Friday, March 8, 2019

Peranan Walisongo dalam Islamisasi di Jawa







Proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa tidak tidak terlepas dari peranan para wali. Dan yang disebut atau dimaksud dengan kata-kata wali disini adalah orang yang berhasil mendekatkan diri pada Allah. Maka dinamakan waliyullah artinya Kekasih Allah.

Adapun yang disebut Wali Songo, adalah sembilan orang waliyullah yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa  dan sekitarnya pada abad ke 15 dan 16 masehi.  Mereka datang dari berbagai negeri dan hadir kepada masyarakat Jawa dengan menyebarkan agama Allah.

Walisongo sebenarnya adalah sebutan untuk sebuah organisasi atau dewan yang secara terorganisir berjuang untuk memimpin penyiaran agama Islam di masyarakat luas. Jadi pada hakikatnya yang disebut Wali Songo adalah bukan hanya sembilan orang saja, tapi sebenarnya lebih dari jumlah itu. Cuma saja, jumlah sembilan itu hanya merupakan suatu ketetapan dari organisasi yang didirikan. Maka bilamana ada dari salah satu anggota dewan wali itu meninggal dunia misalnya akan diganti wali yang lain, sehingga jumlahnya tetap walisongo.

Para wali kesemuannya bergelar sunan, suatu singkatan dari susuhunan, artinya “yang dijunjung tinggi” atau tempat memohon sesuatu. Disini kekuasaan kharismatik dapat memperkuat kekuasaan politik apabila seorang wali memegangnya. Para Wali bertindak sebagai juru dakwah, penyebar dan perintis agama Islam di Pulau Jawa.

Selain memiliki pengetahuan tentang agama, para wali tersebut juga diyakini memiliki ilmu kebal dan kesaktian. Dengan bekal pengetahuan agama dan keahlian tersebut, para wali mendapat banyak pengikut dan sangat di hormati. Para wali tersebut berkedudukan dikota pantai (pesisir) dan sebagian termasuk elite politik religius. Disamping kewibawaan rohaniah, mereka juga berpengaruh di bidang politik.

Wilayah pengaruhnya rupanya terbatas di lingkungan kota basisnya, hanya satu-dua diantaranya mempunyai pengaruh jauh melampaui batas daerahnya, seperti halnya dengan Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.

Keterbatasan daerah itu sesuai dengan struktur politik yang terdapat waktu ialah adanya penguasa-penguasa setempat yang lazim disebut Kyai Ageng. Mereka adalah termasuk tuan feodal yang mandiri, biasanya berkedudukan sebagai vassal apabila terpaksa tunduk kepada kekuasaan raja yang berhasil memegang suzereinitas di wilayah tertentu.
Otoritas kharismatik yang dimiliki para wali merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu-Jawa di Pedalaman. Dalam perkembangan politik selanjutnya ada beberapa gejala :
·     Seorang wali tidak mengembangkan wilayah dan tetap menjalankan pengaruh secara luas, umpanya Sunan Giri.
·   Seorang wali tidak menngembangkan pengaruh politik dan selanjutnya kekuasaan politik ada ditangan raja, umpama di Demak dan Kudus.
·  Seorang wali mengembangkan wilayah dan melembagakannya sebagai kerajaan, tanpa mengurangi kekuasaan religius, umpama Sunan Gunung Jati.

Adapun para wali di Jawa, menurut urutan dari Timur ke Barat ialah :
1.  Sunan Ngampel atau Raden Rahmat, seorang kemenakan dari permaisuri Kertawijaya (1467), dimakamkan di Ampel (dalam kota Surabaya).
2.    Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, dimakamkan di Gresik.
3.    Sunan Giri atau Raden Paku,makamnya di Giri dekat Gresik.
4.   Sunan Drajat, putra Sunan Ngampel , dimakamkan di Sidayu Lawas, Lamongan.
5.   Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim, seorang putra juga dari Sunan Ngampel, mungkin sekali dilahirkan di Bonang Wetan dekat Rembang dan meninggal di Tuban.
6.  Sunan Kudus, putra Sunan Ngundug, panglima bala tentara para wali yang menyerbu Majapahit (1478); waktu ayahnya gugur ia menggantikanya.
7.    Sunan Muria, seorang pejuang melawan Majapahit, kemudian bertapa, makamnya ada di lereng selatan kawah Gunung Muria; menurut tradisi, ayahnya, Pangeran Gadung dimakamkan disitu juga.
8.   Sunan Kalijaga atau Sahid Djaka seorang tumenggung Majapahit yang menyerang Jepara, tetapi kemudian masuk agama Islam karena usaha Sunan Bonang; kawin dengan seorang putri sunan Gunung Jati, menolak untuk tinggal di Cirebon dan akhirnya mengikuti perintah Sultan Trenggana menetap di Kadilangu, dimana ia mendapat banyak murid tersohor dan sepeninggalnya dimakamkan di Kadilangu.
9.    Sunan Gunung Jati, banyak orang berpendapat beliau berasal dari Pasai, kawin dengan saudara perempuan Sultan Trenggana (Demak), kemudian berhasil menaklukan Cirebon dan Banten. Makamnya ada di Gunung Jati sebelah utara Cirebon.

            Kesembilan wali tersebut diatas dapat digolongkan atas tiga golongan yaitu para wali di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Islamisasi di Jawa dipermudah oleh berbagai faktor, diantaranya:
1.    Suasana keterbukaan di kota yang didatangi oleh para wali menciptakan kecenderungan sruktural untuk mobilitas yang lebih besar, antara lain berpindah agama;
2.    Bersamaan dengan proses itu terjadi pula disintegrasi serta disorientasi masyarakat lama, sehingga diperlukan identitas baru dengan nilai-nilai baru;
3.    Dengan merosotnya kekuasaan pusat Hindu-Jawa maka perubahan sruktural masyarakat mengakibatkan perubahan struktur kekuasaan. Dalam hal ini Islam merupakan tinag pendukungnya.

Selain dari keadaan masyarakat yang mendukung untuk penyebaran agama Islam, para wali juga memiliki konsep dalam penyebaran agama Islam yang memperlancar proses islamisasi di Jawa, yaitu:
1.    Tasamuh (toleran). tanah Jawa, sebagai medan dakwah walisanga waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan.

Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, dimana nilai-nilai keyakinan dan budaya Hindu-Budha telah mengakar dengan kuat di masyarakat. Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa yang berakulturasi dengan budaya Hindu-Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik.

Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan revolusi kebudayaan. Walisanga, yang memang berasal dari keturunan sunni dan sufi, memahami betul pendekatan yang seperti apa yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa.

Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu-Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal dengan walisanga yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerajaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali dengan caranya sendiri turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat kecil.

Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali dan kemudian berkembang kepada ajaran para wali dan mengikuti ajaran para wali yaitu Islam.

2.    Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab tentu mempunyai kultur yang berbeda demean kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim.

Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman. Maka, di tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya  dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah.

Tradisi seperti peringatan hari ketiga kematian dan ritual-ritual lain yang merupakan warisan budaya Hindu Jawa,oleh para wali tradisi seperti ini tidak ditentang melainkan tradisi-tradisi tersebut diberi unsur-unsur islami. Misalnya pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil.

Dengan demikian, secara perlahan dan tanpa kekerasan, ritus-ritus yang sarat akan kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai yang dilakukan dalam menyebarkan agama Islam perlahan menumbuhkan budaya damai di hati umat Islam Jawa.

3.    Tawazun (keseimbangan atau harmoni). Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa dan nusantara secara umum adalah kecenderungan kepada harmoni.

Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu mengalah dan nrimo ing pandum. Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangkan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, proses islamisasi pun berjalan dengan damai tanpa gejolak yang berarti.

4.    Iqtida’ (keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu system diskriminasi kultural yaitu sistem kasta.

Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketikapecah perang saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman, dan kemiskinan. Dalam situasi seprti itulah walisanga masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter.

Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini yaitu perlindungan spiritual dan kultural.

 Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup efektif dalam proses islamisasi Jawa adalah dakwah politik. Dalam menjawab pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon, pengarang buku “The Venture of Islam”, mengapa proses islamisasi di Jawa begitu berhasil sempurna. Mark Woodward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sulatanate of Yogyakarta” menjawab bahwa Islam oleh para penyebarnya, khususnya walisanga, telah berhasil dipeluk keraton Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya.

Melalui tokoh Raden Patah, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lainnya, Islam masuk ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan. Dimana proses Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan secara frontal.

Peranan wali sanga dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa tentu mempunyai andil yang besar, selain melakukan penyebaran agama Islam para wali juga menyebarkan dan mengembangkan beberapa kesenian Jawa.

No comments:

Post a Comment

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...