Proses
penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa tidak tidak terlepas dari
peranan para wali. Dan yang disebut atau dimaksud dengan kata-kata wali disini
adalah orang yang berhasil mendekatkan diri pada Allah. Maka dinamakan waliyullah artinya Kekasih Allah.
Adapun
yang disebut Wali Songo, adalah sembilan orang waliyullah yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya pada abad ke 15 dan 16 masehi.
Mereka datang dari berbagai negeri dan
hadir kepada masyarakat Jawa dengan menyebarkan agama Allah.
Walisongo
sebenarnya adalah sebutan untuk sebuah organisasi atau dewan yang secara
terorganisir berjuang untuk memimpin penyiaran agama Islam di masyarakat luas.
Jadi pada hakikatnya yang disebut Wali Songo adalah bukan hanya sembilan orang
saja, tapi sebenarnya lebih dari jumlah itu. Cuma saja, jumlah sembilan itu
hanya merupakan suatu ketetapan dari organisasi yang didirikan. Maka bilamana
ada dari salah satu anggota dewan wali itu meninggal dunia misalnya akan
diganti wali yang lain, sehingga jumlahnya tetap walisongo.
Para
wali kesemuannya bergelar sunan, suatu singkatan dari susuhunan, artinya “yang
dijunjung tinggi” atau tempat memohon sesuatu. Disini kekuasaan kharismatik
dapat memperkuat kekuasaan politik apabila seorang wali memegangnya. Para Wali
bertindak sebagai juru dakwah, penyebar dan perintis agama Islam di Pulau Jawa.
Selain
memiliki pengetahuan tentang agama, para wali tersebut juga diyakini memiliki
ilmu kebal dan kesaktian. Dengan bekal pengetahuan agama dan keahlian tersebut,
para wali mendapat banyak pengikut dan sangat di hormati. Para
wali tersebut berkedudukan dikota pantai (pesisir) dan sebagian termasuk elite
politik religius. Disamping kewibawaan rohaniah, mereka juga berpengaruh di
bidang politik.
Wilayah
pengaruhnya rupanya terbatas di lingkungan kota basisnya, hanya satu-dua
diantaranya mempunyai pengaruh jauh melampaui batas daerahnya, seperti halnya
dengan Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.
Keterbatasan
daerah itu sesuai dengan struktur politik yang terdapat waktu ialah adanya
penguasa-penguasa setempat yang lazim disebut Kyai Ageng. Mereka adalah
termasuk tuan feodal yang mandiri, biasanya berkedudukan sebagai vassal apabila
terpaksa tunduk kepada kekuasaan raja yang berhasil memegang suzereinitas di
wilayah tertentu.
Otoritas
kharismatik yang dimiliki para wali merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu-Jawa
di Pedalaman. Dalam perkembangan politik selanjutnya ada beberapa gejala :
· Seorang
wali tidak mengembangkan wilayah dan tetap menjalankan pengaruh secara luas,
umpanya Sunan Giri.
· Seorang
wali tidak menngembangkan pengaruh politik dan selanjutnya kekuasaan politik
ada ditangan raja, umpama di Demak dan Kudus.
· Seorang
wali mengembangkan wilayah dan melembagakannya sebagai kerajaan, tanpa
mengurangi kekuasaan religius, umpama Sunan Gunung Jati.
Adapun para wali di Jawa, menurut urutan
dari Timur ke Barat ialah :
1. Sunan
Ngampel atau Raden Rahmat, seorang kemenakan dari permaisuri Kertawijaya (1467),
dimakamkan di Ampel (dalam kota Surabaya).
2. Malik
Ibrahim atau Maulana Maghribi, dimakamkan di Gresik.
3. Sunan
Giri atau Raden Paku,makamnya di Giri dekat Gresik.
4. Sunan
Drajat, putra Sunan Ngampel , dimakamkan di Sidayu Lawas, Lamongan.
5. Sunan
Bonang atau Makdum Ibrahim, seorang putra juga dari Sunan Ngampel, mungkin
sekali dilahirkan di Bonang Wetan dekat Rembang dan meninggal di Tuban.
6. Sunan
Kudus, putra Sunan Ngundug, panglima bala tentara para wali yang menyerbu
Majapahit (1478); waktu ayahnya gugur ia menggantikanya.
7. Sunan
Muria, seorang pejuang melawan Majapahit, kemudian bertapa, makamnya ada di
lereng selatan kawah Gunung Muria; menurut tradisi, ayahnya, Pangeran Gadung
dimakamkan disitu juga.
8. Sunan
Kalijaga atau Sahid Djaka seorang tumenggung Majapahit yang menyerang Jepara,
tetapi kemudian masuk agama Islam karena usaha Sunan Bonang; kawin dengan
seorang putri sunan Gunung Jati, menolak untuk tinggal di Cirebon dan akhirnya
mengikuti perintah Sultan Trenggana menetap di Kadilangu, dimana ia mendapat
banyak murid tersohor dan sepeninggalnya dimakamkan di Kadilangu.
9. Sunan
Gunung Jati, banyak orang berpendapat beliau berasal dari Pasai, kawin dengan
saudara perempuan Sultan Trenggana (Demak), kemudian berhasil menaklukan
Cirebon dan Banten. Makamnya ada di Gunung Jati sebelah utara Cirebon.
Kesembilan wali tersebut diatas
dapat digolongkan atas tiga golongan yaitu para wali di Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat.
Islamisasi di Jawa
dipermudah oleh berbagai faktor, diantaranya:
1. Suasana
keterbukaan di kota yang didatangi oleh para wali menciptakan kecenderungan
sruktural untuk mobilitas yang lebih besar, antara lain berpindah agama;
2. Bersamaan
dengan proses itu terjadi pula disintegrasi serta disorientasi masyarakat lama,
sehingga diperlukan identitas baru dengan nilai-nilai baru;
3. Dengan
merosotnya kekuasaan pusat Hindu-Jawa maka perubahan sruktural masyarakat
mengakibatkan perubahan struktur kekuasaan. Dalam hal ini Islam merupakan tinag
pendukungnya.
Selain dari keadaan
masyarakat yang mendukung untuk penyebaran agama Islam, para wali juga memiliki
konsep dalam penyebaran agama Islam yang memperlancar proses islamisasi di
Jawa, yaitu:
1.
Tasamuh (toleran). tanah Jawa,
sebagai medan dakwah walisanga waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai
dan keyakinan.
Sebaliknya,
ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran
budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, dimana nilai-nilai keyakinan
dan budaya Hindu-Budha telah mengakar dengan kuat di masyarakat. Belum lagi
tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa yang berakulturasi dengan
budaya Hindu-Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik.
Maka,
dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan revolusi
kebudayaan. Walisanga, yang memang berasal dari keturunan sunni dan sufi,
memahami betul pendekatan yang seperti apa yang dibutuhkan untuk merangkul
masyarakat Jawa.
Perbedaan
besar antara ajaran Islam dengan Hindu-Budha tidak lantas menciptakan jarak
antara generasi awal dengan walisanga yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal.
Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri
dalam kehidupan bermasyarakat.
Para
wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar
akibat perang saudara di Kerajaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang
perbedaan agama dan keyakinan, para wali dengan caranya sendiri turun tangan
membenahi dan melindungi masyarakat kecil.
Empati
dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para
wali dan kemudian berkembang kepada ajaran para wali dan mengikuti ajaran para
wali yaitu Islam.
2.
Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran
Islam yang turun di tanah Arab tentu mempunyai kultur yang berbeda demean
kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan
serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim.
Sebaliknya,
para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi
yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa
keislaman. Maka, di tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di
Timur Tengah.
Tradisi
seperti peringatan hari ketiga kematian dan ritual-ritual lain yang merupakan
warisan budaya Hindu Jawa,oleh para wali tradisi seperti ini tidak ditentang melainkan
tradisi-tradisi tersebut diberi unsur-unsur islami. Misalnya pembacaan mantra
dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil.
Dengan
demikian, secara perlahan dan tanpa kekerasan, ritus-ritus yang sarat akan
kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai yang
dilakukan dalam menyebarkan agama Islam perlahan menumbuhkan budaya damai di
hati umat Islam Jawa.
3.
Tawazun (keseimbangan atau harmoni).
Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa dan nusantara secara umum adalah
kecenderungan kepada harmoni.
Bagi
orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa
sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk
selalu mengalah dan nrimo ing pandum.
Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus
mempertimbangkan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, proses
islamisasi pun berjalan dengan damai tanpa gejolak yang berarti.
4.
Iqtida’ (keberpihakan
pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan
besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan
besar, yaitu system diskriminasi kultural yaitu sistem kasta.
Sistem
kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat.
Terlebih ketikapecah perang saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada
maraknya kerusuhan, kelaliman, dan kemiskinan. Dalam situasi seprti itulah
walisanga masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter.
Prinsip
kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja
meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini
yaitu perlindungan spiritual dan kultural.
Strategi lain yang dipandang para sejarawan
cukup efektif dalam proses islamisasi Jawa adalah dakwah politik. Dalam
menjawab pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon, pengarang buku “The Venture of Islam”, mengapa proses
islamisasi di Jawa begitu berhasil sempurna. Mark Woodward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and
Mysticism in the Sulatanate of Yogyakarta” menjawab bahwa Islam oleh para
penyebarnya, khususnya walisanga, telah berhasil dipeluk keraton Jawa, sehingga
seluruh rakyat mengikutinya.
Melalui tokoh Raden Patah,
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lainnya, Islam masuk ke lingkungan
kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan. Dimana proses Islamisasi
mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan secara
frontal.
Peranan wali sanga dalam
penyebaran agama Islam di pulau Jawa tentu mempunyai andil yang besar, selain
melakukan penyebaran agama Islam para wali juga menyebarkan dan mengembangkan
beberapa kesenian Jawa.
No comments:
Post a Comment