Saturday, August 31, 2019

Gunungan



Jenis-jenis makanan untuk hiasan Gunungan, antara lain :
·         Tedheng, dibuat dari beras ketan, dimask, lalu ditumbuk sampai lumat, kemudian dibuat pipih setebal 1 cm dan dibentuk segitiga sama sisi, panjang tiap sisi 20 cm, berwarna merah. Jumlah Tedheng 25 buah, tetapi yang dipasang cuma 24.

·         Eblek, dibuat dari beras ketan ditanak, lalu ditumbuk sampai lumat, kemudian dicetak berbertuk persegi panjang, dengan ukuran 20x15 cm, tebal 1 cm.

·         Bethetan, dibuat dari beras ketan, cara memasak dan mencetaknya sama dengan Tedheng dan Eblek, namun berbentuk seperti paruh burung Bethet. Warnanya merah, berjumlah 30 buah. 12 buah untuk menghias gunungan putri, 12 untuk gunungan dharat, sisanya untuk menghias gunungan pawuhan.

·         Ilat-ilatan, dibuat dari beras ketan, ditanak, diberi warna merah, kuning, hijau, hitam dan putih, lalu ditumbuk sampai lumat, berbentuk pipih panjang tebalnya 1 cm, lebar 3 cm, panjang 30 cm. Ilat-ilatan ini dijemur sampai kering dan diberi tangkai bambu yang panjang. Jumlah seluruhnya 130 buah. 60 berwarna hitam untuk menghias mustaka gunungan putrid. 70 dengan lima macam warna digunakan untuk hiasan mustaka gunungan dharat.

·         Ole-ole, merupakan rangkaian dari kucu dan upil-upil. Sujen-sujen dari bambu yang panjangnya 60 cm, dibengkokkan seperti cambuk atau seperti busur panah. Pada tangkai busur diikatkan 6 buah kucu dan 25 upil-upil yang beraneka macam warnanya.

·         Badheran, dibuat dari kayu randu, berbentuk seperti ikan badher, diberi tangkai bambu sepanjang 50 cm. Badheran lalu dibalut dengan adonan tepung beras dan digoreng sampai matang. Jika sudah matang, Badheran akan sangat keras dan taha lama. Badheran ini digunakan untuk mustaka gunungan laki-laki, jumlahnya 5 buah.

·         Bendhul, dibuat dari tepung beras. Cara membuatnya seperti Badheran, namun isinya bilah bambu sepanjang 4 cm diikatkan pada tangkai sepanjang 50 cm. Adonan tepung beras dibalutkan pada ujung tangkai bilah bambu tersebut, dibentuk bulat sebesar bola tenis, lalu digoreng sampai matang. Warna kuning tua.

·         Tangkilan kacang, berbentuk rangkaian kacang panjang, cabai merah dan cabai hijau. Cara merangkainya : 4 buah kacang panjang, sebuah cabai merah, sebuah cabai hijau, setangkai kucu, diikat menjadi satu lalu diberi tangkai yang agak panjang.

Gunungan adalah berbagai jenis tanaman dan sayur-sayuran yang diatur tersusun meninggi hingga menyerupai gunung. Dalam penyelenggaraan Garebek mulud, ada enam macam gunungan yang dikeluarkan dari komplek keratin ke masjid besar. Enam macam gunungan tersebut masing-masing yaitu : Gunungan Kakung (gunungan laki-laki), Gunungan Putri (gunungan perempuan), Dharat, Gunungan Gepak, Gunungan Pawuhan dan Gunungan Picisan.


Gunungan Kakung (laki-laki)
         Gunungan ini berbentuk kerucut setinggi 2 m. puncak gunungan disebut Mustaka, terdiri dari rangkaian lima buah Badheran yang diikat bersama tangkai-tangkai Bendhul. Jumlah Bendhul yang diperlukan adalah 140 buah. Di bawah susunan Bendhul paling bawah, dipasang secara melingkar Sangsangan, yaitu telur rebus sebanyak 20 butir yang dirangkai dengan tali.

         
Bagian tubuh Gunungan Kakung, yaitu mulai dari sebelah bawah susunan Bendhul sampai ke dasar gunungan, dihias dengan tangkilan kacang, sampai rangka gunungan tidak terlihat sama sekali, karena tertutup oleh rangkaian tangkilan kacang tersebut. Pada bagian tubuh gunungan, dihias dengan 15 buah Pelokan, yang digantungkan terpencar di seluruh permukaan kerucut gunungan, yaitu dibagian lebih rendah dari untaian sangsangan. Pelokan ialah telur dadar.

Pada jarak kira-kira 50 cm di sebelah bawah sangsangan, ditancapkan beberapa tusuk Dhengul, yaitu telur rebus yang diberi tangkai sebuah sujen. Sujen inilah yang ditusukan ke dalam kerangka gunungan kakung di sela-sela tangkilan kacang.

Untuk mengangkutnya, Gunungan Kakung dimasukkan ke dalam sebuah Jodhangan, yaitu kotak terbuat dari kayu kayu jati bercat merah tua. Permukaan Jodhangan 2x2 m, dilengkapi dua batang kayu untuk pemikul. Tiap sudut Jodhangan diletakkan tiga buah tumpeng dari nasi beserta lauk-pauknya.

Kain bercorak Bangun Tulak (dasar warna biru tua dengan hiasan warna putih dibagian tengahnya) dihamparkan pada bagian dasar gunungan dan menutupi bagian atas Jodhangan sehingga tumpeng-tumpeng dan Tempelangan-tempelangan yang dimasuki di dalam Jodhangan itu tertutup olehnya. Empat helai Samir (selendang sutera) dihiaskan pada tubuh gunungan sehingga menambah ketampanan penampilannya dan digambarkan sebagai seseorang yang mengenakan sampur.

Gunungan Putri (perempuan)
Bentuk gunungan perempuan mirip dengan piala. Pada bagian dasar lebih kecil dari bagian atas. Sedang dari bagian atas yang paling lebar itu ke puncak membentuk kerucut yang tidak runcing seperti tutup piala. Bagian yang kelihatan seperti tangkai pegangan tutup piala inilah yang disebut mustaka Gunungan Putri.

           


Mustaka gunungan berbentuk seperti gunungan wayang kulit, diberi tangkai yang panjang dan diikatkan dengan tiang yang menancap pada as Dhumpal. Di sekitar mustaka diikatkan 60 buah ilat-ilatan yang bertangkai. Di sekitar mustaka juga diatur upil-upil dengan anaka macam warnanya, makin merendah.

Sebelah bawah lingkaran upil-upil diatur Tlapukan, juga bermacam-acam warnanya, penuh melingkar, kira-kira tujuh lapis lingkaran. Pada lingkaran yang paling bawah diatur Rengginan, beberapa lapis sampai bidang yang bentuknya mirip tutup piala itu penuh dengan hiasan. Di sana-sini pada lingkaran tersebut ditancapkan Bethetan dan oleh-oleh.

Bagian tubuh gunungan ditutupi dengan kulit batang pisang, yang disusun berjajar berdiri dengan bagian yang cekung terletak di bagian dalamnya. Pada bagian tubuh inilah digantung-gantungkan hiasan, 4 buah Eblek, dan 11 buah Tedheng yang digantungkan dengan tali-tali.

Agar Gunungan Putri dapat kaut melekat pada Dhumpal, maka ditancapkan tiang, yang merupakan kaki gunungan. Pada bagian dasar tiang tersebut ditaruh sebakul Wajik. Seperti halnya Gunungan Kakung, maka Gunungan Putri inipun diletakkan ke dalam Jodhangan, yang bias dipasangi dua batang kayu pemikul. Setelah berbagai sajen dan makanan serta buah-buahan diletakkan di atas Jodhangan, lalu kain Bangun Tulak di kerukupkan menutupinya.


Saturday, August 17, 2019

Tirakat




Manusia jawa (tiyang Jawi) pada saat tertentu  rela/mau dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada jalan tirakatnya.

Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.

Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari senin dan kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan Sura.

Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni).

Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya.

Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.


Bertapa ( Tapabrata )

Tapabrata dianggap oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda.

Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita  wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa
.
Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah :

1.     Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2.     Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
3.     Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4.     Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5.     Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
6.     Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan.
7.     Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
8.     Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
9.     Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10.  Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11.  Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.

Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapa pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu.

Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.


Meditasi atau Semedi

Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja.

Teknik-teknik serta latihan-latihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingga yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut.

Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil bengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat.

Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya.

Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian ( kasekten ) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta.


Saturday, August 3, 2019

Cara Masyarakat Praaksara Mewariskan Budaya





A.  Tradisi Lisan
Pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, kisah sejarah disebarluaskan dan  diwariskan secara lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi lisan mereka. Berikut ini merupakan pengertian tradisi lisan menurut para ahli :
a.  Koentowijoyo, tradisi lisan adalah sumber sejarah yang merekam masa lampau masyarakat manusia.
b.  Edy Sedyawati, tradisi lisan adalah segala wacana yang disampaikan ssecara lisan mengikuti tata cara atau adat istiadat yang telah terpola dalam suatu masyarakat.
c.   Jan Vansina, tradisi lisan adalah kesaksian yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.

Seringkali pengertian tradisi lisan dianggap sama dengan folklor, namun kedua unsur kebudayaan tersebut sebenarnya berbeda. Tradisi lisan hanya terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat praaksara, sedangkan folklor mencakup tradisi lisan yang berkembang sejak zaman masyarakat praaksara sampai saat ini.

Dengan demikian, tradisi lisan merupakan salah satu unsur dari folklor lisan. Folklor lebih luas cakupannya dibandingkan tradisi lisan. Jenis tradisi lisan meliputi cerita, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Jenis folklor mencakup semua jenis tradisi lisan, tari-tarian rakyat, dan arsitektur rakyat.

1.  Melalui Keluarga
Keluarga sebagai kesatuan kelompok terkecil dari masyarakat memiliki fungsi yang strategis dalam mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat dan mewariskan kebudayaannya. Melalui keluarga, tradisi lisan diwariskan dengan cara :
a.  Penuturan
Kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dituturkan secara langsung kepada generasi penerusnya.
b.  Cerita dongeng
Dongeng diceritakan dengan menyisipkan pesan-pesan moral dan yang dapat diambil pelajaran, serta disisipkan berbagai tradisi yang ada bila memungkinkan.
c.   Latihan dan peniruan
Keahlian dan keterampilan masyarakat diwariskan dengan cara menirukan, latihan atau praktek langsung di lapangan.
d.  Kebiasaan
Adat/kebiasaan dalam keluarga diwariskan dengan mengajak anak mengikuti suatu acara tradisi atau kegiatan tertentu secara rutin.
e.  Hasil karya
Memperlihatkan sebuah hasil karya kepada anak juga merupakan salah satu cara dalam mewariskan suatu tradisi. Tujuannya agar anak dapat membuat karya yang serupa.

2.  Melalui Masyarakat
Masyarakat sebagai media sosialisasi kedua setelah keluarga juga dapat mewariskan tradisi kepada generasi muda. Setiap masyarakat mempunyai cara tersendiri dalam mewariskan masa lalunya. Melalui masyarakat, tradisi lisan diwariskan dengan cara :
a.  Adat istiadat
Sebuah adat istiadat dapat menjadi sarana mewariskan masa lalu kepada generasi penerus. Saat ini, seringnya masa lalu yang diwariskan tidak sama karena mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman. Masa lalu tidak diambil semuanya, hanya yang dibutuhkan saja dan itu biasanya menjadi dasar yang terus dapat dikembangkan.

b.  Pertunjukan hiburan
Salah satu pertunjukan asli Indonesia adalah Wayang. Awalnya pertunjukan wayang adalah untuk mendatangkan roh nenek moyang, namun sekarang telah berubah menjadi suatu hiburan. Dalam pertunjukan wayang selalu disisipkan petuah atau petunjuk tentang suatu kehidupan masyarakat.

c.   Kepercayaan masyarakat
Pada umumnya, kepercayaan masyarakat masa praaksara berbentuk Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme. Melalui kepercayaan, sebuah tradisi dapat diwariskan sekaligus ketika manusia sedang melakukan ritual kepercayaan.

3.  Upacara Adat
Upacara adat adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu, baik aturan adat istiadat, agama, maupun kepercayaan. Adapun fungsi dari upacara adat yaitu :
a.  Ungkapan rasa terima kasih kepada kekuatan-kekuatan dalam sekitar yang dianggap sebagai ikon perlindungan dan kesejahteraan
b.  Untuk menghindarkan diri dari kemarahan kekuatan-kekuatan gaib yang dipercaya dapat terwujud berbagai malapetaka dan bencana alam

Upacara adat yang ada dalam masyarakat Indonesia biasanya berhubungan dengan upacara kematian/penguburan, mendirikan rumah, membuat perahu, memulai perburuan, dan pengukuhan kepala suku. Contoh lain dari upacara adat antara lain :
a.  Wayang
Fungsi dan peran wayang tidaklah tetap dan tergantung pada kebutuhan manusia. Pertunjukan wayang pada mulanya merupakan upacara pemujaan arwah nenek moyang. Di tempat tertentu, pertunjukan wayang menjadi bagian dari rangkaian acara bersih desa.

b.  Upacara Labuhan
Labuhan adalah upacara mengirimkan barang-barang ataupun sesaji ke tempat yang dianggap keramat, dengan maksud menolak bala untuk keselamatan masyarakat. Sebagai contoh, Labuhan dari Keraton Yogyakarta dilaksanakan di empat tempat yaitu di Parang Kusumo, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Dlepih.

c.   Gerebeg dan Sekaten
Gerebeg berarti Hari Besar. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya  tiga macam Gerebeg, yaitu sebagai berikut :
1)  Gerebeg Pasa, hari raya setelah selesai berpuasa, yakni Idul Fitri,
2)  Gerebeg Besar, hari raya untuk ber-Qurban, yakni Idul Adha,
3)  Gerebeg Maulud, perayaan hari raya maulid Nabi Muhammad SAW, yang sekarang menjadi hari peringatan ”Sekaten”.

Perayaan Sekaten pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para wali diubah menjadi menjadi Syahadatain. Upacara ini kemudian dirayakan lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram. Sampai sekarang, sekaten tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.

d.  Upacara Penguburan
Setiap daerah di Indonesia memiliki upacara penguburan yang berbeda, sesuai dengan adat istiadat atau budaya dari masing-masing suku. Contohnya yaitu upacara pembakaran mayat di Bali disebut Ngaben, sedangkan upacara pembakaran mayat di Kalimantan Tengah disebut Tiwah.

e.  Upacara Perkawinan
Pada dasarnya adat perkawinan suku di Indonesia bertolak dari anggapan masyarakat bahwa perkawinan adalah sesuatu yang luhur, bukan sekedar ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi merupakan proses menyatukan dua keluarga. Seperti halnya pada upacara penguburan, upacara perkawinan juga berragam, sesuai dengan adat istiadat atau budaya dari masing-masing suku.

B. Budaya Asli Indonesia
Dalam mempelajari kebudayaan, kita mengenal adanya tujuh unsur kebudayaan universal yang meliputi :
a.  Sistem Mata Pencaharian Hidup (ekonomi)
b.  Sistem Peralatan dan Perlengkapan Hidup (teknologi)
c.   Sistem Kemasyarakatan
d.  Bahasa
e.  Kesenian
f.      Sistem Pengetahuan
g.  Sistem Religi

Menurut Koentjaraningrat setiap unsur kebudayaan  universal  tersebut  mempunyai tiga wujud, yaitu:
a.  wujud  sistem  budaya,  berupa  gagasan, kepercayaan, nilai-nilai, norma, ilmu pengetahuan, dan sebagainya;
b.  wujud sistem sosial, berupa tindakan sosial, perilaku yang berpola seperti upacara,  kebiasaan, tata cara dan sebagainya;
c.   wujud kebudayaan fisik.

Dr. Brandes, seorang ahli purbakala, yang mengemukakan bahwa sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Budha, telah terdapat 10 (sepuluh) unsur pokok dalam kehidupan asli masyarakat Indonesia, yaitu :
a.  Mengenal Astronomi (Ilmu perbintangan)
Masyarakat Indonesia telah mengenal ilmu pengetahuan dan memanfaatkan teknologi angin musim sebagai tenaga penggerak dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Petunjuk arah dalam pelayaran :
1)  Bintang Biduk Selatan & Bintang Pari    : Arah selatan
2)  Bintang Biduk Utara                                    : Arah utara
Petunjuk dalam Pertanian :
Bintang Waluku            : Awal musim hujan
b.  Kepandaian bersawah
Sejak zaman Neolitikum bangsa Indonesia telah bertempat tinggal tetap. Kehidupan demikian mendorong mereka untuk hidup sebagai food producing. Pertanian yang awalnya dilakukan dengan sistem ladang, kemudian menggunakan sistem sawah. Untuk itu tata pengaturan air (irigasi) sudah dilakukan dengan membuat saluran atau bendungan.

c.   Pengaturan masyarakat
Dari desa-desa kuno di Indonesia dapat diketahui bahwa salah satu aturan yang dikenal adalah adanya kehidupan yang demokratis, berkelompok, dan gotong royong. Cara pemilihan pemimpin yaitu : primus inter pares. Maksudnya, yang menjadi pemimpin adalah orang yang dianggap dapat melindungi masyarakat dari berbagai gangguan, termasuk gangguan roh sehingga seorang pemimpin dianggap memiliki kesaktian lebih.

d.  Sistem Mocopat
Kepercayaan yang didasarkan pada pembagian 4 penjuru arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur. Sistem mocopat dikaitkan dengan pendirian beberapa bangunan inti yaitu; pusat kota/istana di sebelah selatan, tempat ibadah di sebelah barat, pasar di sebelah utara, penjara di sebelah timur, dan alun-alun di tengah-tengahnya.

e.  Kesenian Wayang
Wayang dimainkan seorang Dalang. Awalnya merupakan suatu ritual pemujaan yang menceritakan kisah nenek moyang. Kedatangan Hindhu ke nusantara menyebabkan kisah nenek moyang digantikan kisah Ramayana dan Mahabharata. Fungsinya pun beralih sebagai pertunjukan, bukan lagi pemujaan.

f.      Seni Gamelan
Gamelan merupakan seperangkat alat musik tradisional yang dipakai untuk mengiringi pertunjukkan wayang. Beberapa alat gamelan adalah gong, bonang, gambang, rebab, saron dan gendang.

g.  Seni Membatik
Membatik merupakan kerajinan membuat gambar pada kain. Cara menggambarnya menggunakan alat canting yang diisi bahan cairan lilin (orang Jawa menyebutnya malam) yang telah dipanaskan, lalu dilukiskan pada kain sesuai motifnya. Membatik termasuk kegiatan religius, yaitu untuk menghormati nenek moyang.

h.  Kemampuan berlayar
Pembawa kebudayaan Neolitikum masuk ke Indonesia ialah ras bangsa Austronesia yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Mereka datang ke Indonesia dengan menggunakan perahu bercadik. Kemampuan berlayar disertai dengan pengetahuan astronomi, yakni pengetahuan tentang perbintangan. Satu ciri perahu bangsa Indonesia adalah penggunaan cadik, yaitu alat dari bambu dan kayu yang dipasang di kanan kiri perahu agar tidak mudah oleng.

i.      Aktivitas perdagangan
Barang-barang kehidupan yang dibuat di rumah atau hasil panen mereka banyak, tetapi ada beberapa kebutuhan yang tidak dapat mereka penuhi atau mereka tanam; maka mereka tukar menukar barang (barter). Dengan demikian terjadilah perdagangan.

j.      Seni Logam
Masyarakat Indonesia telah lama mengetahui cara membuat peralatan dari logam. Mereka menggunakan teknik a cire perdue dan teknik bivalve. Pada zaman logam, usaha kerajinan perundagian makin berkembang.



Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...