Deskripsi
Perang
Perjuangan Aceh melawan
penjajah sudah dimulai sejak zaman kolonial. Pokok persoalannya berputar pada
siapa yang dapat mengontrol kekayaan alam Aceh. Lawannya yang pertama ialah
multinasional Eropa seperti VOC dan British East India Company, disusul Kompeni
(pemerintah Nederlandsch-Indie).
Mula-mula perdagangan lada menjadi
perselisihan, kemudian sejak tahun 1900 masalah beralih ke penggarapan minyak.
Dan agama pun main peranan penting: antara musuh yang beragama Kristen dan
nasionalisme beragama Islam lokal. Agama menjadi bendera yang dikibarkan kedua
pihak untuk mempertajam perbedaan dan memburukkan musuh.
Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan
Belanda
dimulai pada 1873
hingga 1904.
Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang
gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret
1873 Belanda menyatakan
perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari
kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di
Pantai Ceureumen di bawah
pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung
bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler
saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 diantaranya para perwira.
Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin
oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan
Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler
dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan. Lalu, pada 8 April
1873, Belanda kembali mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Kohler.
Para prajurit Belanda mulai menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya.
Köhler tewas pada tanggal 14 April 1873.
Sepuluh hari kemudian, perang
berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya
Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh,
Lambhuek (Lambuk), Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa
ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa
beberapa wilayah lain.
Perang kedua (1874-1880), dibawah Jenderal
Jan van
Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari
1874, dan dijadikan
sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari
1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan
Belanda.
Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari
1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawod yang
dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang
total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota
negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indra Puri dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang
dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fisabilillah. Dimana
sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Dalam perang
gerilya ini pasukan Aceh dibawah Teuku Umar
bersama Panglima Polim dan Sultan.
Pada tahun 1899 ketika terjadi
serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh,
Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil
menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah
perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan,
penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Perang keempat ini adalah Tahap baru dalam peperangan. Dimulai dengan datangnya
Van Heutsz di Aceh (1896).
Tindakan-tindakannya bersama dengan
panglimanya, Van Daalen, bersifat agresi yang tak kenal batas. Van Heutsz
berpandangan tunggal : Kikis habis para pemimpin dan pengikutnya, baru kita
kenal damai. Pendapat ini memperoleh sokongan dari ahli agama Islam Snouck
Hurgronje. Untuk menjalankan serangannya, Van Heutsz pada 1896 menurunkan korps
marechaussee yang sudah dibangunkan pada 1890. Korps itu menjadi satuan
militer yang utama. Periode ini juga merupakan akhir dari perjuangan rakyat
aceh dalam melawan Kompeni.
Sebab meletusnya Perang Aceh :
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat
dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli,
Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak
Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka
berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah
Belanda dan Inggris membuat ketentuan batas-batas kekuasaan kedua daerah di
Asia Tenggara yakni dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui
kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati
janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand
de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas
perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871
antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada
Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan
lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di
Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh
mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di
Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan
Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai
alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2
kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah
tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud
menolak untuk memberikan keterangan.
Jalannya Perang
Belanda menyatakan perang terhadap
Aceh pada 26 Maret
1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang
dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan
tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang
telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal
14 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal
van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26
Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai
Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober
1880, pemerintah kolonial
menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara
gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini
dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dengan Belanda,
Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika
Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam
perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III
di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada
Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa
kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan
Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda
berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu
wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh
menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai
gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan
perang terbuka melawan Aceh.
Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin
setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima
prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana
bantuan Belanda untuk membangun pasukannya.
Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar
malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini
Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi
pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di
Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil
menjadi komandan perang gerilya.
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck
Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran
kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata berhasil.
Dr Snouck Hurgronye yang menyamar
selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan
ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De
Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di
Aceh adalah:
- Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
- Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
- Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
- Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
- Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, J.B. van
Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr
Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus
Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian
besar Aceh.
Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan
diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih
dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada
tahun 1904.
Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan
baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur.
Pada tahun tersebut, hampir seluruh
Aceh telah direbut Belanda. Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz,
dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan
Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan,
hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan
Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan
Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh.
Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van
Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah
pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai.
Van Der Maaten dengan diam-diam
menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai
gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan
beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan
menyerah ke Lo' Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak
penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan
cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang
menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana
2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan
diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
Akhir
Perang
Perang
Aceh mulai surut dan berakhir seiring dengan mulai hilangnya pemimpin-pemimpin
perang, seperti Sultan Machmud Syah, Tuanku Muhammad Dawod, Panglima
Polem, Teuku Umar dan Cut Nya' Dien. Mereka merupakan para pemimpin yang
tangguh, pemberani, kharismatik dan sangat ulet dalam “meladeni” Kompeni.
Selama perang Aceh, Van Heutz telah
menciptakan surat pendek (Korte Verklaring, Traktat Pendek) tentang
penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah
tertangkap dan menyerah.
Isi dari surat pendek penyerahan diri
itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah
Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan
di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang
ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian
terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.
No comments:
Post a Comment