1. Kedatangan Bangsa Barat hingga Kemerdekaan
Musik
Keroncong merupakan musik yang diiringi oleh instrument musik seperti Uculele, cello,
bas, gitar, biola dan flute. Susunan Musik
Keroncong terdiri dari tiga kelompok yaitu lagu, ritme dan hiasan.
Instrument Uculele dan
bas berfungsi sebagai ritme. Biola dan flute
memainkan peran ganda, yakni difungsikan sebagai pembawa melodi utama dan
penghias lagu. Gitar dan
cello juga memerankan fungsi ganda yakni sebagai pembawa ritme sekaligus menjadi melodi
hiasan dalam Musik Keroncong.
Keberadaan
Musik Keroncong di Indonesia berkaitan erat dengan kedatangan bangsa-bangsa
Barat seperti Portugis, Belanda
dan Jepang.
Portugis datang
pertama kali pada tahun 1511 di Malaka, kemudian menjalin kerjasama dengan
kerajaan Pajajaran pada tahun 1522. Kerjasama
antara Portugis-Pajajaran
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Pajajaran terhadap kekuatan Kerajaan Demak
Bintoro yang ingin memperluas wilayah ke Jawa Barat dan menyebarkan Agama Islam.
Pihak
Pajajaran mengadakan hubungan dengan Portugis melalui
pelabuhan utama kerajaan Pajajaran yakni Sunda Kelapa. Dengan adanya
kerjasama tersebut, banyak pelaut dan pedagang Portugis yang
bermukim di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa.
Para pendatang baru kemudian berbaur dengan penduduk pribumi, sehingga tercipta
suatu komunitas penduduk campuran Indo-Portugis yang dinamakan Mestizo.
Para
pedagang maupun Pelaut Portugis yang
menjelajah Nusantara datang tanpa membawa keluarga atau sanak saudara. Ada yang
sengaja membawa alat musik yang kecil, praktis, mudah dibawa dan dapat
dimainkan seorang diri, sambil melepas rindu serta menghilangkan rasa kesepian.
Alat musik yang dibawa itu bernama Uculele,
yang sering dimainkan di
atas kapal. Ketika mendarat, para pelaut dan pedagang Portugis memetik
atau memainkan alat musik yang dibawa dan
berbunyi “Crung-crung-Crong-crong-crong”.
Penduduk
pribumi banyak yang merasa bahwa bunyi yang terdengar itu terasa asing di
telinga karena bernotasi diatonis, sedangkan penduduk pribumi telah terbiasa
mendengar nada pentatonis. Alat musik yang disebut Uculele inilah yang menjadi cikal-bakal atau embrio musik keroncong
di Indonesia.
Wilayah Malaka berhasil
direbut Belanda dari Portugis pada abad
ke-16, yakni sekitar tahun 1590 dan berdampak
pada bergesernya bangsa asing yang ada di Nusantara. Belanda
segera menuju ke Maluku dan tiba di sana pada tahun 1599. Di Maluku, Belanda
berhasil mengusir Portugis setelah bekerjasama dengan Ternate bahkan
mendapatkan monopoli cengkeh dari Sultan Ternate.
Wilayah Jawa
dan Maluku mengalami penindasan paling keras sehingga pengaruh kebudayaan asingnya paling besar, seperti
kesenian, bahasa, tari-tarian, rumah, sekolah, agama Kristen dan bahkan jumlah
kuli paling banyak terdapat di Jawa dan Maluku.
Belanda
membentuk kongsi dagang VOC tahun
1602 untuk menghindari persaingan di antara
sesama pedagang dan memperkuat kedudukannya di Nusantara. Orang-orang yang ada
di wilayah bekas Portugal,
yang umumnya tentara keturunan berkulit hitam berasal dari Bengali, Malabar dan
Goa, ditawan kemudian dibawa ke Batavia (yang sebelumnya bernama Sunda Kelapa).
Sekitar
tahun 1661 tentara Portugal keturunan kulit hitam dibebaskan setelah dianggap
tidak berbahaya namun tetap dibiarkan memiliki senjata, yang sebelumnya
dipergunakan untuk perang. Senjata-senjata milik
bekas budak tersebut kemudian beralih fungsi menjadi
alat untuk mencari
nafkah, yaitu berburu babi hutan.
Mantan tentara-tentara Portugis keturunan
kulit hitam bermukim di rawa-rawa teluk Batavia yang sedang terjangkit wabah
malaria dan influensa. Kawasan teluk Batavia dinamakan Tanah Mardika oleh
Belanda, yang kemudian memunculkan nama Mardijker (bahasa
Sansekerta mahardhika, yang berarti
merdeka). Nama Mardijker pada jaman penjajahan Belanda diberikan kepada
budak-budak yang dibebaskan
atau vrijgelentene, yakni yang telah dimerdekakan.
Orang-orang
Portugis bekas
tawanan Belanda banyak yang pindah ke
kawasan lain Jakarta, seperti ke Kemayoran dan berbaur dengan golongan Tionghoa
dan Belanda. Sebagian
penduduk yang tetap berada di Tanah Merdeka membentuk
komunitasnya sendiri yakni Mardijkers, yang kemudian dikenal
sebagai Kampoeng Toegoe.
Penduduk
Kampung Tugu pada umumnya bekerja sebagai petani, berburu dan mencari ikan. Di kala
senggang selesai mengerjakan
sawah-ladang atau berburu, para mardijkers mengisi waktu luang dengan
bermain blues, yakni musik ratapan kaum tertindas, seperti yang dilakukan oleh budak-budak
asal Afrika yang berada di Amerika. Para Mardijkers hidup berdampingan
dengan komunitas Mestizo yang lebih
dulu tinggal di Batavia dan oleh Belanda, kedua kelompok itu diberi nama Binnenkerk.
Pada awal
abad ke-20, saat Belanda berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia,
timbul kesadaran bahwa Negeri Belanda menjadi kaya karena mengeksploitasi
kekayaan Indonesia.
Belanda
merasa sudah saatnya untuk membalas budi kepada Indonesia, sehingga
dilaksanakan kebijakan Politik Etis yang digagas oleh Van Deventer, seorang
ahli hukum yang bertugas di Indonesia. Adapaun kebijakan Politik Etis memuat
tiga prinsip untuk kesejahteraan bangsa Indonesia yaitu Edukasi, Irigasi dan
Transmigrasi.
Kebijakan
Politik Etis menimbulkan dampak yang nyata bagi dunia pendidikan di Indonesia,
termasuk pendidikan musik. Diberlakukannya Politik Etis menyebabkan musik di
Indonesia berkembang secara pesat, seperti musik klasik, musik hawai, musik
melayu dan musik keroncong yang semakin dikenal masyarakat Indonesia.
Perkembangan
yang paling pesat adalah musik keroncong, karena musik ini berasal
dari rakyat, diciptakan oleh rakyat dan dibawakan oleh rakyat pula, sehingga
musik keroncong dianggap sebagai musik rakyat. Musik keroncong tumbuh dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat yang seniman dan penikmatnya adalah rakyat biasa. Berbeda dengan
musik klasik yang pada saat itu penikmatnya hanya pejabat-pejabat pemerintah
Belanda dan kaum bangsawan.
Penyebaran
musik keroncong pada tahun 1920-an hanya berlangsung di pusat-pusat
pemerintahan dan kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang,
Yogyakarta, Surakarta dan Surabaya.
Di kota-kota
besar tersebut masyarakat berjuang untuk memperbaiki dan menjalani kehidupan
yang lebih baik, sehingga menjadi tempat berkembangnya segala macam aktivitas
manusia, termasuk berkembangnya musik keroncong.
Kebijakan
Politik Etis dalam pendidikan musik menyebabkan kraton Surakarta dan Yogyakarta
memiliki korps musik Barat. Fungsinya adalah
untuk melantunkan lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”, jika di kraton Surakarta
ataupun Yogyakarta diadakan upacara kenegaraan yang dihadiri oleh
pejabat-pejabat Belanda.
Di kraton
Kasultanan Yogyakarta selain sebagai musisi lagu-lagu Barat, korps
musik Barat juga
berkolaborasi dengan gamelan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari Bedhaya,
Srimpi dan Beksan Lawung. Para musisi yang bekerja untuk Kasultanan Yogyakarta
ditempatkan di kampung yang khusus untuk tinggal para pemusik, yakni kampung Musikanan.
Anggota korps
musik Barat yang
terdiri dari musisi-musisi Barat juga bertugas memberikan
pendidikan musik jenis lain seperti musik klasik, musik jazz dan musik pop.
Musisi-musisi Barat
tersebut di kemudian hari merupakan pendiri Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta.
Kedatangan
Jepang di Indonesia pada tahun 1942 merupakan akhir dari pendudukan Belanda di
Indonesia. Pada saat menduduki Indonesia, Jepang berusaha menghapus semua
unsur-unsur budaya Barat dalam
kesenian Indonesia. Keadaan tersebut membuat musik keroncong dapat berkembang
pesat dan semakin populer di kalangan masyarakat.
Lagu yang
sangat populer pada masa pendudukan Jepang adalah lagu Roda Dunia dan Bengawan
Solo yang dikarang oleh Gesang. Masa pendudukan Jepang atas Indonesia
berlangsung sampai tahun 1945 dan dengan kepergian Jepang,
bangsa Indonesia dapat memproklamirkan kemerdekaan, termasuk kemerdekaan bagi
para seniman untuk menghasilkan karya-karya yang baru.
Musik
keroncong terus berkembang seiring dengan munculnya beberapa perubahan,
misalnya dengan menambahkan beberapa alat musik Barat seperti cello,
biola dan harmonika. Perkembangan keroncong yang terjadi tetap tidak meninggalkan
keaslian dari keroncong yang dikembangkan oleh masyarakat Kampung Tugu.
2. Kampung Tugu, Embrio Berkembangnya
Keroncong
Di
wilayah Kampung Tugu, komunitas Binnenkerk tetap berusaha membangun dan
mempertahankan budaya Portugal, sehingga dari komunitas inilah yang merupakan
perintis berkembangnya Musik Keroncong.
Dengan peralatan sederhana berupa alat musik
petik mirip gitar kecil yang disebut Uculele serta Djitera (gitar), seruling
dan rebana, para Mardijkers memainkan lagu-lagu dari tanah kelahirannya.
Musik yang dimainkan mengeluarkan suara dominan crong… crong… crong... dari
Uculele. Para mardijkers berusaha membangun suasana gembira di tengah
penderitaan sebagai bekas orang buangan. Tempat yang biasa digunakan untuk
bermain musik adalah di serambi rumah atau di bawah pohon sambil menikmati
indahnya bulan purnama dan sepoi-sepoi angin pesisir serta membawakan lagu
Moresco:
"Anda-anda na boordi de more, Mienya corsan nunka
conteti, Yo buska ya mienya camada, Nunka sabe ele ya undi, Yo buska ya minya
amada, Yo buska ele tudu banda, isti corsan teeng tantu door, Yo pronto fula e
strella, booster nunka ola un tenti? Fula e strella nunka reposta, Mienya
corsan nunka contenti, O bie oki mienya amada, Mienya noiba, moleer bonito, Yo
espara con esparansa, E canta cantigo moresco..”.
(Berjalan-jalan di pantai, Hatiku gundah gulana, Aku
mencari kekasih, Entah berada di mana, Kucari kekasihku, Calon isteri jantung
hati, Kucari dimana-mana, Hatiku teramat duka, Kutanya bunga dan bintang, Kau
lihatkan seseorang? Bunga dan bintang tak menjawab, Hatiku gundah gulana, O
datanglah kekasihku, Calon istriku, O juwitaku, kunanti penuh harapan, Sambil
berdendang lagu Moresco)
Syair
lagu Moresco berbahasa Portugis dengan dialek Tugu tersebut
diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh A.Th Manusama. Dari bahasa Belanda Kusbini
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut A,Th
Manusama lagu Moresco berasal dari kata Moor,
yakni golongan bangsa Arab yang banyak mempengaruhi
jalan sejarah serta kebudayaan Eropa Selatan dan Asia. Bangsa Moor pernah
menguasai semenanjung Iberia yang terletak antara laut Atlantik dan laut Mideterania
di barat-daya Eropa abad ke-8.
Bangsa
Portugis menggolongkan lagu tersebut sejenis lagu gondala, lagu
pendayung sampan. Rosalie Gross dalam bukunya De Krontjong Guitar menjelaskan bahwa Keroncong adalah peninggalan
Portugis dan Indo Belanda dengan menyebutkan dua tokoh musik yang pernah
tinggal di Indonesia, yaitu Paul Seelig (1876-1945) dan Fred Belloni
(1891-1869).
Ciri-ciri
Portugis yang masih terdapat dalam sejarah keroncong adalah lagu lama yang
hampir setiap orang Indonesia pernah mendengarkan lagu tersebut, yaitu lagu
Nina Bobok. Pada masa lampau lagu Nina Bobok dinyanyikan dengan gaya keroncong.
Kata “Nina” berasal dari kata bahasa Portugis “Menina”, yang artinya “gadis
kecil” atau Upik.
Pada
jaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1930-an, penyanyi-penyanyi keroncong
yang ngamen dari restoran-restoran di Batavia, menyanyikan lagu-lagu keroncong
yang liriknya berbahasa campuran Portugis-Indonesia. Keroncong merupakan suatu
asimilasi dari kesenian Portugal dengan kesenian dari suku-suku bangsa di
Indonesia melalui proses yang lama dan berangsur-angsur.
Musik keroncong yang
dimainkan di Gereja dijadikan sebagai Musik Sakral, yakni sebagai kesenian yang
berhubungan dengan Gereja Protestan. Musik keroncong yang dimainkan untuk
kepentingan Gereja Protestan memiliki ciri-ciri yaitu satu tonalitas akord yang
terdiri dari 4 akord, yakni Tonika, Dominan, Subdominan dan Dobeldominan serta
bertemakan keagamaan.
Ciri-ciri
tersebut merupakan aliran dari koral Protestan setelah Martin Luther, tokoh
reformis Nasrani yang membaharui teologi sekaligus tata ibadah melalui beberapa
karya musik. Berkembangnya musik keroncong dalam Gereja menimbulkan gagasan
keroncong sebagai hiburan untuk hari-hari penting umat Nasrani. Musik Keroncong
juga digunakan untuk menyebarkan Agama Kristen dengan cara menyanyikan
lagu-lagu keroncong religius Kristen dari rumah ke rumah.
Dalam
perkembangan selanjutnya, selain lagu-lagu keroncong religius Kristen, juga
dikembangkan keroncong sekuler, yakni lagu-lagu keroncong yang terlepas dari
unsur-unsur keagamaan, seperti lagu Moresco
yang dinyanyikan para Mardijkers.
Masyarakat
Kampung Tugu yang merupakan perintis musik keroncong, memegang teguh pada
keyakinan bahwa upaya pelestarian musik keroncong yang diwariskan, memiliki
nilai sejarah dan makna tradisi yang luhur. Di Kampung Tugu ada sebuah falsafah
bahwa setiap warga harus bisa memainkan musik keroncong.
Falsafah tersebut mengartikan bahwa masyarakat
Kampung Tugu telah berkomitmen untuk menjaga kekayaan nilai-nilai yang
terkandung dalam musik keroncong.
Kegiatan
bermusik keroncong yang menghasilkan “Keroncong Tugu” yang dimulai tahun 1925
dengan nama Moresco Toegoe I, terhenti
karena banyak masyarakat Kampung Tugu yang bermigrasi ke Suriname, Belanda atau
Irian Barat. Pada tahun 1971 kegiatan keroncong Tugu dapat diselenggarakan
kembali dengan nama Moresco Toegoe II.
Seiring
dengan adanya pergantian pimpinan pada tahun 1978, nama orkes berganti menjadi Moresco Toegoe III hingga tahun 1991. Kelompok orkes disusun kembali pada tahun
yang sama dan nama orkes berganti lagi menjadi Cafrinho Tugu.
Perombakan
yang dilakukan ternyata membawa hasil yang sangat baik. Orkes keroncong Cafrinho Tugu mencapai popularitas di
antara warga Kota Jakarta, yang ditandai dengan padatnya acara konser setiap
bulan. Cafrinho Tugu Pernah diundang
tampil di Gedung Sekretariat Negara dan tampil di sejumlah hotel berbintang
yang didukung oleh Dinas Pariwisata Pemerintah DKI Jakarta.
3. Teori Muncul dan Berkembangnya
Keroncong
Ada
dua pendapat mengenai asal usul musik keroncong. Pendapat pertama adalah musik
keroncong berasal dari Portugal, sebagaimana pendapat Darto Harnoko “corak
iringan gitar di Kampung Tugu mengikuti tradisi musik rakyat Portugal”.
Pada tahun
1958, Marbangun yang merupakan Etnolog, ahli sastra dan filsafat, menyatakan: “dengan
pasti dapat dikatakan bahwa masuknya keroncong dari Portugal ke tanah air
adalah melalui Bandar Jakarta dan tempat perkembangnya yang pertama adalah di Kampung Tugu, sebelah
timur Tanjung Priok, dekat Cilincing”.
Pendapat
kedua ialah musik keroncong adalah musik asli Indonesia, sebagaimana pendapat
Japi Tambajong: “Keroncong bukan berasal dari Portugal, tetapi dari bekas-bekas
budak Portugal yang berpihak Belanda”.
Anjar Any, seorang
musisi langgam asal Solo juga berpendapat bahwa keroncong adalah musik asli
Indonesia. Di Portugal,
baik jaman dahulu maupaun sekarang tidak terdapat musik yang iramanya seperti
keroncong.
Pengalaman
Anjar Any pada tahun 1969 menjadi alasan utamanya berpendapat
bahwa musik
keroncong adalah musik asli Indonesia. Anjar Any
bertemu dengan Antonio Plato da Franca (konsul Portugal) dan bertanya kepada konsul apakah di Portugal ada musik
keroncong atau musik sejenis yang melahirkan musik keroncong, jawaban konsul adalah tidak ada. Jangankan yang berbentuk keroncong, yang
diperkirakan mirip keroncong saja tidak ada.
Menurut Anjar Any, musik keroncong bukan musik import, paling tidak merupakan musik adaptasi nenek moyang
terhadap musik yang datang dari luar. Kalaupun asing, yang asing adalah
alat-alatnya saja. Bentuk musiknya
merupakan hasil karya nenek moyang bangsa Indonesia.
Perihal alat musik yang digunakan bukan hanya seperti yang dikenal sekarang, tetapi kemunculan keroncong beserta
alat-alat musiknya di Nusantara merupakan
proses evolusi yang sangat panjang.
Musik
keroncong dalam perkembangannya dari segi bentuk lagu, memunculkan beberapa
bentuk, antara lain keroncong asli, langgam keroncong, stambul, campur sari dan lagu-lagu ekstra yang jenaka.
Keroncong
asli merupakan lagu keroncong dengan bentuk kalimat A-B-C. Langgam keroncong
adalah lagu keroncong yang berbentuk A-A1-B-A1 dengan syair bahasa Jawa dan
tangga nada serta iramanya dari musik daerah (Jawa).
Stambul
yaitu lagu keroncong dengan bentuk kalimat lagu A-B. Campur sari merupakan penggabungan antara gamelan dengan musik keroncong. Adapun
lagu-lagu ekstra atau jenaka bentuk lagunya tidak terikat dengan ketiga jenis
lagu keroncong tersebut, karena bersifat riang gembira.
Adanya
beberapa bentuk lagu keroncong yang muncul dan berkembang selain karena
kreativitas dari para musisi keroncong, juga karena adanya pengaruh dari
instrumen musik atau lagu daerah di Nusantara.
Perkembangan
musik keroncong di luar Jakarta seperti di kota-kota besar seperti Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Makasar (Ujung Pandang) dan Ambon
dipengaruhi oleh musik-musik tradisional.
Di Jawa
Tengah, perkembangan musik keroncong dipengaruhi oleh musik gamelan, sehingga
memunculkan istilah Langgam, yakni bentuk keroncong yang liriknya berbahasa
daerah serta nada dan ritme diarahkan dari musik daerah. Munculnya bentuk
Langgam terjadi karena adanya kemiripan atau persamaan bunyi alat-alat musik
keroncong dengan instrumen gamelan, seperti: biola – rebab, flute – suling,
gitar – celempungan, ukulele – kethuk, cello – kendang dan bass – gong.
Perkembangan
musik keroncong di Jawa Timur dimulai dari teater rakyat komedi Stambul,
yang memainkan musik keroncong untuk selingan antar adegan. Di Ambon,
perkembangan musik keroncong dipengaruhi Musik Hawaian. Di Makasar, musisi
keroncong menambahkan Kecapi ke dalam Set Orkes keroncong dan lagu-lagunya juga
terpengaruh lagu-lagu daerah.
Untuk
mengapresiasikan berkembangnya musik keroncong dan semakin banyaknya grup-grup
keroncong yang bermunculan,
maka sering diadakan Pasar Malam yang menyediakan stand musik keroncong. Di tengah-tengah pergelaran Pasar Malam
diadakan Kongkoers Keroncong, yaitu
semacam kompetisi antar penyanyi keroncong.
Pada saat
itu belum mengenal alat pengeras suara, sehingga setiap peserta harus dapat
bernyanyi dengan lantang namun tetap menarik. Musik keroncong semakin
berkembang dan populer ketika muncul Siaran Radio di Indonesia pada tahun 1933,
namun tidak semua bakat grup atau penyanyi dapat disiarkan melalui radio.
Pada tahun
1944, Solo Hosokyoku menyelenggarakan Kongkoers Keroncong di Sriwedari, yang
diikuti oleh penyanyi-penyanyi keroncong dari seluruh daerah di Pulau Jawa.
Kongkoers Keroncong di Sriwedari merupakan awal dari ajang pemilihan Bintang
Radio, karena para pesertanya merupakan penyanyi dan pembantu siaran radio di
masing-masing tempat.
Pemilihan
Bintang Radio membuat musik keroncong semakin maju, karena tujuan dari pemilihan
Bintang Radio bukan sekedar mengadakan Kongkoers-kongkoersan, dalam arti
memilih para juara saja, namun pokok tujuannya ialah lebih memajukan seni suara
dan seni musik Indonesia.
Pada setiap
penyelenggaraan pemilihan Bintang Radio juga selalu memunculkan bakat-bakat
baru yang diharapkan dapat melestarikan musik keroncong di Indonesia.
Dalam
pembahasan tersebut terdapat empat hal penting tentang muncul dan berkembangnya
musik keroncong di Indonesia.
a) Kaum Mestizo dan Mardijkers merupakan embrio komunitas yang memunculkan keroncong
b) Kebijakan
Politik Etis pada masa penjajahan Belanda di bidang pendidikan musik telah
menumbuh kembangkan seni musik Indonesia, termasuk musik keroncong
c) Kebijakan
pemerintah Jepang untuk menghilangkan kebudayaan Barat telah memberi peluang
bagi musik keroncong untuk lebih berkembang
d) Adanya siaran
radio semakin mempopulerkan musik keroncong di Indonesia.
No comments:
Post a Comment