Sunday, June 23, 2019

Perjuangan Danudirja Setiabudi dalam Pergerakan Nasional




Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober 1879 - meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

Ernest adalah anak ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker (Belanda totok), seorang pialang bursa efek dan agen bank, dan Louisa Margaretha Neumann, seorang Indo dari ayah Jerman dan ibu Jawa. Dengan pekerjaannya itu, Auguste termasuk orang yang berpenghasilan tinggi.

Ernest, biasa dipanggil "Nes" oleh orang-orang dekatnya atau "DD" oleh rekan-rekan seperjuangannya, masih terhitung saudara dari pengarang buku Max Havelaar, yaitu Eduard Douwes Dekker (Multatuli), yang merupakan adik kakeknya. Olaf Douwes Dekker, cucu dari Guido, saudaranya, menjadi penyair di Breda, Belanda.

DD merupakan seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama “Nusantara” sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari “Tiga Serangkai” pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.

Walaupun mencintai anak-anaknya, DD tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.

Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Willem III, suatu sekolah elit di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela mereka.

Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran. Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia dipecat.

Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris. Ia bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal.

Beberapa bulan kemudian kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di sana ia mulai berkenalan dengan sastra India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.

Pengalaman di Transvaal memberi keyakinan pada DD bahwa "hanya dengan kekuatan dan kesadaran rakyat sendirilah kemerdekaan suatu bangsa dapat dicapai. DD kembali ke Hindia Belanda dengan membawa semangat untuk memerdekakan tanah airnya. Untuk itu, ia perlu menyadarkan rakyat, melalui propaganda dan dunia jurnalistik adalah pilihannya.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial.

Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda") kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad.

Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.

Rumah DD di Kramat yang memiliki perpustakaan dan terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Di sinilah DD memompakan semangat nasionalisme kepada para pemuda itu.

Pengaruh pribadi DD terhadap para pemuda itu begitu besar, oleh murid-murid STOVIA dia disebut sebagai "Kawan Orang Jawa Nomor Satu". Beberapa buku antara lain karya Multatuli disumbangkan DD ke STOVIA. Itulah sebabnya DD dijuluki sebagai opruier (penghasut) oleh pemerintah Hindia Belanda.

Semangat nasionalisme yang dipompakan DD kepada para pemuda STOVIA, ternyata berperan besar dalam melahirkan Boedi Oetomo (BO). Rapat persiapan BO pun antara lain dilakukan di rumah DD. Ketika Kongres BO yang pertama dilangsungkan di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908, DD hadir dan menganjurkan agar BO memiliki corong berupa surat kabar.

Sementara BO belum memiliki sendiri, DD menawarkan agar BN dijadikan alat propaganda BO. Mengingat hubungan yang erat antara DD dengan para siswa STOVIA yang melahirkan BO, bisa dikatakan bahwa "Jiwa BO sesungguhnya lahir di rumah DD di Kramat".Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.

Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.

Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni ("totok" atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada pribumi.

Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah.

Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Pada 1912 DD mendirikan majalah bulanan Het Tijdschrift yang berhaluan revolusioner untuk propagandanya dan pada 1 Maret 1912 DD mendirikan harian De Express di Bandung, sebuah harian revolusioner nasionalistis. Harian ini kemudian menjadi harian terbesar di Jawa waktu itu.

Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.

Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia"). Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat.

Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Melalui IP, Douwes Dekker menganjurkan agar golongan indo bersatu dengan orang Indonesia asli. Anjuran ini disampaikan karena beliau yakin, hanya dengan persatuan antara semua golongan, penjajahan dapat dihancurkan. Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als ik eens Nederlander was" (Seandainya aku orang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi.

Di Belanda, Tiga Serangkai terus berjuang. DD kemudian aktif dalam Indische Vereniging (yang didirikan tahun 1908 dan 1924 menjadi Perhimpunan Indonesia). Di sini pula ketiganya melahirkan majalah De Indier untuk para pembaca di Hindia Belanda.

Pada 1915, DD diizinkan keluar dari Belanda. DD pergi ke Zurich, kuliah di bidang ilmu ekonomi dan politik di Universitas Zurich, dalam kolom identitasnya ia menulis sebagai "Bangsa Jawa" (indie=India). DD berhasil mempertahankan disertasinya berjudul "Indie" dengan yudisium cum laude.

DD pulang ke Hindia Belanda 1920. Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap kebanyakan kaumnya : kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda.

Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga yang konyol dan kekanak-kanakan".

Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti "Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal" (Bangsa kita dan modal asing). Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang.

Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde cabang Surakarta, yang ia hadiri pula.

Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!".

Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan "mentalitas" sang penulis. Setelah melalui pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.

Setelah aktif dalam National Indische Partij (NIP), yang dibubarkan Juli 1923, DD sepenuhnya aktif dalam dunia pendidikan. Sebelumnya, pada September 1922 DD bekerja sebagai guru di Sekolah Rendah yang terletak di Jalan Kebon Kalapa 17, pimpinan Ny. H.E. Meyer Elenbaas.

Setahun kemudian, sekolah dasar itu dijadikan Preanger Instituut van de Vereniging Volksonderwijser. Pada 1 Juli 1924 DD mengubah Preanger Instituut menjadi Schoolvereniging het Ksatriaan Instituut (disingkat dengan Ksatriaan Instituut).

Institut ini mendirikan beberapa sekolah, yaitu Nationale Lagere School-7 tahun : didirikan di Nieuwstraat di Bandung (1924) (sekarang menjadi SMPN 1 Jalan Ksatriaan), Ciwidey (1925), Cianjur, dan Sukabumi. Ada lagi MMHS (Moderne Middelbare Handels School, 1932), Middelbare Journalistenschool, Kweekschool Ksatriaan Instituut (1932) dan Moderne Vakschool voor Jonge Dames.

Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda.

KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.

Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad.

Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer).

Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia.
Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. DD menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Sukarno Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan.

Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.

Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya dan merevisi buku sejarah tulisannya. Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

No comments:

Post a Comment

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...