1. Munculnya
gerakan peri-peri dan semi peri-peri di Surakarta dan Yogyakarta
Gerakan peri-peri dan semi peri-peri di Surakarta
dan Yogyakarta merupakan suatu gerakan yang dilancarkan untuk melampiaskan
kekecewaan rakyat terhadap tatanan kehidupan yang berantakan, tidak adil dan
merugikan rakyat.
Sering
terjadi intrik dan perebutan kekuasaan akibat dari ambisi-ambisi egois para
ningrat. Kraton berubah menjadi kebarat-baratan.
Gerakan-gerakan di Surakarta dan Yogyakarta disebabkan
oleh beberapa faktor :
·
Pertama,
karena kondisi ekonomi rakyat yang pada saat itu sangat memprihatinkan jika
dibandingkan dengan kondisi perekonomian para tuan tanah, Aristokrat dan
tentunya orang-orang Belanda.
Rakyat juga menganggap bahwa kekayaan yang
mereka peroleh itu didapatkan dengan cara yang kotor dan melanggar hukum.
Mereka tidak mempedulikan rakyat atau pegawai yang telah bekerja keras untuk
mereka. Para ‘majikan’ itu hanya mementingkan diri sendiri dan sibuk dengan
dunia politik untuk sekedar memperkuat kedudukan. Hal itu mendorong banyak orang
untuk merampok dan mencuri.
·
Kedua, adanya jargon-jargon Mesianis yang
dianut sebagian besar rakyat yang bergabung dengan kekuatan dari ‘orang-orang
yang tersingkirkan’.
Jargon-jargon Mesianis seolah-olah menjadi
dasar pemikiran rakyat bahwa keadaan yang sekarang ini sudah kacau, mereka lalu
beranggapan bahwa dengan melancarkan serangan-serangan, keadaan bisa berubah
dan kehidupan mereka akan menjadi lebih baik.
Sedangkan ‘orang-orang yang tersingkirkan’
berpikir untuk mengembalikan lagi keadaan atau kedudukan mereka dahulu.
·
Ketiga, kecilnya upah polisi tingkat rendahan
sehingga para polisi rendahan itu tidak memiliki etos kerja dan semangat yang
tinggi untuk mengabdi kepada Negara.
Gaji yang kecil membuat mereka mudah untuk
disuap oleh orang-orang tertentu untuk memuluskan rencana jahat mereka. Hal itu
membuat para polisi rendahan sering menyimpang dan melalaikan tugasnya.
Akibatnya gerakan-gerakan yang dilancarkan oleh rakyat sering dibiarkan, barang-barang
curian sangat jarang yang terlacak dan barang-barang berharga yang digadaikan
untuk meminjam uang sering lenyap.
·
Keempat, adanya desas-desus yang mengatakan
Pangeran Diponegoro Anom sedang berupaya membentuk pasukan pengikut
disekitarnya. Juga beredar kabar akan kembalinya Pangeran Diponegoro dan
Senthot ke Jawa untuk memulai perang baru.
Kedua kabar tersebut telah membangitkan
semangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial yang selama ini telah
menindas dan memperlakukan mereka secara tidak adil. Kebencian dan
ketidakpuasan yang diakibatkan oleh kemiskinan telah membelenggu kehidupan
rakyat kecil.
·
Kelima, pengaruh provokasi dan
tulisan-tulisan yang sifatnya menghasut, serta pandangan orang Jawa yang sangat
percaya pada kekuatan supernatural yang dimiliki oleh pemimpin mereka sehingga
rakyat mudah terpengaruh dengan ajakan pemimpin mereka untuk melakukan
pemberontakan.
Rakyat berpikir bahwa jika pemimpin mereka
mempunyai kekuatan supernatural, maka kekuatan mereka akan menjadi lebih
tangguh, dengan demikian rakyat menyerang dengan penuh semangat dan percaya
diri.
·
Keenam, bangitnya semangat Islam sebagai
akibat dari kemenangan Turki atas Rusia dalm Perang Crimean (1854-1856),
berkembangnya ibadah haji dan meningkatnya jumlah Tarekat (persaudaraan mistis
Muslim).
Hal ini mendorong rakyat berusaha untuk
mengembalikan Islam ke dalam kehidupan baik di Kraton maupun di kalangan masyarakat
biasa. Usaha ini tidak akan terwujud jika orang asing (Belanda) masih berkeliaran
disana-sini dan satu-satunya jalan ialah dengan melancarkan serangan-serangan
untuk mengusik kehidupan orang-orang Belanda agar mereka tidak betah dan
kemudian pergi.
·
Ketujuh, adanya surat perintah dari
Pakubuwana IX agar seluruh rakyat bersatu membentuk kekuatan untuk mengusir
Belanda dari tanah Jawa.
Rakyat Jawa harus bersatu juga dengan
orang-orang asing yang ada di Jawa, semisal orang Cina, orang Khoja, Lucik,
Bugis dan Sipahi. Jika mereka tidak mau membantu,untuk mengusir Belanda,
sebaiknya dibunuh saja sekalian. Adanya surat perintah itu membuat semangat
rakyat semakin tinggi untuk melancarkan serangan-serangan ke pihak Belanda. Hal
ini seakan-akan menjadi penegas bahwa tindaan yang mereka lakukan adalah benar
dan mendapat restu dari raja.
2. Landasan pemikiran yang memicu kemunculan
gerakan-gerakan
Landasan utama yang mendasari munculnya
berbagai gerakan peri-peri dan semi peri-peri di Yogyakarta adalah masalah
perpolitikan atau keadaan politik di kedua Kraton yang banyak dipengaruhi dan
dicampuri oleh Belanda dan akhirnya berimbas pada keadaan ekonomi rakyat.
Perbuatan Belanda sekilas memang terpusat atau terkonsentrasi di lingkungan
Kraton namun akibat yang ditimbulkan menjalar kemana-mana.
Akibat dari campur tangan Belanda di
lingkungan Kraton ialah terjadi perpecahan pada tubuh birokrasi Kraton, dimana
sebagian dapat disuap untuk membantu segala urusan dan kepentingan Belanda.
Sedangkan disisi lain, para pejabat yang tidak pro dengan Belanda sengaja
disingkirkan dengan cara-cara licik dan hasutan ala Belanda.
Di dalam Kraton sendiri, sering terjadi
intrik dan perebutan kekuasaan akibat dari ambisi-ambisi egois para ningrat. Para
ningrat saling berlomba-lomba untuk cari muka dihadapan para penguasa guna
memperkuat keduduan mereka agar tidak ikut ditendang oleh Belanda.
Orang-orang yang tersingkir karena hal diatas
tidak terima dan kemudian berusaha untuk mendapatkan kembali kedudukan mereka
dahulu. Usaha mereka untuk ‘kembali’ tidak akan terlaksana jika Belanda masih
ada di Kraton, baik Surakarta atau Yogyakarta sehingga mereka melancarkan
serangkaian serangan untuk mengusir Belanda dari lingkungan Kraton.
Para pejabat atau birokrat yang tersingkir
dari Kraton otomatis akan kehilangan kedudukan dan pekerjaannya padahal banyak
rakyat yang bekerja pada mereka sebelumnya. Dengan begitu para buruh sudah
pasti juga kehilangan pekerjaannya.
Sebagian mantan buruh yang tahu bahwa yang
mereka alami adalah akibat dari ulah Belanda dan tidak memiliki keterampilan
hidup terpaksa merampok dan mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Banyaknya pengangguran dan para Kecu dimanfaatkan
para tersingkir untuk memprovokasi mereka agar mau bergerak menyerang Belanda
dengan berbagai alasan. Ada yang karena jargon Mesianis, ada yang berdasar
semangat jihad dan sebagainya.
3. Gerakan peri-peri dan semi peri-peri
merupakan Sinergi antara Elit Kraton, Ulama dan Santri
Gerakan peri-peri dan semi peri-peri
merupakan sinergi antara Elit Kraton, Ulama dan Santri karena ketiga golongan
tersebut terlibat dan saling terkait dalam gerakan peri-peri dan semi
peri-peri. Dalam kedua jenis gerakan itu, masing-masing golongan memiliki
kepentingan yang agak berbeda satu sama lain, namun demikian melakukan cara
yang hampir sama guna mencapai tujuan masing-masing.
Elit Kraton, yakni mereka yang tersingkir
berusaha untuk memperoleh kembali kedudukan mereka sehingga melakukan
gerakan-gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Ulama, gerakan-gerakan golongan ini didasari
oleh kebangkitan Islam, dimana pada masa itu adalah saat-saat berkembangnya
ibadah haji dan meningkatnya jumlah Tarekat. Golongan ini juga yang paling
menentang terhadap program Kristenisasi yang dijalankan Belanda kepada
masyarakat Jawa.
Para Ulama seperti biasa dalam segala
pergerakan dan usahanya selalu didukung oleh para santri mereka. Ulama
menginginkan Islam kembali kepada rakyat namun jika Belanda belum angkat kaki
dari tanah Jawa, tentu usaha para Ulama tidak akan berhasil.
Ketiga golongan tersebut memiliki tujuan yang
hampir sama. Saat Kraton mulai kebarat-baratan dan dipenuhi dengan intrik
politik dari berbagai pihak, para penggerak tersebut sangat menginginkan adanya
restorasi terhadap tatanan kehidupan pada masa itu yang mulai berubah.
Mereka juga menginginkan suatu pembaruan
kekuasaan kerajaan, yakni kembali pada konsepsi Klasik, dimana Elit politik
mendapatkan kembali kedudukannya yang seperti dahulu, sedangkan Ulama tetap
dapat menyiarkan dan menegakkan syariat Islam tanpa adanya satu gangguan dari
pihak lain terutama Belanda.
Mungkin antara Ulama dan Elit politik belum
ada kerjasama yang nyata secara bersama dalam pergerakannya, namun kedua
golongan itu dapat saling mengisi dalam pergerakan dan serangan yang mereka
lancarkan guna mengusir Belanda dari lingkungan Kraton, baik di Surakarta maupun
di Yogyakarta.