A.
Sejarah Penjajahan Timor Timur
Sejarah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) berawal
dengan kedatangan suku atau orang Australoid dan Melanesia. Pada abad
ke-16, bangsa Portugal datang ke Pulau Timor ini (1508), pertama oleh
Frei Antonio Taveiro dalam misi Evangelisasi Agama Katolik yang disertai
pedagang-pedagang Portugis dan angkatan laut Portugis tempo dulu untuk
berdagang rempa-rempa, lilin dan kayu cendana pada awalnya dan akhirnya
menjajah wilayah itu dari tahun 1508-1975.
Sejak dulu Timor Timur
selalu menjadi wilayah jajahan. Dahulu Timor Timur merupakan wilayah jajahan
Portugis dan sempat pula menjadi daerah jajahan Belanda. Dari dulu sampai tahun
2002, Timor Timur selalu berada dibawah pemerintahan suatu negara.
Berawal dari kedatangan
Portugis pada tahun 1515 dan sejak tahun 1700-an eksploitasi kekayaan alam
Timor Timur pun dimulai. Masyarakat Timor Timur pada akhirnya berhasil mengusir
tentara Portugis pada tahun 1912. Pada masa Perang Dunia ke-2, Timor Timur
bahkan pernah diokupasi oleh tentara Australia dan Belanda untuk digunakan
sebagai daerah aman untuk berlindung meskipun Portugis berkeberatan atas hal
ini.
Tahun 1942 sampai
September 1945, pemerintah Jepang datang untuk menginvasi dan mengeksploitasi
kekayaan daerah tersebut. Sejak itu Portugis berusaha membangun kembali Timor
Timur namun perkembangannya sangat lamban.
Perubahan besar terjadi
pada tahun 1974, saat itu Portugis berada dalam proses transisi menuju
demokrasi, hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya
dengan memperbolehkan rakyat Timor untuk mendirikan partai politik. Dengan
kebijakan baru dari pemerintahan Portugis maka berdirilah 2 partai di Timor
Timur yaitu, Uni Demokrat Timor (UDT) dan Frente Revolucionara Do Timor Leste
Independente (Fretilin).
Berbagai peristiwa terjadi sejak ke-2 partai
ini terbentuk. Tanggal 11 Agustus 1975, dengan dukungan dari pemerintah
Indonesia, UDT melakukan kudeta untuk merebut kekuasaan dari Portugis dari Fretilin. Ketika keadaan menjadi kacau,
anggota UDT pergi ke Timor bagian barat dan pemerintahan Portugis pun
meninggalkan Dili, dengan keadaan seperti ini Fretilin lah yang menguasai Timor
Timur.
Dengan Fretillin yang memegang kuasa atas Timor
Timur, pada 28 November 1975, partai tersebut mendeklarasikan berdirinya
Republik Demokrat Timor Leste. Kejadian tersebut membuat keadaan di Timor Timur
menjadi kacau, kemudian pemerintah Indonesia berusaha membantu meredakan
ketegangan dan kekacauan yang ada dengan mengirimkan tentaranya. Ketika itu
diperkirakan 60.000 orang menjadi korban atas kekacauan tersebut.
Tanggal 30 November 1975, rakyat Timor Timur
atas kehendaknya sendiri, menyatakan keinginannya untuk berintegrasi dengan
Indonesia dalam Deklarasi Balibo. Keinginan ini dipenuhi oleh pemerintah
Indonesia dan diperkuat melalui Undang-Undang No. 7/1976 dan Ketetapan MPR No.
6/1978. Sejak itu, Timor Timur pun menjadi bagian dari Indonesia, meskipun
masih dirasakan sebagian masyarakat masih belum terbiasa dengan integrasi
tersebut.
Deklarasi tersebut berisi tanda tangan sejumlah
wakil rakyat Timor Timur yang menyatakan bahwa mereka ingin bergabung menjadi
bagian dari NKRI. Meskipun dikatakan hal tersebut merupakan keputusan rakyat
Timor Timur untuk berintegrasi, namun tetap ada beberapa pihak yang
menyangsikan hasil dari konferensi ini.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak
menganggap proses integrasi Timor Timur dengan Indonesia, sebagaimana tercantum
dalam Deklarasi Balibo dan Undang-Undang, sebagai sesuatu yang sah.
PBB tetap menganggap Timor Timur sebagai
wilayah persemakmuran Portugis dan pada akhirnya dianggap sebagai wilayah yang
belum memiliki pemerintahan sendiri dan belum melaksanakan hak menentukan nasib
sendiri. Keputusan untuk berintegrasi tersebut dianggap sebagai keinginan
Indonesia saja, bukan sebagai kehendak rakyat Timor Timur.
B.
Propaganda Uskup Belo
Propaganda sejumlah
tokoh Katolik, seperti Markus Wanandi (adik kandung Shofyan Wanandi), khususnya
Uskup Belo, berbuah manis dengan pemberian Hadiah Nobel untuk Belo pada 1996.
Provokasi
bertahun-tahun oleh Belo, mendapat simpati dari Dunia Barat, seolah-olah
terjadi Islamisasi besar-besaran di Tim-Tim, bahkan orang Islam melakukan
Genocida alias pembasmian besar-besaran, dimulai dengan pelanggaran Berat HAM
oleh ABRI.
Dunia Barat yang amat
Phobia terhadap Islam menyambut hangat fitnah dan provokasi Belo
itu, apalagi yang jadi korban adalah Katolik. Dan dengan “Heroik” ketika itu
Belo seolah-olah menjadi korban “kebiadaban” Islam dan harus melarikan diri ke
luar negeri mulai ke Australia, kemudian keliling ke sejumlah negara di Eropa,
dan berceramah tentang jahatnya orang Islam yang menjarah Tim-Tim, sekaligus
mememaksakan Islamisasi.
Menurut data dalam buku
Singh tercatat penduduk Tim-Tim pada 1940 orang beragama Katolik berjumlah
29.889 orang atau sekitar 8,0%. Tahun 1974 penganut Katolik di Tim-Tim
meningkat menjadi 202.850 orang atau 29,4%, dan meningkat drastis pada 1994
menjadi 722.789 orang atau 92,3%.
Padahal jumlah orang
Islam menurut catatan Singh, pada 1974 adalah 5.000 orang dan pada 1994
hanyalah 48.000 jiwa saja. “Jika pandangan yang berimbang dan obyektif
berdasarkan data ini diambil, maka tidak ada dasar apapun untuk menuduh bahwa
Indonesia atau ABRI melakukan Islamisasi di Tim-Tim,” ujar Singh.
Alhasil tuduhan
Islamisasi itu jelas fitnah yang amat keji. Data di atas membuktikan kebohongan
isu Islamisasi di Tim-Tim. Dengan telak Bilveer Singh menyanggah hal itu
setelah melakukan riset yang mendalam di Tim-Tim.
Menurut Bilveer Singh,
yang terjadi malah sebaliknya : Katolikisasi di Tim-Tim. ”Jadi
‘alih-alih’ Islamisasi, Tim-Tim justru mengalami Katolikisasi dan ini hanya
membuat kita pertama-tama ingin tahu apakah ketakutan akan Islamisasi hanyalah
kedok untuk menutupi Katolikisasi besar-besaran yang telah dan berlangsung di
Tim-Tim.
C.
Keputusan “Besar” Habibie
Berakhirnya masa Orde
Baru dan berawalnya era reformasi, membuat rakyat mengajukan berbagai tuntutan
kebebasan. Rakyat Timor Timur pun ketika itu memanfaatkan kesempatan yang ada
untuk menuntut otonomi daerah khusus atau luas.
Tuntutan ini kemudian
direspon Habibie melebihi apa yang dituntut rakyat Timor Timur dengan
mengeluarkan referendum opsi merdeka. Keputusannya ini tidak hanya
dipertanyakan, bahkan sampai dikecam oleh berbagai kalangan. Tanggal 29 Januari
1999 itu merupakan hari yang menentukan bagi rakyat Timor Timur.
Banyak pihak yang
mengecamnya, bahkan ada yang berspekulasi bahwa Habibie ingin meraih hadiah
Nobel Perdamaian atas keputusannya mengenai Timor Timur.
Dari sekian banyak
sepak terjang kontroversialnya, kasus lepasnya Timor Timur agaknya menjadi
suatu keputusan fatal bagi seorang presiden yang sesungguhnya telah bersumpah
dan berkewajiban mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Hal ini dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang sangat sulit untuk
dimaafkan secara politik.
Sebenarnya keputusan
habibie mengenai opsi merdeka pada wilayah Timor Timur tidak sepatutnya
disalahkan sepenuhnya. Selama ini pemerintahan Indonesia telah berada di bawah
rezim Soeharto selama hampir 32 tahun, di masa itu segala tindakan yang
dianggap membahayakan rezim yang berkuasa langsung ditindak tegas oleh hukum.
Segala sesuatu
dikontrol secara berlebihan, sehingga kebebasan berpendapat menjadi hal yang
langka dan sangat berharga. Berbagai aktivis yang menentang pemerintah langsung
ditindak secara hukum dengan sangat tegas, sementara pada masa Orde Baru
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental dalam setiap sendi
pemerintahan.
Pada masa itu, masyarakat
berada pada kesenjangan sosial yang sangat parah. Orang yang kaya semakin kaya,
dibantu relasi yang kuat dengan campur tangan pemerintah, dan yang miskin
seperti tidak diberi peluang untuk memperbaiki kehidupan.
Dalam situasi transisi
era pemerintahan tersebut, muncul tuntutan rakyat Timor Timur atas peluasan
otonomi daerahnya. Dengan berbagai tekanan yang datang, bahkan dari dunia
internasional, Habibie diharapkan memberi keputusan yang bijaksana. Akhirnya
setelah mempertimbangkan segala aspek yang ada, ia mengeluarkan referendum yang
berisi opsi merdeka bagi rakyat Timor Timur.
Dilihat dari satu sisi,
keputusan Habibie atas tuntutan Rakyat Timor Timur tersebut memang fatal.
Setelah bertahun-tahun berbagai pihak yang bergerak atas nama Indonesia berusaha
untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan negara ini, keputusannya memang
terlihat seperti menganggap remeh segala yang telah diusahakan.
Layaknya, dengan
mudahnya ia seperti memberi jalan salah satu provinsi NKRI ini untuk merdeka.
Bahkan TNI mengemukakan kekecewaannya secara terbuka atas keputusan itu. Hal
ini dikarenakan TNI selama ini berusaha meredam gerakan-gerakan separatis secara
langsung, sementara pemerintah melakukannya melalui jalan diplomasi.
Masyarakat luas pun
melakukan demonstrasi atas hal ini, menyatakan tanda tidak setuju dan menuntut
Habibie agar tidak melepaskan Timor Timur apapun yang terjadi. Habibie kemudian
merespon tuntutan ini dengan mengeluarkan refendum.
Begitu banyak pihak
yang kecewa dan mengecamnya atas keputusan tersebut. Meskipun ia berhasil
melaksanakan pemilu yang cukup demokratis pada tahun 1999, dampak atas
keputusannya mengenai Timor Timur mengalami puncaknya ketika pidato
pertanggungjawaban Habibie ditolak dalam Sidang Umum MPR.
Bila kita melihat
keputusan Habibie tersebut dari sudut pandang lain, dapat dimengerti bahwa
sebenarnya Habibie hanya ingin menghilangkan tekanan dari dunia internasional
terhadap Indonesia.
Dunia internasional dan PBB menekan Indonesia
dengan anggapan bahwa Indonesia memaksakan kehendak atas keputusan integrasi
Timor Timur terdahulu. PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk segera
memberikan solusi terbaik bagi masalah Timor Timur.
Dalam situasi yang
mendesak tersebut, Habibie mengeluarkan referendum bagi rakyat Timor Timur
dengan 2 pilihan, tetap bergabung dengan NKRI dan diberi otonomi daerah luas
atau memisahkan diri dari NKRI dan merdeka. Habibie mengeluarkan referendum
tersebut dengan keyakinan bahwa rakyat Timor Timur akan memilih untuk tetap
bergabung bersama Indonesia.
Selain itu, motivasi
lain yang mendorongnya memberi keputusan penting seperti itu adalah agar
masyarakat dunia dan PBB dapat melihat dengan jajak pendapat yang dilakukan bahwa
rakyat Timor Timur memang masih berkeinginan untuk menjadi waraga negara
Indonesia. Ia berharap, dengan begitu dunia internasional dan PBB dapat
menerimanya dengan baik agar Indonesia tidak terus ditekan sebagai negara yang
hanya menginvasi Timor Timur semata.
D. Sejarah Kelam Para Pejuang Integrasi
Sejarah Tim-Tim tak
pelak merupakan sejarah hitam bagi NKRI, sekaligus catatan kelam bagi umat
Islam yang telah difitnah habis-habisan. Sejarah dengan terang benderang justru
mencatat Indonesia didorong oleh Barat khususnya Amerika Serikat dan Australia
untuk masuk (menganeksasi) Tim-Tim dengan dalih integrasi guna membendung
Komunisme.
Sejarah pula kini
mencatat bagaimana Barat, tanpa malu-malu, khususnya Australia dan Amerika
Serikat. memprakarsai rekayasa kemerdekaan Tim-Tim yang kini berubah menjadi
Timorleste.
Bagi pahlawan-pahlawan
integrasi, seperti Prabowo dan puluhan jendral lainnya, termasuk Pahlawan yang
tergabung dalam Kelompok Seroja, sejarah hitam Tim-Tim kini dikenang amat pedih
dan menyakitkan. Ketidak-adilan Barat menjadi sumber malapetaka di
Tim-Tim.
Teringat pada pertengahan
1970-an dikerahkan ribuan sukarelawan melalui pangkalan Iswahyudi Madiun, dan
sebagian gugur. Korp Baret Hijau di Kudus, konon bahkan tidak satu pun yang
selamat, tewas dibantai Fretilin yang menembaki pasukan itu saat mendarat
dengan parasut (pelanggaran konvesi Perang Jeneva).
Kenangan pahit juga diderita umat Islam yang
pernah berkiprah di Tim-Tim. Ada yang asli penduduk Tim-Tim, ada juga umat
Islam pendatang. Betapa mengerikan mengenang, mereka dijadikan sasaran fitnah
ketika itu.
Masjid-masjid di berbagai kota di Tim-Tim terus
dibakar pada 1990-an. Umat Islam pun tunggang langgang melarikan diri. Catatan
laporan ini sekadar mengungkap kejahatan golongan Nasrani secara faktual. Kini
Timorleste—berdasarkan laporan kunjungan anggota redaksi Suara Islam : HM.
Mursalin belum lama berselang—jauh berbeda dengan era saat dikuasai para
pemfitnah.
Pemerintah Timorleste lebih ramah dan ingin
membuktikan bahwa mereka tidak memusuhi Islam dan umat Islam. Entah di mana
Belo “Sang Pahlawan Gereja” saat ini?, Pemerintah Timorleste melalui Perdana
Menterinya Xanana Gusmao malah mengimbau agar umat Islam membangun Pusat Islam
di ibukota Timorleste, Dili.
E.
Pandangan Herminio Da Silva Da Costa (Pejuang Timor-Timur Pro Integrasi)
Lepasnya Timor-Timur Dari
NKRI bukan karena kekecewaan pada kami, yang ada hanya satu tekad yang
ingin bersatu dan berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi
karena ada sebagian masyarakat Timor Timur berkepentingan berjuang untuk
melepaskan diri dan membentuk suatu negara merdeka tentunya perlu dihormati
kehendak itu sebagai wujud dari sebuah demokrasi yang berlaku pada kami warga
atau masyarakt Timor Timur.
Kalau masalah kecewa saya kira itu adalah bahasa yang
dipolitisasi oleh pihak tertentu termasuk di Indonesia untuk mengkaming
hitamkan pihak pro-Indonesia dan menghiulangkan hak silpil dan politik yang
seharusnya dihormati dan diberikan dalam proses dekolonisasi yang diatur oleh UNTAET
dari PBB.
Dengan hasil Jajak Pendapat tanggal 30 Agustus 1999
yang diterim oleh Presiden RI B.J.
Habibie pada tanggal 4 September 1999 maka konsep integrasi gaya 1974
dan 1975 yang diperjuangkan partai politik Apodeti serta konsep
otonomi khusus dalam NKRI yang ditawarkan pada jajak pendapat itu hanya
kenang-kenangan sejarah masa lalu dan tidah etis apabila masih dibawa-bawa
sebagai suatu konsep politik untuk Timor Timur.
Habibie adalah orang
yang paling bertanggungjawab atas lepasnya Timtim dari NKRI, karena keputusan
kedua opsi yang diberikan kepada rakyat Timor-Timur tidak dilandasi dasar hukum
yang kuat, seperti tidak ada konsultasi dengan DPR-RI dan DPRD Tingkat I
Timor-Timur dan tokoh-tokoh Masyarakyat dan Politik di Timor Timur.
Memang Habibie memanggil Yang Mulia Uskup Belo saat itu, tapi Uskup Belo
harus minta izin ke Paus di Roma sehingga tidak dapat segera memenuhi panggilan
itu, dan karena itu Habibie marah dan membatalkan pertemuan dengan
Uskup Belo.
Sikap Habibie saat itu tidak konstitusional dan
terkesan ”Diktator” dalam mengambil keputusannya
tersebut, dan akibat dari keputusan itu yang tidak dilandasi suatu analisa yang
matang dari sudut politik dan kemanusiaan maka banyak warga Timor Timur harus
menderita dan tidak mampu menghidupi keluarganya, menderita lahir dan batin
dan penderitaan lainnya, tentunya hal ini tidak dapat dimaafkan oleh
masyarakar Timor-Timur yang menjadi korban dari pemberian ke dua opsi itu.
Pasca kekalahan jajak pendapat dari kedua opsi yang
ditawarkan itu, 370.000 jiwa warga masyarakat Timor-Timur yang pro integrasi
atau telah memilih otonomi khusus dalam Indonesia memutuskan mencari
perlingdungan di NTT dan daerah lainnya, akhirnya terlantar dan menderita,
karena tidak ada perhatian dan pembekalan dari pemerintah Indonesia kepada
masyarakat.
Maka apabila kita hubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
dapat kita simpulkan bahwa keputusan Presiden RI ke-3, B.J. Habibie dalam
memberi kedua opsi tersebut benar-benar melanggar Konstitusi RI dan melanggar
HAM di bidang Hak Sipil dan Hak Politik.
No comments:
Post a Comment