Tuesday, November 6, 2018

Sejarah masuknya Musik Keroncong di Indonesia


1.  Kedatangan Bangsa Barat hingga Kemerdekaan
Musik Keroncong merupakan musik yang diiringi oleh instrument  musik seperti Uculele, cello, bas, gitar, biola dan flute. Susunan Musik Keroncong terdiri dari tiga kelompok yaitu lagu, ritme dan hiasan.

Instrument Uculele dan bas berfungsi sebagai ritme. Biola dan flute memainkan peran ganda, yakni difungsikan sebagai pembawa melodi utama dan penghias lagu. Gitar dan cello juga memerankan fungsi ganda yakni sebagai pembawa ritme sekaligus menjadi melodi hiasan dalam Musik Keroncong.
Keberadaan Musik Keroncong di Indonesia berkaitan erat dengan kedatangan bangsa-bangsa Barat seperti Portugis, Belanda dan Jepang. 

Portugis datang pertama kali pada tahun 1511 di Malaka, kemudian menjalin kerjasama dengan kerajaan Pajajaran pada tahun 1522. Kerjasama antara Portugis-Pajajaran dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Pajajaran terhadap kekuatan Kerajaan Demak Bintoro yang ingin memperluas wilayah ke Jawa Barat dan menyebarkan Agama Islam. 

Pihak Pajajaran mengadakan hubungan dengan Portugis melalui pelabuhan utama kerajaan Pajajaran yakni Sunda Kelapa. Dengan adanya kerjasama tersebut, banyak pelaut dan pedagang Portugis yang bermukim di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa. Para pendatang baru kemudian berbaur dengan penduduk pribumi, sehingga tercipta suatu komunitas penduduk campuran Indo-Portugis yang dinamakan Mestizo.

Para pedagang maupun Pelaut Portugis yang menjelajah Nusantara datang tanpa membawa keluarga atau sanak saudara. Ada yang sengaja membawa alat musik yang kecil, praktis, mudah dibawa dan dapat dimainkan seorang diri, sambil melepas rindu serta menghilangkan rasa kesepian. Alat musik yang dibawa itu bernama Uculele, yang sering dimainkan di atas kapal. Ketika mendarat, para pelaut dan pedagang Portugis memetik atau memainkan alat musik yang dibawa dan berbunyi “Crung-crung-Crong-crong-crong”. 

Penduduk pribumi banyak yang merasa bahwa bunyi yang terdengar itu terasa asing di telinga karena bernotasi diatonis, sedangkan penduduk pribumi telah terbiasa mendengar nada pentatonis. Alat musik yang disebut Uculele inilah yang menjadi cikal-bakal atau embrio musik keroncong di Indonesia.

Wilayah Malaka berhasil direbut Belanda dari Portugis pada abad ke-16, yakni sekitar tahun 1590 dan berdampak pada bergesernya bangsa asing yang ada di Nusantara. Belanda segera menuju ke Maluku dan tiba di sana pada tahun 1599. Di Maluku, Belanda berhasil mengusir Portugis setelah bekerjasama dengan Ternate bahkan mendapatkan monopoli cengkeh dari Sultan Ternate.

Wilayah Jawa dan Maluku mengalami penindasan paling keras sehingga pengaruh kebudayaan asingnya paling besar, seperti kesenian, bahasa, tari-tarian, rumah, sekolah, agama Kristen dan bahkan jumlah kuli paling banyak terdapat di Jawa dan Maluku.

Belanda membentuk kongsi dagang VOC tahun 1602 untuk menghindari persaingan di antara sesama pedagang dan memperkuat kedudukannya di Nusantara. Orang-orang yang ada di wilayah bekas Portugal, yang umumnya tentara keturunan berkulit hitam berasal dari Bengali, Malabar dan Goa, ditawan kemudian dibawa ke Batavia (yang sebelumnya bernama Sunda Kelapa).
Sekitar tahun 1661 tentara Portugal keturunan kulit hitam dibebaskan setelah dianggap tidak berbahaya namun tetap dibiarkan memiliki senjata, yang sebelumnya dipergunakan untuk perang. Senjata-senjata milik bekas budak tersebut kemudian beralih fungsi menjadi alat untuk mencari nafkah, yaitu berburu babi hutan.
 
Mantan tentara-tentara Portugis keturunan kulit hitam bermukim di rawa-rawa teluk Batavia yang sedang terjangkit wabah malaria dan influensa. Kawasan teluk Batavia dinamakan Tanah Mardika oleh Belanda, yang kemudian memunculkan nama Mardijker (bahasa Sansekerta mahardhika, yang berarti merdeka). Nama Mardijker pada jaman penjajahan Belanda diberikan kepada budak-budak yang dibebaskan atau vrijgelentene, yakni yang telah dimerdekakan.

Orang-orang Portugis bekas tawanan Belanda banyak yang pindah ke kawasan lain Jakarta, seperti ke Kemayoran dan berbaur dengan golongan Tionghoa dan Belanda. Sebagian penduduk yang tetap berada di Tanah Merdeka membentuk komunitasnya sendiri yakni Mardijkers, yang kemudian dikenal sebagai Kampoeng Toegoe.

Penduduk Kampung Tugu pada umumnya bekerja sebagai petani, berburu dan mencari ikan. Di kala senggang selesai mengerjakan sawah-ladang atau berburu, para mardijkers mengisi waktu luang dengan bermain blues, yakni musik ratapan kaum tertindas, seperti yang dilakukan oleh budak-budak asal Afrika yang berada di Amerika. Para Mardijkers hidup berdampingan dengan komunitas Mestizo yang lebih dulu tinggal di Batavia dan oleh Belanda, kedua kelompok itu diberi nama Binnenkerk.

Pada awal abad ke-20, saat Belanda berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia, timbul kesadaran bahwa Negeri Belanda menjadi kaya karena mengeksploitasi kekayaan Indonesia.
Belanda merasa sudah saatnya untuk membalas budi kepada Indonesia, sehingga dilaksanakan kebijakan Politik Etis yang digagas oleh Van Deventer, seorang ahli hukum yang bertugas di Indonesia. Adapaun kebijakan Politik Etis memuat tiga prinsip untuk kesejahteraan bangsa Indonesia yaitu Edukasi, Irigasi dan Transmigrasi.

Kebijakan Politik Etis menimbulkan dampak yang nyata bagi dunia pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan musik. Diberlakukannya Politik Etis menyebabkan musik di Indonesia berkembang secara pesat, seperti musik klasik, musik hawai, musik melayu dan musik keroncong yang semakin dikenal masyarakat Indonesia. 

Perkembangan yang paling pesat adalah musik keroncong, karena musik ini berasal dari rakyat, diciptakan oleh rakyat dan dibawakan oleh rakyat pula, sehingga musik keroncong dianggap sebagai musik rakyat. Musik keroncong tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat yang seniman dan penikmatnya adalah rakyat biasa. Berbeda dengan musik klasik yang pada saat itu penikmatnya hanya pejabat-pejabat pemerintah Belanda dan kaum bangsawan.

Penyebaran musik keroncong pada tahun 1920-an hanya berlangsung di pusat-pusat pemerintahan dan kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta dan Surabaya.
Di kota-kota besar tersebut masyarakat berjuang untuk memperbaiki dan menjalani kehidupan yang lebih baik, sehingga menjadi tempat berkembangnya segala macam aktivitas manusia, termasuk berkembangnya musik keroncong.

Kebijakan Politik Etis dalam pendidikan musik menyebabkan kraton Surakarta dan Yogyakarta memiliki korps musik Barat. Fungsinya adalah untuk melantunkan lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”, jika di kraton Surakarta ataupun Yogyakarta diadakan upacara kenegaraan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat Belanda. 

Di kraton Kasultanan Yogyakarta selain sebagai musisi lagu-lagu Barat, korps musik Barat juga berkolaborasi dengan gamelan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari Bedhaya, Srimpi dan Beksan Lawung. Para musisi yang bekerja untuk Kasultanan Yogyakarta ditempatkan di kampung yang khusus untuk tinggal para pemusik, yakni kampung Musikanan.
Anggota korps musik Barat yang terdiri dari musisi-musisi Barat juga bertugas memberikan pendidikan musik jenis lain seperti musik klasik, musik jazz dan musik pop. Musisi-musisi Barat tersebut di kemudian hari merupakan pendiri Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta.

Kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 merupakan akhir dari pendudukan Belanda di Indonesia. Pada saat menduduki Indonesia, Jepang berusaha menghapus semua unsur-unsur budaya Barat dalam kesenian Indonesia. Keadaan tersebut membuat musik keroncong dapat berkembang pesat dan semakin populer di kalangan masyarakat. 

Lagu yang sangat populer pada masa pendudukan Jepang adalah lagu Roda Dunia dan Bengawan Solo yang dikarang oleh Gesang. Masa pendudukan Jepang atas Indonesia berlangsung sampai tahun 1945 dan dengan kepergian Jepang, bangsa Indonesia dapat memproklamirkan kemerdekaan, termasuk kemerdekaan bagi para seniman untuk menghasilkan karya-karya yang baru. 

Musik keroncong terus berkembang seiring dengan munculnya beberapa perubahan, misalnya dengan menambahkan beberapa alat musik Barat seperti cello, biola dan harmonika. Perkembangan keroncong yang terjadi tetap tidak meninggalkan keaslian dari keroncong yang dikembangkan oleh masyarakat Kampung Tugu.

2.  Kampung Tugu, Embrio Berkembangnya Keroncong
Di wilayah Kampung Tugu, komunitas Binnenkerk tetap berusaha membangun dan mempertahankan budaya Portugal, sehingga dari komunitas inilah yang merupakan perintis berkembangnya Musik Keroncong.
Dengan peralatan sederhana berupa alat musik petik mirip gitar kecil yang disebut Uculele serta Djitera (gitar), seruling dan rebana, para Mardijkers memainkan lagu-lagu dari tanah kelahirannya.

Musik yang dimainkan mengeluarkan suara dominan crong… crong… crong...  dari Uculele. Para mardijkers berusaha membangun suasana gembira di tengah penderitaan sebagai bekas orang buangan. Tempat yang biasa digunakan untuk bermain musik adalah di serambi rumah atau di bawah pohon sambil menikmati indahnya bulan purnama dan sepoi-sepoi angin pesisir serta membawakan lagu Moresco:

"Anda-anda na boordi de more, Mienya corsan nunka conteti, Yo buska ya mienya camada, Nunka sabe ele ya undi, Yo buska ya minya amada, Yo buska ele tudu banda, isti corsan teeng tantu door, Yo pronto fula e strella, booster nunka ola un tenti? Fula e strella nunka reposta, Mienya corsan nunka contenti, O bie oki mienya amada, Mienya noiba, moleer bonito, Yo espara con esparansa, E canta cantigo moresco...
(Berjalan-jalan di pantai, Hatiku gundah gulana, Aku mencari kekasih, Entah berada di mana, Kucari kekasihku, Calon isteri jantung hati, Kucari dimana-mana, Hatiku teramat duka, Kutanya bunga dan bintang, Kau lihatkan seseorang? Bunga dan bintang tak menjawab, Hatiku gundah gulana, O datanglah kekasihku, Calon istriku, O juwitaku, kunanti penuh harapan, Sambil berdendang lagu Moresco)

Syair lagu Moresco berbahasa Portugis dengan dialek Tugu tersebut diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh A.Th Manusama. Dari bahasa Belanda Kusbini menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut A,Th Manusama lagu Moresco berasal dari kata Moor, yakni golongan bangsa Arab yang banyak mempengaruhi jalan sejarah serta kebudayaan Eropa Selatan dan Asia. Bangsa Moor pernah menguasai semenanjung Iberia yang terletak antara laut Atlantik dan laut Mideterania di barat-daya Eropa abad ke-8. 

Bangsa Portugis menggolongkan lagu tersebut sejenis lagu gondala, lagu pendayung sampan. Rosalie Gross dalam bukunya De Krontjong Guitar  menjelaskan bahwa Keroncong adalah peninggalan Portugis dan Indo Belanda dengan menyebutkan dua tokoh musik yang pernah tinggal di Indonesia, yaitu Paul Seelig (1876-1945) dan Fred Belloni (1891-1869).

 Ciri-ciri Portugis yang masih terdapat dalam sejarah keroncong adalah lagu lama yang hampir setiap orang Indonesia pernah mendengarkan lagu tersebut, yaitu lagu Nina Bobok. Pada masa lampau lagu Nina Bobok dinyanyikan dengan gaya keroncong. Kata “Nina” berasal dari kata bahasa Portugis “Menina”, yang artinya “gadis kecil” atau Upik. 
 
Pada jaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1930-an, penyanyi-penyanyi keroncong yang ngamen dari restoran-restoran di Batavia, menyanyikan lagu-lagu keroncong yang liriknya berbahasa campuran Portugis-Indonesia. Keroncong merupakan suatu asimilasi dari kesenian Portugal dengan kesenian dari suku-suku bangsa di Indonesia melalui proses yang lama dan berangsur-angsur.

Musik keroncong yang dimainkan di Gereja dijadikan sebagai Musik Sakral, yakni sebagai kesenian yang berhubungan dengan Gereja Protestan. Musik keroncong yang dimainkan untuk kepentingan Gereja Protestan memiliki ciri-ciri yaitu satu tonalitas akord yang terdiri dari 4 akord, yakni Tonika, Dominan, Subdominan dan Dobeldominan serta bertemakan keagamaan. 

Ciri-ciri tersebut merupakan aliran dari koral Protestan setelah Martin Luther, tokoh reformis Nasrani yang membaharui teologi sekaligus tata ibadah melalui beberapa karya musik. Berkembangnya musik keroncong dalam Gereja menimbulkan gagasan keroncong sebagai hiburan untuk hari-hari penting umat Nasrani. Musik Keroncong juga digunakan untuk menyebarkan Agama Kristen dengan cara menyanyikan lagu-lagu keroncong religius Kristen dari rumah ke rumah. 

Dalam perkembangan selanjutnya, selain lagu-lagu keroncong religius Kristen, juga dikembangkan keroncong sekuler, yakni lagu-lagu keroncong yang terlepas dari unsur-unsur keagamaan, seperti lagu Moresco yang dinyanyikan para Mardijkers.
Masyarakat Kampung Tugu yang merupakan perintis musik keroncong, memegang teguh pada keyakinan bahwa upaya pelestarian musik keroncong yang diwariskan, memiliki nilai sejarah dan makna tradisi yang luhur. Di Kampung Tugu ada sebuah falsafah bahwa setiap warga harus bisa memainkan musik keroncong.

 Falsafah tersebut mengartikan bahwa masyarakat Kampung Tugu telah berkomitmen untuk menjaga kekayaan nilai-nilai yang terkandung dalam musik keroncong.
Kegiatan bermusik keroncong yang menghasilkan “Keroncong Tugu” yang dimulai tahun 1925 dengan nama Moresco Toegoe I, terhenti karena banyak masyarakat Kampung Tugu yang bermigrasi ke Suriname, Belanda atau Irian Barat. Pada tahun 1971 kegiatan keroncong Tugu dapat diselenggarakan kembali dengan nama Moresco Toegoe II.
Seiring dengan adanya pergantian pimpinan pada tahun 1978, nama orkes berganti menjadi Moresco Toegoe III hingga tahun 1991. Kelompok orkes disusun kembali pada tahun yang sama dan nama orkes berganti lagi menjadi Cafrinho Tugu.
Perombakan yang dilakukan ternyata membawa hasil yang sangat baik. Orkes keroncong Cafrinho Tugu mencapai popularitas di antara warga Kota Jakarta, yang ditandai dengan padatnya acara konser setiap bulan. Cafrinho Tugu Pernah diundang tampil di Gedung Sekretariat Negara dan tampil di sejumlah hotel berbintang yang didukung oleh Dinas Pariwisata Pemerintah DKI Jakarta.

3.  Teori Muncul dan Berkembangnya Keroncong
Ada dua pendapat mengenai asal usul musik keroncong. Pendapat pertama adalah musik keroncong berasal dari Portugal, sebagaimana pendapat Darto Harnoko “corak iringan gitar di Kampung Tugu mengikuti tradisi musik rakyat Portugal”.
 
Pada tahun 1958, Marbangun yang merupakan Etnolog, ahli sastra dan filsafat, menyatakan: “dengan pasti dapat dikatakan bahwa masuknya keroncong dari Portugal ke tanah air adalah melalui Bandar Jakarta dan tempat perkembangnya yang pertama adalah di Kampung Tugu, sebelah timur Tanjung Priok, dekat Cilincing”.

Pendapat kedua ialah musik keroncong adalah musik asli Indonesia, sebagaimana pendapat Japi Tambajong: “Keroncong bukan berasal dari Portugal, tetapi dari bekas-bekas budak Portugal yang berpihak Belanda”.
 Anjar Any, seorang musisi langgam asal Solo juga berpendapat bahwa keroncong adalah musik asli Indonesia. Di Portugal, baik jaman dahulu maupaun sekarang tidak terdapat musik yang iramanya seperti keroncong.

Pengalaman Anjar Any pada tahun 1969 menjadi alasan utamanya berpendapat bahwa musik keroncong adalah musik asli Indonesia. Anjar Any bertemu dengan Antonio Plato da Franca (konsul Portugal) dan bertanya kepada konsul apakah di Portugal ada musik keroncong atau musik sejenis yang melahirkan musik keroncong, jawaban konsul adalah tidak ada. Jangankan yang berbentuk keroncong, yang diperkirakan mirip keroncong saja tidak ada

Menurut Anjar Any, musik keroncong bukan musik import, paling tidak merupakan musik adaptasi nenek moyang terhadap musik yang datang dari luar. Kalaupun asing, yang asing adalah alat-alatnya saja. Bentuk musiknya merupakan hasil karya nenek moyang bangsa Indonesia.

 Perihal alat musik yang digunakan bukan hanya seperti yang dikenal sekarang, tetapi kemunculan keroncong beserta alat-alat musiknya di Nusantara merupakan proses evolusi yang sangat panjang.
Musik keroncong dalam perkembangannya dari segi bentuk lagu, memunculkan beberapa bentuk, antara lain keroncong asli, langgam keroncong, stambul, campur sari dan lagu-lagu ekstra yang jenaka. 

Keroncong asli merupakan lagu keroncong dengan bentuk kalimat A-B-C. Langgam keroncong adalah lagu keroncong yang berbentuk A-A1-B-A1 dengan syair bahasa Jawa dan tangga nada serta iramanya dari musik daerah (Jawa).

Stambul yaitu lagu keroncong dengan bentuk kalimat lagu A-B. Campur sari merupakan penggabungan antara gamelan dengan musik keroncong. Adapun lagu-lagu ekstra atau jenaka bentuk lagunya tidak terikat dengan ketiga jenis lagu keroncong tersebut, karena bersifat riang gembira. 

Adanya beberapa bentuk lagu keroncong yang muncul dan berkembang selain karena kreativitas dari para musisi keroncong, juga karena adanya pengaruh dari instrumen musik atau lagu daerah di Nusantara.
Perkembangan musik keroncong di luar Jakarta seperti di kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Makasar (Ujung Pandang) dan Ambon dipengaruhi oleh musik-musik tradisional. 

Di Jawa Tengah, perkembangan musik keroncong dipengaruhi oleh musik gamelan, sehingga memunculkan istilah Langgam, yakni bentuk keroncong yang liriknya berbahasa daerah serta nada dan ritme diarahkan dari musik daerah. Munculnya bentuk Langgam terjadi karena adanya kemiripan atau persamaan bunyi alat-alat musik keroncong dengan instrumen gamelan, seperti: biola – rebab, flute – suling, gitar – celempungan, ukulele – kethuk, cello – kendang dan bass – gong.

Perkembangan musik keroncong di Jawa Timur dimulai dari teater rakyat komedi Stambul, yang memainkan musik keroncong untuk selingan antar adegan. Di Ambon, perkembangan musik keroncong dipengaruhi Musik Hawaian. Di Makasar, musisi keroncong menambahkan Kecapi ke dalam Set Orkes keroncong dan lagu-lagunya juga terpengaruh lagu-lagu daerah.

Untuk mengapresiasikan berkembangnya musik keroncong dan semakin banyaknya grup-grup keroncong yang bermunculan, maka sering diadakan Pasar Malam yang menyediakan stand musik keroncong. Di tengah-tengah pergelaran Pasar Malam diadakan Kongkoers Keroncong, yaitu semacam kompetisi antar penyanyi keroncong. 

Pada saat itu belum mengenal alat pengeras suara, sehingga setiap peserta harus dapat bernyanyi dengan lantang namun tetap menarik. Musik keroncong semakin berkembang dan populer ketika muncul Siaran Radio di Indonesia pada tahun 1933, namun tidak semua bakat grup atau penyanyi dapat disiarkan melalui radio.

Pada tahun 1944, Solo Hosokyoku menyelenggarakan Kongkoers Keroncong di Sriwedari, yang diikuti oleh penyanyi-penyanyi keroncong dari seluruh daerah di Pulau Jawa. Kongkoers Keroncong di Sriwedari merupakan awal dari ajang pemilihan Bintang Radio, karena para pesertanya merupakan penyanyi dan pembantu siaran radio di masing-masing tempat.
Pemilihan Bintang Radio membuat musik keroncong semakin maju, karena tujuan dari pemilihan Bintang Radio bukan sekedar mengadakan Kongkoers-kongkoersan, dalam arti memilih para juara saja, namun pokok tujuannya ialah lebih memajukan seni suara dan seni musik Indonesia. 

Pada setiap penyelenggaraan pemilihan Bintang Radio juga selalu memunculkan bakat-bakat baru yang diharapkan dapat melestarikan musik keroncong di Indonesia.
Dalam pembahasan tersebut terdapat empat hal penting tentang muncul dan berkembangnya musik keroncong di Indonesia.
a) Kaum Mestizo dan Mardijkers merupakan embrio komunitas yang memunculkan keroncong
b) Kebijakan Politik Etis pada masa penjajahan Belanda di bidang pendidikan musik telah menumbuh kembangkan seni musik Indonesia, termasuk musik keroncong
c) Kebijakan pemerintah Jepang untuk menghilangkan kebudayaan Barat telah memberi peluang bagi musik keroncong untuk lebih berkembang
d) Adanya siaran radio semakin mempopulerkan musik keroncong di Indonesia.


No comments:

Post a Comment

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...