroncong pada tahun 1920-an atau keroncong Cap Barat yang identik dengan hura-hura dan minuman keras.

Suara Gesang yang baik menjadi jaminan mutu dan nilai tambah bagi setiap Orkes Keroncong tempat Gesang bergabung. Perjalanan karir Gesang sebagai penyanyi di grup-grup Orkes Keroncong yang terkenal pada masa itu antara lain sebagai anggota Orkes Keroncong Marko, Orkes Kembang Kacang pimpinan Soeyoko, Sinar Bulan, Bunga Mawar pimpinan Soeprono, Monte Carlo, Cempaka Putih pimpinan Marto Viol, Irama Sehat pimpinan Slameto, Gema Puspita pimpinan M. Munawir, Bintang Surakarta pimpinan Budi Sulistyo (suami dari penyanyi Waljinah), Nada Pratidina pimpinan Soejatman dan Radio Orkes Surakarta milik Radio Republik Indonesia.

Kualitas suara Gesang juga menarik beberapa produser rekaman. Studio rekaman yang pernah merekam suara dan karya-karya Gesang antara lain Borobudur Record, Kusuma Record, Pusaka Record, Ira Puspita Record, Dasa Record, Lokananta Record, Musica Studio dan PT. Gema Nada Pertiwi Record.

Tahun 1941 Gesang menciptakan sebuah Lagu berjudul Sapu Tangan. Lagu tersebut merupakan lagu tentang kisah percintaan Gesang yang awalnya bahagia namun berakhir dengan kesedihan. Lagu Sapu Tangan terinspirasi oleh sapu tangan pemberian kekasih Gesang. 

Pada jaman dahulu, ada semacam Mitos yang mengatakan, kalau sedang pacaran jangan sampai memberi tanda mata berupa sapu tangan karena sapu tangan itu sering memutus tali cinta. Gesang yang awalnya berpikir realistis dan tidak percaya, pada akhirnya harus mengalami mitos sapu tangan tersebut.

Hubungan Gesang dengan kekasihnya harus berakhir karena kekayaan Ayah Gesang masih kalah dengan kekayaan Ayah kekasih Gesang. Pada masa itu ada sebuah adat yang berlaku bagi kalangan juragan Batik Kota Solo, bahwa Anak Juragan Batik harus dikawinkan dengan anak juragan batik pula yang kekayaannya setara.

Pada tahun 1942 Gesang ikut teater keliling “Bintang Surabaya” pimpinan Fritz Young. Kelompok Bintang Surabaya pada tahun 1942 mengadakan pertunjukan keliling Pulau Jawa dan pimpinan kelompok tersebut mengajak Gesang bergabung. Gesang digaji cukup besar ketika ikut teater keliling tersebut. Tugas Gesang adalah menyanyi lagu-lagu keroncong disetiap pergantian babak ketika pementasan berlangsung.

Pada saat ikut Bintang Surabaya itulah Gesang menciptakan lagu Jembatan Merah di tahun 1943. Awalnya Gesang diminta pimpinan kelompok Bintang Surabaya menciptakan lagu berjudul Jembatan Merah untuk keperluan Sandiwara. Pimpinan Bintang Surabaya menceritakan Lakon Jembatan Merah yang akan dipentaskan bercerita tentang kisah cinta yang putus ditengah jalan.

Pagi hari Gesang naik becak melintasi sebuah jembatan kecil di Surabaya yang tidak berpagar, namun di sebelah timur jembatan berdiri beberapa gedung besar yang bagus. Gesang segera mengambil pena yang dibawanya, kemudian menulis syair dan terciptalah lagu Jembatan Merah yang kemudian dinyanyikan dalam.

Pada tahun 1943 Gesang bergabung dalam Palang Merah Indonesia (PMI) Solo yang berpusat di Mangkubumen. Bergabung dalam PMI merupakan perjuangan Gesang sebagai warga Negara, karena Gesang takut mengangkat senjata sehingga memilih perjuangan non fisik sebagai wujud baktinya kepada Negara. 

Sebagai warga sipil dan anggota PMI Solo, Gesang pernah ditangkap dan diinterogasi oleh Belanda karena dicurigai sebagai pejuang Indonesia yang ikut berperang. Penahanan Gesang tidak berlangsung lama, karena Belanda tidak mempunyai cukup bukti dan banyak tentara Belanda yang mengetahui bahwa orang yang ditahan itu adalah penyanyi Orkes Keroncong Monte Carlo

Bergabung dalam PMI selama setahun membuat Gesang berhenti sementara untuk menyanyi dan mencipta lagu karena berada dalam situasi yang tidak mendukung. Berakhirnya perang, maka berakhir juga situasi yang berbahaya sehingga Gesang dapat kembali menyanyi dan pencipta lagu keroncong.

3.  Tampil di Luar Negeri dan Tetap Mencipta Lagu
Presiden Soekarno pada masa pemerintahannya sering mengadakan diplomasi luar negeri dengan menggunakan bidang sosial-budaya untuk menarik minat bangsa asing, agar mau menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia yang baru merdeka. Program yang digagas oleh Presiden Soekarno juga disebut Misi Kebudayaan. 

Negara-negara yang pertama menjadi tujuan adalah Republik Rakyat China dan Korea utara pada tahun 1963. Gesang turut bergabung dalam Misi Kebudayaan tersebut bersama seniman-seniman Indonesia dari berbagai bidang seni dan bertugas menjalin persahabatan melalui seni dan budaya.

 Di RRC dan Korea Utara, tugas Gesang adalah menyanyikan lagu Bengawan Solo dan Sapu Tangan. Dapat dikatakan tugas Gesang adalah memperkenalkan Musik Keroncong kepada masyarakat di kedua Negara tersebut. Gesang terkesan dengan keindahan Tembok Besar Cina ketika misi kebudayaan singgah di RRC. Kekaguman Gesang terhadap The Great Wall of China telah memberi inspirasi untuk menciptakan lagu berjudul Tembok Besar.

Tahun 1963 selain menciptakan lagu Tembok Besar, Gesang juga menciptakan lagu yang berjudul Sebelum Aku Mati. Lagu dengan bentuk langgam keroncong ini terinspirasi dari pidato-pidato Bung Karno yang didengar Gesang melalui siaran radio RRI pada saat masih menjadi Presiden Repulik Indonesia

Presiden Soekarno secara tidak langsung telah berperan dalam karier Gesang. Misi Kebudayaan yang digagas oleh Presiden Soekarno telah membawa Gesang berpetualang ke luar negeri dan dapat melakukan hobi bermusik keroncong. Pesan lain yang ingin disampaikan Gesang adalah sebelum mati, Gesang ingin terlebih dahulu meninggalkan warisan yang berharga dan dapat dinikmati oleh orang-orang yang ditinggalkan.

Pada Tahun 1971 Gesang menciptakan Lagu Pamitan, yang merupakan lanjutan cerita cinta pada lagu Sapu Tangan. Pada malam hari, Gesang teringat dengan kisah cintanya yang berakhir sedih dan kemudian mencipta lagu dengan media seruling. Pamitan merupakan langgam yang melengking tinggi dan bernada berat, sehingga tidak mudah dinyanyikan oleh setiap penyanyi.

Lagu ciptaan Gesang lainnya yang juga terkenal adalah Langgam Caping Gunung yang digubah tahun 1973. Langgam Caping Gunung bercerita tentang orang tua yang teringat dengan anak laki-lakinya. Pada jaman perang kemerdekaan, anak laki-laki ketika berjuang dibekali Nasi Jagung dan dipinjami Caping Gunung dan pada masa pembangunan, ternyata si anak tidak melupakan jasa orang tua dari desa yang dahulu telah mendukung perjuangan anak.

Mulai tahun 1980-an Gesang melanjutkan lagi kunjungannya ke luar negeri. Jepang merupakan Negara yang paling sering dikunjungi Gesang, yakni tahun 1980 diundang sebagai tamu kehormatan dalam “Festival Bengawan Solo” pada upacara penyambutan musim gugur dan diundang pada Festival Salju Sapporo atas undangan Himpunan Persahabatan Sapporo dengan Indonesia.

Kunjungan berikutnya pada tahun 1988 atas undangan Organisasi Pesahabatan Indonesia-Jepang di Kansai. Tahun 1990 dan 1991 Gesang bersama seniman keroncong Surakarta mendapat undangan dari Osaka. Pada tahun 1992 Gesang diundang oleh Tuan Oen dari Orkes Melayu Malaysia dan berpentas di Gedung Keputraan Kuala Lumpur serta di Negara bagian Johor. Tahun 1994 Gesang bersama Waljinah berkunjung ke Jepang atas undangan Mitsuo Hirano di Tokyo.

 Kunjungan terakhir Gesang ke luar negeri adalah pada bulan Mei tahun 1996 bersama rombongan Delegasi Kesenian PT. Gema Nada Pertiwi ke Shanghai, dalam acara yang bertajuk “Malam Bengawan Solo”.

Gesang menciptakan lagu dan diyanyikan oleh orang yang tepat, sehingga terdengar bagus dan pas. Lagu-lagu ciptaan Gesang seperti Bengawan Solo dan Jembatan Merah menjadikan Gesang populer di Jepang, karena banyak orang Jepang yang menyukai lagu-lagu tersebut yang dapat mengingatkan sebagian orang Jepang yang pernah tinggal di Indonesia.

Kepopuleran Lagu Bengawan Solo juga telah mengharumkan nama Kota Solo sampai ke luar negeri, yakni sebagai kota tempat tinggal pencipta lagu Bengawan Solo. Gesang meyakini bahwa kemampuannya mencipta lagu adalah Anugerah Tuhan yang harus dijaga.

Gesang tidak ingin hanya membuat asal jadi dalam berkarya, karena setiap pekerjaan harus dituntaskan dengan sebaik-baiknya agar tidak mendatangkan penyesalan dikemudian hari. Prinsip dalam berkesenian adalah tidak larut dalam tren mencipta lagu yang sekejap dikenal orang, syairnya asal-asalan dan hanya memenuhi pesanan juragan kaset.

Karya-karya Gesang merupakan jaminan mutu dan selalu mempunyai nilai jual tinggi. Selain bermutu, juga banyak digemari masyarakat.

Faktor-faktor yang menyebabkan lagu-lagu Gesang digemari masyarakat antara lain:
a) Lagu-lagu Gesang mudah dihapal dan dinyanyikan karena memiliki kesahajaan dalam melodi lagu, lirik serta tema. Hal tersebut membuat penyanyi maupun musisi akan dapat membuat lagu Gesang menjadi lebih baik dengan menggunakan variasi yang selaras,
b) Pengaruh publikasi yang berlangsung selama bertahun-tahun mengakibatkan masyarakat menyatu dengan karya-karya yang telah  dipublikasikan,
c) Karya-karya Gesang dapat diterima masyarakat dan dapat berkolaborasi dengan jenis musik yang lain,
d) Khusus untuk langgam Jawa, dinyanyikan oleh penyanyi yang tepat (Waljinah) ketika pertama kali dikenalkan kepada masyarakat.

Gesang merupakan seorang yang sangat rendah hati, pantang berkonflik, tidak ingin mengecewakan orang lain, cenderung lentur dan mengalah. Dalam menjalani hidup, Gesang ingin tetap bersikap jujur, sabar, apa adanya serta tidak silau dengan daya tarik imbalan materi dan ketenaran. Menurut Gesang, menjalani hidup itu baiknya apa adanya, asal tidak merugikan orang lain.

Gesang tidak mengeluarkan reaksi berlebihan ketika beredar kabar bahwa lagu Bengawan Solo bukanlah ciptaan Gesang, melainkan ciptaan Soejoko pemimpin Orkes Keroncong Monte Carlo. Sikap Gesang yang nrimo itu juga di tunjukkan ketika Gesang dirampok saat mengambil uang Rp 10 juta dari bank. Tidak ada tindakan apa pun, Gesang kembali memutar sepeda motornya menuju bank dan mengambil lagi uang Rp 7 juta. Gesang merasa tidak mengapa dan tidak perlu lapor polisi karena merasa dirinya selamat dari perampokan tersebut.

Ada peristiwa yang hampir merugikan Gesang karena sikapnya yang lugu dan nrimo. Lagu-lagu Gesang pernah direkam orang lain dan Gesang tidak dibayar samasekali, namun Gesang hanya diam saja. Mengetahui hal tersebut, Waljinah kemudian maju dan mengurus segala sesuatunya sehingga Gesang bisa mendapat bayaran yang semestinya.

Waljinah merupakan penyanyi yang dekat dengan Gesang dan menyanyikan hampir semua lagu-lagu ciptaan Gesang, terutama yang berbentuk langgam Jawa. Waljinah pula yang mendorong Gesang untuk menciptakan langgam Jawa. Lagu-lagu Gesang yang dahulu diciptakan  hanya berbentuk keroncong dan langgam keroncong.

4.  Masa Tua Bersama Keponakan
Kehidupan Gesang di masa tua begitu sederhana, baik ketika tinggal di Perumnas Palur, maupun setelah pindah ke rumah keponakannya di Jalan Bedoyo No. 5 Kemlayan, Solo. Gesang pindah ke Kemlayan Sejak tahun 2001, 

“Sebelumnya pakdhe Gesang tinggal di Perumnas Palur, menempati rumah hadiah dari gubernur pada saat itu, Bapak Suparjo Rustam. Di Palur pakdhe tinggal sendirian tanpa sanak saudara, cuma sama pembantu dan mulai sering sakit karena usia yang sudah lanjut. Pihak keluarga, yakni ibu saya (ibu saya ‘kan adiknya) kemudian menyarankan agar pakdhe Gesang pindah ke sini (Kemlayan)”, ujar Bapak Yani Efendi.

Gesang menyatakan prihatin dengan kondisi musik keroncong saat ini. Musik keroncong seakan-akan ambles, merosot sekali, namun tidak bisa dikatakan mati. Musik keroncong merupakan musik nasional yang muncul di Indonesia dan Gesang yakin keroncong tidak akan mati. Sejak munculnya musik Campursari, banyak masyarakat yang menggemari, karena memang musiknya enak didengar sehingga keroncong asli seperti tenggelam. 

Akhir-akhir ini keroncong mulai digemari kembali, yakni banyak kaset musik keroncong yang terjual. Hal yang keliru adalah banyak masyarakat yang menganggap campursari adalah keroncong, padahal kedua musik tersebut jelas berbeda. Banyak musik campursari sekarang yang menurut mendiang Gesang tidak bagus, karena tiap instrumen hanya berebut keras, gobyog (riuh-rendah).

Musik keroncong sekarang ini menurut Gesang, pada umumnya tanpa aransemen. Keroncong sekarang apabila diaransir, aransemennya terlalu ramai dan jadi kurang laras. Pada masa lampau, setiap lagu harus diaransir, karena aransemen adalah jiwa dari sebuah lagu. Menurut Gesang, lagu yang diaransir akan lebih hidup dan laras.

Musisi-musisi keroncong sekarang ini pada umumnya kurang menguasai jenis-jenis musik keroncong maupun aturan-aturan bakunya, misalnya tidak bisa membedakan lagu mana yang merupakan Stambul II dan lagu keroncong asli. 

Hal lain yang menimbulkan keprihatinan bagi Gesang adalah lagu-lagunya dibajak oleh label yang tidak jelas dan beredar luas di luar negeri, terutama di Belanda. Keprihatianan Gesang tersebut sangat mendasar mengingat Negeri Belanda sangat erat hubungannya dengan Suriname, yang sebagian besar penduduknya merupakan keturunan orang Jawa.

Di Negara Suriname banyak pejabat maupun masyarakat yang mengenal Gesang melalui lagu-lagunya, padahal Gesang sangat identik dengan Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Semakin memprihatinkan karena pembajakan tersebut baru diketahui pada awal tahun 2010.

Hal yang membuat Gesang sedikit mengabaikan rasa prihatinnya adalah banyak anak muda sekarang yang mau berkecimpung dalam dunia musik keroncong, meskipun kurang menguasai jenis-jenis musik keroncong maupun aturan-aturan bakunya.

Dalam pengembangan musik keroncong, Gesang berpesan agar anak-anak muda jangan sampai meninggalkan pembawaan dan gaya keroncong aslinya. Dalam perkembangan musik keroncong di masa modern, musik keroncong dikombinasikan dengan musik jenis lain seperti yang digubah oleh Bondan Prakoso Fade 2 Black, yakni mengkombinasikan musik keroncong dengan musik rap.

Mengenai kepindahan Gesang ke Kampung Kemlayan, adalah karena memang Gesang dahulu tinggal di Kemlayan saat masih bersama orang tuanya.

“Pakdhe itu ‘kan memang aslinya dari sini, Kampung Kemlayan. Rumah ini adalah peninggalan kakek saya, pak Martodiharjo dan dulu kakek saya memang tinggalnya di sini. Dulu rumahnya luas, tapi karena sudah dibagi-bagi, sekarang tinggal ini. Rumah ini sebenarnya milik pak Toyib, adiknya pakdhe Gesang”, begitu penjelasan Bapak Yani Efendi.

Kegiatan Gesang di Kemlayan hanya kegiatan yang ringan seperti orang tua biasa pada umumnya. Di pagi hari Gesang sering jalan-jalan, kemudian sarapan atau jajan Soto di daerah Kratonan dan malam harinya terkadang pergi ke Wedangan di wilayah Pasar Pon.
 
“Ya sering. Warung Sotonya di Kratonan, dari Matahari Singosaren itu ke timur, ada perempatan ke kanan. Saya lupa nama warungnya, tapi sampai sekarang masih buka. Kalau malam hari kadang main ke Wedangan dekat perempatan Pasar Pon agak ke barat, di selatan jalan. Kalau sekarang ‘kan wedangannya sudah pindah ke utara jalan semua, tapi bakule (yang jualan) juga masih. Dulu pernah diliput sama TATV pas makan di warung Soto sama di Wedangan”.

Menikmati hari tua di Kemlayan, Gesang masih sering dikunjungi oleh tokoh-tokoh musik, baik dari Solo maupun luar Solo, bahkan musisi dari ibukota. “Wah, banyak Mas, terutama dari lingkungan dekat sini misalnya Waljinah, dan banyak Mas, saya sampai lupa, terus artis-artis ibukota juga pernah ke sini seperti Mas Iwan Fals, Bodan Prakoso Fade 2 Black, ya..., yang respek sama musik keroncong, terus Sundari Sukotjo, Mus Mulyadi, dan banyak lah..” kata Bapak Yani Efendi.

Tokoh-tokoh musik yang mengunjungi Gesang, merupakan para musisi yang mengaku mengagumi sosok Gesang sebagai seorang Maestro Keroncong. Gesang itu orangnya lugu, sangat sederhana, meskipun dijuluki Maestro, tetapi tidak merasa terkenal. Lebih suka dianggap sebagai orang biasa dan tidak suka ditinggi-tinggikan.

Pada akhir tahun 2007 Grup Bondan Prakoso & Fade 2 Black, menciptakan komposisi lagu berjudul Keroncong Protol, yang memadukan musik gaya rap dengan musik latar belakang irama keroncong. Pada saat Gesang ditanya mengenai munculnya Keroncong Protol, Gesang tidak mempermasalahkannya. 

“Pas ditanya itu, pakdhe menjawab ya, nggak apa-apa asalkan masih ada keroncongnya. Keroncong mau diselingi musik apa aja, pakdhe nggak apa-apa. Sebenarnya memang sudah keluar dari pakem, tapi karena ada unsur keroncongnya pakdhe tetap manghargai” ujar Bapak Yani Efendi.

Menurut Bapak Yani sendiri yang juga menyukai musik keroncong, lagu Keroncong Protol tidak menjadi masalah karena dikemas dengan bagus dan masyarakat juga bisa menerima, serta tidak ada yang protes ataupun mencibir.

Gesang tidak mempunyai putra sehingga tidak mewariskan kemampuannya bermusik kepada seseorang. Pak Yani keponakan Gesang juga tidak mewarisi bakat bermusik keroncong dari Gesang, hanya sebagai penikmat saja.

Selama tinggal di Kemlayan, Gesang masih sering mendapat undangan dari berbagai pihak untuk acara-acara tertentu, namun tidak semua bisa dihadiri mengingat kondisi kesehatan Gesang yang menurun.

“Tinggal menikmati hari tua, lebih banyak istirahatnya. Kalau pas bugar, kondisinya baik, terus kemudian ada undangan ya datang, tapi kalau kondisi kesehatannya tidak memungkinkan ya ijin”. Kesehatan yang menurun adalah hal yang wajar mengingat usia Gesang sudah memasuki 86 tahun ketika pindah ke Kemlayan pada tahun 2001.

Menjelang akhir hayatnya, Gesang senantiasa mengingatkan kepada generasi muda agar melestarikan keroncong dan juga berpesan jangan sampai keroncong mati. Gesang meninggal pada hari kamis, tanggal 20 Mei 2010 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo pada umur 92 tahun.

Selain faktor usia yang sudah tua, meninggalnya Gesang juga karena penyakit komplikasi yang dialami, antara lain jantung koroner, gangguan saluran pernapasan, gangguan paru-paru, gangguan saluran kencing (prostat) dan kesadaran yang menurun. Gesang memang telah meninggal, namun karya-karyanya akan tetap melegenda.

 

5.  Pekerjaan, Karya dan Penghargaan
a.  Pekerjaan :
1)  Membantu perusahaan batik orang tua (1933-1941)
2)  Penyanyi keroncong/langgam (1935-2002)
3)  Pencipta Lagu (1939-1996)

b.  Karya :
1)  Si Piatu, 1938  (Keroncong asli)
2)  Roda Dunia, 1939  (Keroncong asli)
3)  Swasana Desa, 1939  (Keroncong asli)
4)  Bengawan Solo, 1940  (Langgam keroncong)
5)  Sapu Tangan, 1941  (Langgam keroncong)
6)  Tirtonadi, 1942  (Langgam keroncong)
7)  Muda Dewasa, 1942  (Keroncong asli)
8)  Bilamana Dunia Berdamai, 1942  (Langgam keroncong)
9)  Jembatan Merah, 1943  (Langgam keroncong)
10)  Pandan Wangi, 1949  (Langgam Jawa)
11)  Dongengan, 1950  (Langgam keroncong)
12)  Kacu Biru, 1950  (Langgam Jawa)
13)  Nawala, 1955  (Langgam Jawa)
14)  Pangling, 1955  (Langgam Jawa)
15)  Nemahi, 1955  (Langgam Jawa)
16)  Sandang Pangan, 1960  (Langgam Jawa)
17)  Aduh Lae, 1960  (Langgam Jawa)
18)  Pinter, 1960  (Langgam Jawa)
19)  Oglangan, 1960  (Langgam Jawa)
20)  Pilih Tandhing, 1960  (Langgam Jawa)
21)  Bumi Emas Tanah Airku, 1963  (Keroncong asli)
22)  Sebelum Aku Mati, 1963  (Langgam keroncong)
23)  Tembok Besar, 1963  (Langgam keroncong)
24)  Sun Kibarke, 1965  (Langgam Jawa)
25)  Borobudur, 1965  (Langgam keroncong)
26)  Tlingsingan, 1965  (Langgam Jawa)
27)  Andheng-andheng, 1965  (Langgam Jawa)
28)  Rahayu, 1965  (Langgam Jawa)
29)  Tandha Tangan, 1965  (Langgam Jawa)
30)  Tersenyum, 1965  (Langgam keroncong)
31)  Janji Rukun, 1966  (Langgam Jawa)
32)  Ngelam-lami, 1967  (Langgam Jawa)
33)  Andum Basuki, 1968  (Langgam Jawa)
34)  Ali-ali, 1970  (Langgam Jawa)
35)  Urung, 1970  (Langgam keroncong)
36)  Ngimpi, 1970  (Langgam Jawa)
37)  Pamitan, 1971  (Langgam Jawa)
38)  Luntur, 1971  (Langgam Jawa)
39)  Caping Gunung, 1973  (Langgam Jawa)
40)  Kacu-kacu, 1973  (Langgam Jawa)
41)  Kenya Sala, 1973  (Langgam Jawa)
42)  Nusul, 1973  (Langgam Jawa)
43)  Kalung Mutiara, 1973  (Langgam keroncong)
44)  Payungan, 1975  (Langgam Jawa)
45)  Seto Ohasi, 1988  (Langgam keroncong)
46)  Ora Menangi, 1996  (Langgam Jawa)

c.   Penghargaan :
1)  Penghargaan Bintang Warga Kota Teladan dari Walikota Surakarta (1973)
2)  Piagam dari Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) II (1976).
3)  Piagam Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan & Kebudayaan RI (1977).
4)  Penghargaan TVRI stasiun Yogyakarta (1978).
5)  Piagam Penghargaan dari OISCA International Indonesia (1978).
6)  Hadiah rumah di Perumnas Palur dari Gubernur Jawa Tengah (1979).
7)  Pembangunan Taman Gesang di Jurug, tepi sungai Bengawan Solo (1983).
8)  Penghargaan PWI HUT XXXIX dan HUT VI Museum Pers Nasional (1985).
9)  Penghargaan Walikota Surakarta, Dalam rangka Fespic Games IV (1986).
10)  Bintang penghargaan dari Kaisar Akihito, Jepang (1992).
11)  Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden RI (1992).
12)  Penghargaan Anugerah Seni dari Yayasan Musik Hanjaringrat (2002).
13)  Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas prestasi “Usia Tertua (85 Tahun) Masuk Dapur Rekaman” (2003).
14)  Penghargaan dari ajang Anugerah Musik Indonesia (AMI) Samsung Awards  kategori ”The Legend” (2004).
15)  Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas prestasi “Pencipta Lagu Keroncong Yang Paling Banyak Direkam Dalam Berbagai Versi Oleh Bermacam Artis” (2004).
16)  Penghargaan ”Special Achievement For A Lifetime” dalam Bali Music Award (2005).
17)  Penghargaan dari SOLOPOS Award (2006).
18)  Penghargaan dari Majalah Rolling Stones (2008).
19)  Piala Metronome dari Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Penata Musik Indonesia (2008).


B. Peranan Gesang dalam perkembangan Musik Keroncong

1.  Buaya – Maestro Keroncong
Di Indonesia Gesang disebut sebagai “Buaya Keroncong” oleh para insan musik keroncong. Julukan Buaya keroncong yang disandang oleh Gesang merupakan julukan dalam arti yang positif, yakni sebutan untuk seorang pakar musik keroncong

Buaya Keroncong dalam konotasi yang baik merupakan julukan untuk menyebut orang-orang yang mempunyai intensitas aktif dalam dunia keroncong baik sebagai penyanyi, pemusik atau pencipta lagu keroncong. Dalam pengertian singkat, Buaya Keroncong diartikan sebagai orang yang sehidup semati dengan keroncong.

Versi lain menyatakan sebutan Buaya Keroncong untuk Gesang berasal dari lagu Bengawan Solo ciptaannya. Bengawan Solo adalah nama sungai yang berada di wilayah Kota Surakarta. Buaya yang memiliki habitat di rawa dan sungai itu tidak terkalahkan, sehingga Gesang diibaratkan sebagai Buaya Keroncong karena merupakan pakar keroncong yang belum ada tandingannya.

Asal usul kata “Buaya” sebenarnya berasal dari nama sebuah grup keroncong yang sangat terkenal pada abad ke-19, yakni De Krokodil (krokodil dalam bahasa Belanda berati Buaya) yang berasal dari Kampung Tugu. De Krokodil sempat bubar namun terbentuk kembali di Kemayoran pada tahun 1920-an, oleh orang-orang yang berbeda dengan nama De Krokodillen

Dalam arti yang negatif, Buaya Keroncong adalah sebutan bagi para pemusik keroncong yang masuk-keluar kampung untuk mencari nafkah dengan mengibur dan membuat senang hati, bahkan merayu para gadis. Keroncong pada tahun 1920-an identik dengan grup De Krokodillen, sehingga pemusik keroncong yang hobi merayu gadis dijuluki Buaya Keroncong.

Di Surakarta, kehidupan Buaya Keroncong dalam bermasyarakat tidak berbeda dengan kehidupan orang-orang biasa. Banyak pengalaman dalam kehidupan yang dapat diangkat menjadi sebuah lagu keroncong maupun langgam Jawa. Pengalaman kehidupan tersebut dapat berupa keindahan alam, situasi suatu tempat berkumpulnya orang-orang, tempat bersejarah, keadaan kota, kisah percintaan, kenangan masa perjuangan, tentang makanan atau kondisi sosial masyarakat. 

Orang-orang yang dijuluki Buaya Keroncong biasanya juga menikmati kesenian lain misalnya karawitan, ketoprak, wayang kulit, wayang orang dan kesenian lain. Dalam kesenian, Gesang juga menyukai wayang kulit, wayang orang dan ketoprak. Pengalaman dalam menikmati pertunjukan tersebut dapat menimbulkan ide musikal maupun syair yang kemudian diwujudkan menjadi sebuah lagu keroncong maupun langgam Jawa.

Kehidupan Gesang bergantung pada musik, karena dari kegiatan bermusiklah Gesang mencukupi kebutuhan hidupnya. Seorang pemusik yang berolah musik sebagai mata pencaharian pokok untuk hidup disebut pemusik profesional. Musisi dapat hidup dan terus mengembangkan kepandaian serta keterampilan dalam hidupnya jika dalam masyarakat tempat musisi hidup, ada segolongan orang yang gemar musik. 

Berdasarkan penjelasan tersebut maka Gesang dapat dikatakan sebagai musisi profesional. Hal yang patut ditiru adalah Gesang kesetiaan terhadap keroncong meski musik-musik Barat mulai datang dan menggeser kepopuleran keroncong.

Gesang menjalani profesi sebagai seorang musisi pencipta lagu-lagu keroncong dan langgam dengan tekun, sehingga membuat Gesang memiliki gelar sebagai Maestro keroncong Indonesia.

Maestro adalah orang yang ahli di bidang seni, terutama seni musik seperti komponis dan konduktor. Maestro juga merupakan suatu gelar untuk hasil prestasi dari perjuangan dan pengabdian yang nyata. Tolok ukur seorang seniman untuk dapat mendapat gelar Maestro tidak dipandang dari segi kuantitas karya, melainkan dipandang dari kualitas karya yang muncul dan tidak cepat menghilang.

Gelar Maestro disematkan kepada Gesang berkat perjuangannya dan kesetiaannya dalam mengembangkan serta melestarikan musik keroncong di Indonesia. Gesang sebagai Maestro keroncong sejati tidak pernah berlebihan mengenai konsep berkeseniannya dan tidak memperdebatkan perbedaan idealisme yang ada. Gesang melihat segala sesuatu tidak hanya dari luarnya saja, namun dari kualitas isinya.

2.  Lagu Sederhana yang Bermutu
Lirik lagu ciptaan Gesang semuanya sederhana, tidak ada yang rumit dan semua hal yang pernah dialami Gesang diceritakan kembali dengan jujur sepenuh hati. Gesang hanya menangkap makna dari hal-hal sederhana yang dilihatnya kemudian menulis not dengan bantuan seruling bambu.

Penggunaan seruling bambu, yang merupakan instrumen musik sederhana menyebabkan seluruh lagu ciptaan Gesang bernada utuh dan tidak mengenal tanda chromatic, yaitu naik atau turun setengah nada.

Lagu Bengawan Solo, Jembatan Merah dan Caping Gunung ciptaan Gesang telah memberi makna bahwa untuk mengharumkan nama bangsa di mata dunia tidak perlu harus melalui kekuatan militer. Lagu-lagu ciptaan Gesang meskipun syairnya sederhana namun mampu memberi inspirasi bagi setiap pendengarnya, bahkan kepada bangsa lain. Hal tersebut merupakan orisinalitas kemaestroan Gesang yang pantas ditiru.

Gesang tidak butuh mobil mewah, kekuasaan, rumah megah dan piagam penghargaan sebagai tujuan perjuangannya. Gesang hanya menginginkan budaya bangsa, yakni musik keroncong tetap lestari dan tidak dipandang sebelah mata oleh dunia. Gesang tetap teguh dan setia untuk selalu berjuang mempertahankan idealismenya meski budaya asing semakin gencar masuk ke Indonesia.

Usaha untuk mempertahankan idealisme telah dibuktikan oleh Gesang dengan tetap mencipta lagu-lagu keroncong dan langgam, meski musik populer mulai menggeser keroncong.

Mengarang lagu dan langgam keroncong merupakan profesi sekaligus kegiatan sehari-hari Gesang. Seorang yang disebut pencipta musik memerlukan selera musikal dan bakat khusus untuk mencipta. Selera musikal atau musikalitas saja belum dapat memberi jaminan yang cukup untuk menentukan adanya bakat untuk mencipta. 

Orang yang memiliki musikalitas disebut orang yang musikal, namun musikalitas bukan syarat mutlak untuk menekuni dunia musik. Orang musikal yang mempunyai bakat khusus untuk mencipta dengan baik tidak banyak jumlahnya, jika dibandingkan dengan orang yang mempunyai bakat khusus untuk memainkan sebuah alat musik.

Dalam hal ini Gesang telah membuktikan bahwa dirinya memiliki bakat mencipta yang luar biasa sehingga lagu ciptaannya bisa melegenda, meski hanya bisa memainkan seruling.

Lagu-lagu ciptaan Gesang juga dipengaruhi oleh budaya Jawa, yaitu penggunaan bawa, mengikuti ketentuan Gendhing Jawa. Gesang merupakan pelopor dalam membuat atau memasukkan bawa untuk keroncong atau langgam Jawa.

Pengaruh budaya Jawa yang ada dalam diri Gesang dikarenakan Gesang suka membaca karya-karya sastra Jawa seperti Serat Wedhatama, Wulangreh, Kalatidha dan buku-buku tentang tembang Jawa. Hal-hal yang didapat Gesang adalah ajaran tentang kebajikan dan seluk-beluk tembang, yakni hal-hal yang menyangkut tatanan baku seperti guru wilangan, guru pada dan guru lagu. 

Gesang memang mempelajari seluk-beluk tembang, namun ketika mencipta lagu, liriknya jauh dari kesan pengaruh struktur bahasa Jawa yang ketat. Pilihan kata dan kalimatnya sederhana, tidak terikat aturan bahasa baku serta cenderung bebas sesuai dengan keinginan hati Gesang.

Struktur melodi lagu-lagu ciptaan Gesang jauh berbeda dengan gaya komponis masa kini yang lebih mengutamakan kecanggihan eksplorasi nada dan harmoni. Kesederhanaan lagu-lagu Gesang tersebut menjadi sesuatu yang klasik di masa kini dan justru menjadi suatu kelebihan. 

Munculnya sebuah lagu tidak mungkin dipaksakan, kalau Gesang sedang tidak sedang mempunyai motivasi untuk mencipta karena dibutuhkan sebuah inspirasi serta waktu untuk perenungan tertentu yang mantap. Kreativitas Gesang mencipta lagu keroncong maupun langgam Jawa dengan gaya baru pada waktu itu menunjukkan bahwa Gesang telah menjadi seorang seniman keroncong kreatif.

Gaya dari lagu-lagu Gesang yang unik namun digemari masyarakat, sedikit demi sedikit telah membawa perubahan pada kalangan pencipta lagu dan masyarakat penikmatnya. Karya-karya Gesang telah memberikan sumbangan dalam kehidupan seni musik keroncong di Surakarta dengan memunculkan langgam keroncong, meskipun awal kemunculan langgam keroncong menjadi perdebatan antara para musisi di Surakarta.

Di bidang sosial kemasyarakatan, lagu-lagu Gesang digunakan sebagai hiburan dalam pesta, terutama pesta pernikahan. Lagu Caping Gunung menjadi lagu peralihan dari penyajian musik yang halus ke suasana yang lebih meriah dan lagu Pamitan menjadi lagu wajib untuk mengakhiri pementasan musik keroncong.

Dalam mencipta lagu, Gesang adalah komponis yang santai. Selama satu tahun hanya mancipta sebuah lagu tidak menjadi masalah karena bagi Gesang yang penting adalah melodi dan lirik lagunya sejiwa.

Pedoman mencipta lagu bagi Gesang adalah bahwa lagu itu harus mencakup diantaranya jiwa, perasaan, penglihatan, pendengaran serta penghayatan. Pedoman yang digunakan Gesang tersebut memang menyebabkan penciptaan sebuah lagu membutuhkan waktu lebih lama, namun demikian dapat menghasilkan lagu yang berkualitas. Hal tersebut membuktikan bahwa seorang pencipta musik memerlukan selera musikal dan bakat khusus untuk mencipta.

Seniman musik pencipta lagu atau komposer pada umumnya mempunyai kiat-kiat tersendiri dalam mencipta lagu. 

Menurut Danis Sugiyanto kiat-kiat Gesang agar dapat mencipta lagu yang bermutu antara lain:
a) Murni curahan jiwa. Karya yang muncul harus mempunyai orisinalitas dari kehendak hati yang sudah tidak dapat dibendung,
b) Tidak mengedepankan komersialitas telebih dahulu. Mencipta karya adalah sebagai wujud manifestasi tuntutan jiwa untuk kepentingan seni semata,
c) Mencipta yang belum pernah dicipta orang lain. Hasil kreatifitas baru akan memunculkan ciri khas yang lain dari lagu karya komponis lain,
d) Menyeimbangkan gagasan ideal dengan kebutuhan masyarakat. Karya seni seyogyanya seimbang antara kebutuhan ekspresi jiwa seni dan apresiasi seni yang tumbuh dalam masyarakat.

Gesang yang kariernya mulai berkembang ketika bergabung dengan Orkes Kembang Kacang, telah menarik orang-orang untuk menikmati musik keroncong dengan cara menyanyi yang unik dan apa adanya. “Memang unik. Nyanyinya itu sakmuni-munine (sebunyi-bunyinya), cirinya ya seperti itu, apa adanya” ujar Ibu Waljinah. 

Lagu keroncong yang dinyanyikan juga merupakan keroncong yang khas dengan suasanan baru yaitu dominannya bunyi cello yang dipetik sehingga suara cello menyerupai kendang, namun dengan alunan yang santai dan lembut. Keroncong dengan alunan yang santai dan lembut sangat sesuai dengan kepribadian orang Solo, sehingga cepat diterima. 

Gesang dapat dikatakan telah menyuguhkan irama-irama keroncong dan langgam kepada masyarakat sehingga kedua jenis musik tersebut akrab ditelinga masyarakat, khususnya masyarakat Solo. Gesang dianggap telah berjasa dalam hal budaya dan kesenian.

3.  Melestarikan Keroncong
Gesang mengaku tidak mempelajari ataupun memperdalam jenis musik selain keroncong karena takut terpengaruh. Menurut mendiang Gesang, pengarang lagu atau penyanyi itu harus orisinal, jeli dan tidak membiarkan pengaruh dari luar masuk. Hal tersebut merupakan bukti tentang orisinalitas karya dan kemaestroan Gesang. 

Di hari tuanya, Gesang sangat antusias jika dikunjungi oleh kalangan muda yang tertarik pada musik keroncong. Contohnya ketika mendapat kunjungan dari pelajar SMA St. Joseph yang datang dan memainkan lagu-lagu keroncong. Selama satu jam, Gesang tampak bersemangat dan bertepuk tangan dengan ritme yang tepat, meskipun masih dalam masa penyembuhan.

Pesan yang selalu disampaikan Gesang kepada para musisi keroncong dan penjenguknya adalah lestarikan keroncong, jangan biarkan keroncong mati.

Pesan tersebut juga disampaikan kepada penyanyi keroncong Sundari Sukotjo dan Gesang menambahkan agar Sundari Sukotjo tetap bertahan di jalur musik keroncong, walau apapun yang terjadi. Bagi Sundari Sukotjo, sosok Gesang tidak hanya dianggap sebagai Maestro keroncong. Gesang merupakan guru serta penyemangat dalam karier Sundari Sukotjo untuk menekuni jalur musik keroncong.

Gesang tetap bersahaja meski telah bergelar Maestro dan tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan musik keroncong. Pada tahun 2000 Gesang dan Sundari Sukotjo menjadi model dalam pembuatan video klip lagu Sapu Tangan dan Bengawan Solo. Gesang rela naik turun dan mengarungi sungai dengan Gethek meskipun saat itu kesehatannya mulai menurun. Gesang begitu ikhlas melakukan apa saja agar musik keroncong tetap eksis.

Sumbangsih mendiang Gesang Martohartono terhadap kehidupan seni musik, terutama musik keroncong dan langgam Jawa telah teruji dengan perjalanan karier yang panjang. Sejak remaja sampai hari tua, bahkan meski telah tiada, semangat, dedikasi, serta loyalitas Gesang terhadap musik keroncong dan langgam Jawa masih dapat dirasakan ketika mendengarkan karya-karyanya yang abadi.

Kontribusi budaya dari Gesang diwujudkan ke dalam berbagai hal, yakni kepada seni itu sendiri dan kehidupan sosial masyarakat. Lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang ketika didengarkan telah dapat membuat rangsangan kreativitas baru bagi seniman lain di Solo dan dapat membangkitkan imajinasi sejarah di masa lampau bagi kalangan tertentu.

Sebagai contoh para tentara Jepang yang pernah bertugas di Indonesia pada masa penjajahan Jepang, sebagian besar masih hapal lagu Bengawan Solo.

Gesang menjadi inspirasi bagi musisi keroncong lain untuk menciptakan lagu-lagu yang bernuansa keroncong. Anjar Any menganggap Gesang sebagai gurunya ketika mengawali karier sebagai pengarang lagu tahun 1957. 

Dalam grup Bintang Surakarta, banyak anggota yang mulai mencoba menciptakan lagu keroncong seperti Gesang. Banyak penyanyi keroncong di Solo yang belajar keroncong kepada Gesang melalui Bintang Surakarta. Lagu pertama yang dinyanyikan adalah Bengawan Solo, setelah itu mempelajari lagu-lagu langgam dan keroncong lainnya.

Bintang Surakarta menjadi grup tempat Gesang berkarier keroncong sampai akhir hayatnya. Gesang bergabung dengan Bintang Surakarta sejak tahun 1968. Kolaborasi dengan Waljinah sebagai pencipta dan penyanyi lagu keroncong dalam Grup Bintang Surakarta menjadi sumber penghasilan sekaligus hobi bermusik keroncong. 

Undangan menyanyi datang dari berbagai tempat dan lagu-lagunya dihargai masyarakat. Gesang juga menerima berbagai penghargaan baik dari pemerintah, maupun dari masyarakat yang mencintai keroncong di dalam dan luar negeri. Hal tersebut merupakan bukti Gesang mempunyai arti penting dalam pelestarian musik keroncong di Nusantara.

Sosok Gesang Martohartono tidak pernah lepas dari keroncong, maskipun sejak tahun 2001 sudah tidak aktif di panggung musik keroncong. Belum pernah ada tokoh penting di Kota Solo yang sebelum dimakamkan disemayamkan dahulu di Pendhapi Balai Kota. Hal tersebut menandakan bahwa pemerintah kota dan seluruh masyarakat Kota Solo merasa memiliki serta menghormati Pak Gesang. 

Gesang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemkot Solo karena berjasa besar dalam memajukan musik keroncong. Alasan lain adalah Gesang pernah menerima Bintang Budaya Parama Dharma, sehingga kedudukan Gesang sejajar dengan seorang pahlawan. Selain usulan pahlawan, juga ada usulan tentang pembangunan Museum Gesang di Kota Solo, sebagai upaya untuk mengabadikan dan melestarikan berbagai karya Gesang.

Pada tahun 2008 Gesang mengeluarkan Album Karya Emas Gesang, yang berisi lagu-lagu Gesang yang dianggap sebagai karya-karya terbaik atau Masterpieces Gesang dan dibawakan oleh Gesang sendiri.
 
Album bertajuk Karya Emas Gesang diproduksi PT Gema Nada Pertiwi dalam bentuk VCD dan DVD karaoke. Album istimewa ini terdiri dari 2 seri album total berisi 24 lagu, yang sebagian besar telah melegenda, seperti Bengawan Solo, Jembatan Merah, Sebelum Aku Mati, Pamitan, Caping Gunung dan lain-lain.
 
Khusus lagu Bengawan Solo selain dinyanyikan versi aslinya oleh Gesang, juga dinyanyikan oleh penyanyi lain dalam bahasa Mandarin dengan iringan musik keroncong dan versi Sunda dengan iringan musik Degung.
 
Peluncuran Album Emas Gesang tersebut dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2008 di Solo, Jawa Tengah. Pemasaran Album Emas Gesang bukan hanya di Jawa dan Indonesia, melainkan sudah merambah ke mancanegara, seperti Jepang, Belanda, Suriname dan China.



No comments:

Post a Comment

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...