Friday, May 1, 2020

Lepasnya Timor Timur dari NKRI


A. Sejarah Penjajahan Timor Timur
Sejarah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) berawal dengan kedatangan suku atau orang Australoid dan Melanesia. Pada abad ke-16,  bangsa Portugal datang ke Pulau Timor ini (1508), pertama oleh Frei Antonio Taveiro dalam misi Evangelisasi Agama Katolik yang disertai pedagang-pedagang Portugis dan angkatan laut Portugis tempo dulu untuk berdagang rempa-rempa, lilin dan kayu cendana pada awalnya dan akhirnya menjajah wilayah itu dari tahun 1508-1975.

Sejak dulu Timor Timur selalu menjadi wilayah jajahan. Dahulu Timor Timur merupakan wilayah jajahan Portugis dan sempat pula menjadi daerah jajahan Belanda. Dari dulu sampai tahun 2002, Timor Timur selalu berada dibawah pemerintahan suatu negara.

Berawal dari kedatangan Portugis pada tahun 1515 dan sejak tahun 1700-an eksploitasi kekayaan alam Timor Timur pun dimulai. Masyarakat Timor Timur pada akhirnya berhasil mengusir tentara Portugis pada tahun 1912. Pada masa Perang Dunia ke-2, Timor Timur bahkan pernah diokupasi oleh tentara Australia dan Belanda untuk digunakan sebagai daerah aman untuk berlindung meskipun Portugis berkeberatan atas hal ini.

Tahun 1942 sampai September 1945, pemerintah Jepang datang untuk menginvasi dan mengeksploitasi kekayaan daerah tersebut. Sejak itu Portugis berusaha membangun kembali Timor Timur namun perkembangannya sangat lamban.

Perubahan besar terjadi pada tahun 1974, saat itu Portugis berada dalam proses transisi menuju demokrasi, hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya dengan memperbolehkan rakyat Timor untuk mendirikan partai politik. Dengan kebijakan baru dari pemerintahan Portugis maka berdirilah 2 partai di Timor Timur yaitu, Uni Demokrat Timor (UDT) dan Frente Revolucionara Do Timor Leste Independente (Fretilin).

Berbagai peristiwa terjadi sejak ke-2 partai ini terbentuk. Tanggal 11 Agustus 1975, dengan dukungan dari pemerintah Indonesia, UDT melakukan kudeta untuk merebut kekuasaan dari Portugis dari Fretilin. Ketika keadaan menjadi kacau, anggota UDT pergi ke Timor bagian barat dan pemerintahan Portugis pun meninggalkan Dili, dengan keadaan seperti ini Fretilin lah yang menguasai Timor Timur.
               
Dengan Fretillin yang memegang kuasa atas Timor Timur, pada 28 November 1975, partai tersebut mendeklarasikan berdirinya Republik Demokrat Timor Leste. Kejadian tersebut membuat keadaan di Timor Timur menjadi kacau, kemudian pemerintah Indonesia berusaha membantu meredakan ketegangan dan kekacauan yang ada dengan mengirimkan tentaranya. Ketika itu diperkirakan 60.000 orang menjadi korban atas kekacauan tersebut.

Tanggal 30 November 1975, rakyat Timor Timur atas kehendaknya sendiri, menyatakan keinginannya untuk berintegrasi dengan Indonesia dalam Deklarasi Balibo. Keinginan ini dipenuhi oleh pemerintah Indonesia dan diperkuat melalui Undang-Undang No. 7/1976 dan Ketetapan MPR No. 6/1978. Sejak itu, Timor Timur pun menjadi bagian dari Indonesia, meskipun masih dirasakan sebagian masyarakat masih belum terbiasa dengan integrasi tersebut.

Deklarasi tersebut berisi tanda tangan sejumlah wakil rakyat Timor Timur yang menyatakan bahwa mereka ingin bergabung menjadi bagian dari NKRI. Meskipun dikatakan hal tersebut merupakan keputusan rakyat Timor Timur untuk berintegrasi, namun tetap ada beberapa pihak yang menyangsikan hasil dari konferensi ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak menganggap proses integrasi Timor Timur dengan Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Balibo dan Undang-Undang, sebagai sesuatu yang sah.

PBB tetap menganggap Timor Timur sebagai wilayah persemakmuran Portugis dan pada akhirnya dianggap sebagai wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri dan belum melaksanakan hak menentukan nasib sendiri. Keputusan untuk berintegrasi tersebut dianggap sebagai keinginan Indonesia saja, bukan sebagai kehendak rakyat Timor Timur.

B. Propaganda Uskup Belo
Propaganda sejumlah tokoh Katolik, seperti Markus Wanandi (adik kandung Shofyan Wanandi), khususnya Uskup Belo, berbuah manis dengan pemberian Hadiah Nobel untuk Belo pada 1996.

Provokasi bertahun-tahun oleh Belo, mendapat simpati dari Dunia Barat, seolah-olah terjadi Islamisasi besar-besaran di Tim-Tim, bahkan orang Islam melakukan Genocida alias pembasmian besar-besaran, dimulai dengan pelanggaran Berat HAM oleh ABRI.

Dunia Barat yang amat Phobia terhadap Islam menyambut hangat fitnah dan provokasi Belo itu, apalagi yang jadi korban adalah Katolik. Dan dengan “Heroik” ketika itu Belo seolah-olah menjadi korban “kebiadaban” Islam dan harus melarikan diri ke luar negeri mulai ke Australia, kemudian keliling ke sejumlah negara di Eropa, dan berceramah tentang jahatnya orang Islam yang menjarah Tim-Tim, sekaligus mememaksakan Islamisasi.

Menurut data dalam buku Singh tercatat penduduk Tim-Tim pada 1940 orang beragama Katolik berjumlah 29.889 orang atau sekitar 8,0%. Tahun 1974 penganut Katolik di Tim-Tim meningkat menjadi 202.850 orang atau 29,4%, dan meningkat drastis pada 1994 menjadi 722.789 orang atau 92,3%.

Padahal jumlah orang Islam menurut catatan Singh, pada 1974 adalah 5.000 orang dan pada 1994 hanyalah 48.000 jiwa saja. “Jika pandangan yang berimbang dan obyektif berdasarkan data ini diambil, maka tidak ada dasar apapun untuk menuduh bahwa Indonesia atau ABRI melakukan Islamisasi di Tim-Tim,” ujar Singh.

Alhasil tuduhan Islamisasi itu jelas fitnah yang amat keji. Data di atas membuktikan kebohongan isu Islamisasi di Tim-Tim. Dengan telak Bilveer Singh menyanggah hal itu setelah melakukan riset yang mendalam di Tim-Tim.

Menurut Bilveer Singh, yang terjadi malah sebaliknya : Katolikisasi di Tim-Tim. ”Jadi ‘alih-alih’ Islamisasi, Tim-Tim justru mengalami Katolikisasi dan ini hanya membuat kita pertama-tama ingin tahu apakah ketakutan akan Islamisasi hanyalah kedok untuk menutupi Katolikisasi besar-besaran yang telah dan berlangsung di Tim-Tim.

C. Keputusan “Besar” Habibie
Berakhirnya masa Orde Baru dan berawalnya era reformasi, membuat rakyat mengajukan berbagai tuntutan kebebasan. Rakyat Timor Timur pun ketika itu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menuntut otonomi daerah khusus atau luas.

Tuntutan ini kemudian direspon Habibie melebihi apa yang dituntut rakyat Timor Timur dengan mengeluarkan referendum opsi merdeka. Keputusannya ini tidak hanya dipertanyakan, bahkan sampai dikecam oleh berbagai kalangan. Tanggal 29 Januari 1999 itu merupakan hari yang menentukan bagi rakyat Timor Timur.

Banyak pihak yang mengecamnya, bahkan ada yang berspekulasi bahwa Habibie ingin meraih hadiah Nobel Perdamaian atas keputusannya mengenai Timor Timur.

Dari sekian banyak sepak terjang kontroversialnya, kasus lepasnya Timor Timur agaknya menjadi suatu keputusan fatal bagi seorang presiden yang sesungguhnya telah bersumpah dan berkewajiban mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang sangat sulit untuk dimaafkan secara politik.

Sebenarnya keputusan habibie mengenai opsi merdeka pada wilayah Timor Timur tidak sepatutnya disalahkan sepenuhnya. Selama ini pemerintahan Indonesia telah berada di bawah rezim Soeharto selama hampir 32 tahun, di masa itu segala tindakan yang dianggap membahayakan rezim yang berkuasa langsung ditindak tegas oleh hukum.

Segala sesuatu dikontrol secara berlebihan, sehingga kebebasan berpendapat menjadi hal yang langka dan sangat berharga. Berbagai aktivis yang menentang pemerintah langsung ditindak secara hukum dengan sangat tegas, sementara pada masa Orde Baru praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental dalam setiap sendi pemerintahan.

Pada masa itu, masyarakat berada pada kesenjangan sosial yang sangat parah. Orang yang kaya semakin kaya, dibantu relasi yang kuat dengan campur tangan pemerintah, dan yang miskin seperti tidak diberi peluang untuk memperbaiki kehidupan.

Dalam situasi transisi era pemerintahan tersebut, muncul tuntutan rakyat Timor Timur atas peluasan otonomi daerahnya. Dengan berbagai tekanan yang datang, bahkan dari dunia internasional, Habibie diharapkan memberi keputusan yang bijaksana. Akhirnya setelah mempertimbangkan segala aspek yang ada, ia mengeluarkan referendum yang berisi opsi merdeka bagi rakyat Timor Timur.

Dilihat dari satu sisi, keputusan Habibie atas tuntutan Rakyat Timor Timur tersebut memang fatal. Setelah bertahun-tahun berbagai pihak yang bergerak atas nama Indonesia berusaha untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan negara ini, keputusannya memang terlihat seperti menganggap remeh segala yang telah diusahakan.

Layaknya, dengan mudahnya ia seperti memberi jalan salah satu provinsi NKRI ini untuk merdeka. Bahkan TNI mengemukakan kekecewaannya secara terbuka atas keputusan itu. Hal ini dikarenakan TNI selama ini berusaha meredam gerakan-gerakan separatis secara langsung, sementara pemerintah melakukannya melalui jalan diplomasi.

Masyarakat luas pun melakukan demonstrasi atas hal ini, menyatakan tanda tidak setuju dan menuntut Habibie agar tidak melepaskan Timor Timur apapun yang terjadi. Habibie kemudian merespon tuntutan ini dengan mengeluarkan refendum.

Begitu banyak pihak yang kecewa dan mengecamnya atas keputusan tersebut. Meskipun ia berhasil melaksanakan pemilu yang cukup demokratis pada tahun 1999, dampak atas keputusannya mengenai Timor Timur mengalami puncaknya ketika pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak dalam Sidang Umum MPR.

Bila kita melihat keputusan Habibie tersebut dari sudut pandang lain, dapat dimengerti bahwa sebenarnya Habibie hanya ingin menghilangkan tekanan dari dunia internasional terhadap Indonesia.

 Dunia internasional dan PBB menekan Indonesia dengan anggapan bahwa Indonesia memaksakan kehendak atas keputusan integrasi Timor Timur terdahulu. PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk segera memberikan solusi terbaik bagi masalah Timor Timur.

Dalam situasi yang mendesak tersebut, Habibie mengeluarkan referendum bagi rakyat Timor Timur dengan 2 pilihan, tetap bergabung dengan NKRI dan diberi otonomi daerah luas atau memisahkan diri dari NKRI dan merdeka. Habibie mengeluarkan referendum tersebut dengan keyakinan bahwa rakyat Timor Timur akan memilih untuk tetap bergabung bersama Indonesia.

Selain itu, motivasi lain yang mendorongnya memberi keputusan penting seperti itu adalah agar masyarakat dunia dan PBB dapat melihat dengan jajak pendapat yang dilakukan bahwa rakyat Timor Timur memang masih berkeinginan untuk menjadi waraga negara Indonesia. Ia berharap, dengan begitu dunia internasional dan PBB dapat menerimanya dengan baik agar Indonesia tidak terus ditekan sebagai negara yang hanya menginvasi Timor Timur semata.


D.  Sejarah Kelam Para Pejuang Integrasi
Sejarah Tim-Tim tak pelak merupakan sejarah hitam bagi NKRI, sekaligus catatan kelam bagi umat Islam yang telah difitnah habis-habisan. Sejarah dengan terang benderang justru mencatat Indonesia didorong oleh Barat khususnya Amerika Serikat dan Australia untuk masuk (menganeksasi) Tim-Tim dengan dalih integrasi guna membendung Komunisme.

Sejarah pula kini mencatat bagaimana Barat, tanpa malu-malu, khususnya Australia dan Amerika Serikat. memprakarsai rekayasa kemerdekaan Tim-Tim yang kini berubah menjadi Timorleste.

Bagi pahlawan-pahlawan integrasi, seperti Prabowo dan puluhan jendral lainnya, termasuk Pahlawan yang tergabung dalam Kelompok Seroja, sejarah hitam Tim-Tim kini dikenang amat pedih dan  menyakitkan. Ketidak-adilan Barat menjadi sumber malapetaka di Tim-Tim.

Teringat pada pertengahan 1970-an dikerahkan ribuan sukarelawan melalui pangkalan Iswahyudi Madiun, dan sebagian gugur. Korp Baret Hijau di Kudus, konon bahkan tidak satu pun yang selamat, tewas dibantai Fretilin yang menembaki pasukan itu saat mendarat dengan parasut (pelanggaran konvesi Perang Jeneva).

Kenangan pahit juga diderita umat Islam yang pernah berkiprah di Tim-Tim. Ada yang asli penduduk Tim-Tim, ada juga umat Islam pendatang. Betapa mengerikan mengenang, mereka dijadikan sasaran fitnah ketika itu.

Masjid-masjid di berbagai kota di Tim-Tim terus dibakar pada 1990-an. Umat Islam pun tunggang langgang melarikan diri. Catatan laporan ini sekadar mengungkap kejahatan golongan Nasrani secara faktual. Kini Timorleste—berdasarkan laporan kunjungan anggota redaksi Suara Islam : HM. Mursalin belum lama berselang—jauh berbeda dengan era saat dikuasai para pemfitnah.

Pemerintah Timorleste lebih ramah dan ingin membuktikan bahwa mereka tidak memusuhi Islam dan umat Islam. Entah di mana Belo “Sang Pahlawan Gereja” saat ini?, Pemerintah Timorleste melalui Perdana Menterinya Xanana Gusmao malah mengimbau agar umat Islam membangun Pusat Islam di ibukota Timorleste, Dili.

E.  Pandangan Herminio Da Silva Da Costa (Pejuang Timor-Timur Pro Integrasi)
Lepasnya Timor-Timur Dari NKRI bukan karena kekecewaan pada kami, yang ada hanya satu tekad yang ingin bersatu dan berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi karena ada sebagian masyarakat Timor Timur berkepentingan berjuang untuk melepaskan diri dan membentuk suatu negara merdeka tentunya perlu dihormati kehendak itu sebagai wujud dari sebuah demokrasi yang berlaku pada kami warga atau masyarakt Timor Timur.

Kalau masalah kecewa saya kira itu adalah bahasa yang dipolitisasi oleh pihak tertentu termasuk di Indonesia untuk mengkaming hitamkan pihak pro-Indonesia dan menghiulangkan hak silpil dan politik yang seharusnya dihormati dan diberikan dalam proses dekolonisasi yang diatur oleh UNTAET dari PBB.

Dengan hasil Jajak Pendapat tanggal 30 Agustus 1999 yang diterim oleh Presiden RI B.J. Habibie pada tanggal 4 September 1999 maka konsep integrasi gaya 1974 dan 1975 yang diperjuangkan partai politik Apodeti serta konsep otonomi khusus dalam NKRI yang ditawarkan pada jajak pendapat itu hanya kenang-kenangan sejarah masa lalu dan tidah etis apabila masih dibawa-bawa sebagai suatu konsep politik untuk Timor Timur.

Habibie adalah orang yang paling bertanggungjawab atas lepasnya Timtim dari NKRI, karena keputusan kedua opsi yang diberikan kepada rakyat Timor-Timur tidak dilandasi dasar hukum yang kuat, seperti tidak ada konsultasi dengan DPR-RI dan DPRD Tingkat I Timor-Timur dan tokoh-tokoh Masyarakyat dan Politik di Timor Timur.

Memang Habibie memanggil Yang Mulia Uskup Belo saat itu, tapi Uskup Belo harus minta izin ke Paus di Roma sehingga tidak dapat segera memenuhi panggilan itu, dan karena itu Habibie marah dan membatalkan pertemuan dengan Uskup Belo.

Sikap Habibie saat itu tidak konstitusional dan terkesan Diktator” dalam mengambil keputusannya tersebut, dan akibat dari keputusan itu yang tidak dilandasi suatu analisa yang matang dari sudut politik dan kemanusiaan maka banyak warga Timor Timur harus menderita dan tidak mampu menghidupi keluarganya, menderita lahir dan batin dan  penderitaan lainnya, tentunya hal ini tidak dapat dimaafkan oleh masyarakar Timor-Timur yang menjadi korban dari pemberian ke dua opsi itu.

Pasca kekalahan jajak pendapat dari kedua opsi yang ditawarkan itu, 370.000 jiwa warga masyarakat Timor-Timur yang pro integrasi atau telah memilih otonomi khusus dalam Indonesia memutuskan mencari perlingdungan di NTT dan daerah lainnya, akhirnya terlantar dan menderita, karena tidak ada perhatian dan pembekalan dari pemerintah Indonesia kepada masyarakat.

Maka apabila kita hubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dapat kita simpulkan bahwa keputusan Presiden RI ke-3, B.J. Habibie dalam memberi kedua opsi tersebut benar-benar melanggar Konstitusi RI dan melanggar HAM di bidang Hak Sipil dan Hak Politik.

No comments:

Post a Comment

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...