Friday, February 19, 2021

Hak atas Tanah di Jawa pada masa Kolonial

 

VOC menganggap dirinya telah memperoleh hak kedaulatan sepenuhnya dari penguasa Mataram atas sebagian kawasan yang dikenal sebagai pesisir timur laut Jawa. Kompeni memegang pemilikan tunggal sama seperti penguasa-penguasa Mataram, dan mulai menrik sumber-sumber daya dari tanah yang dimilikinya dengan cara serupa penguasa Mataram yang mendapatkan penghasilan dari tanah dan rakyat mereka.

 

Orang Eropa umumnya menyebut sistem Jawa ini sebagai “feodal” istilah yang lazim digunakan sejak abad ke-18 hingga sekarang dan mulai memenfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri. VOC bukanlah suatu organisasi yang membawa tugas pembaruan, urusan usaha persekutuan dagang ini adalah mencari dan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

 

Sumber penghasilan utama para penguasa Mataram dan pengikutnya berasal dari tanah-tanah yang ditanami. Pendek kata, penguasa sebagai pemilik dari semua tanah berhak mengambil seluruh hasil bumi yang ditanam sekaligus orang yang bekerja di tanah ini.

 

Tanah yang terletak di sekitar istana Mataram dan penduduk yang ada diatasnya digunakan untuk keperluan mereka sendiri. Pengurus yang mengelola tanah-tanah itu mengatur pengerahan tenaga kerja dan peneyerahan hasil bumi dengan desa. Desa kemudian mengadakan perjanjian dengan masing-masing rumah tangga petani.

 

Pemberian hadiah berupa tanah untuk kerabat istana dan para pengikut diadakan diluar kawasan Negaragung yang dikenal dengan wilayah Mancanegara. Hadiah tanah apanase ini dimaksudkan sebagai penghasilan dan nafkah bagi mereka yang sesungguhnya tinggal di istana tapi meiliki pelayan yang mengurus semua tanahnya. Biasanya para penguasa melimpahkan tanah yang telah ditanami kepada anggota-anggota keluarga dan pengikut mereka, tetapi kadang-kadang menghadiahkan tanah yang belum digarap disertai perintah untuk segera membudidayakannya.

 

Pemegang tanah apanase wajib menyerahkan hasil bumi dan tenaga kerja kepada penguasa sebagai tanda patuh dan dukungan. Tanah apanase dikembalikan kepada penguasa jika si pemegang meninggal dunia, tetapi di tangan pemegangnya, tanah dan segala isinya tetap berada dibawah kekuasaannya, dia dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. 

 

Di luar mancanegara terletak pesisir dan wilayah lain yang belum digarap atau tidak lagi dibawah kekuasaan Mataram. Kawasan pesisir inilah yang disebut pesisir timur laut Jawa. Penguasa-penguasa Mataram mempunyai dua orang wedana yang diberi tugas mengawasi daerah-daerah ini, seorang untuk bagian timur dan satu lagi untuk bagian barat.

 

Tata laksana pemerintahan wilayah dibagi menjadi kabupaten-kabupaten yang dikepalai oleh seorang patih dalam berbagai tingkatan. Mereka sering berasal dari cikal-bakal keluarga yang tiggal dipesisir dan tidak jarang pula menjalin tali perkawinan dengan kalangan keluarga istana.

 

Patih yang kemudian disebut bupati, adalah penguasa wilayah yang berkewajiban menyerahkan hasil bumi dan tenaga kerja dalam jumlah tertentu kepada penguasa yang lebih tinggi. Diluar kewajiban tersebut mereka bebas mengatur wilayah yang dikuasai dengan kebijakan yang dianggap paling sesuai. Ketika daerah-daerah ini jatuh ke tangan VOC, para patih mulai mengalihkan kesetiaan akhir dan wajib setor mereka kepada VOC. Orang Eropa menamakan mereka regent, gelar bagi para pemegang kekuasaan dikota-kota besar republik Belanda.

 

VOC mengatur wilayah pesisir timur laut dari dua pusat pemerintahan, Semarang dan Surabaya, serta membuat perjanjian kontrak peneyerahan hasil bumi dan tenaga kerja dengan para bupati. Kontrak semacam ini merupakan pungutan usaha tani bagi setiap kabupaten.

 

Setiap ada dua orang bupati seperti terjadi di distrik yang besar, maka kebutuhan akan tenaga kerja dan setoran dibagi diantara mereka. Bupati sepakat menyerahkan hasil bumi tertentu semacam beras, nila, benang kapas, kayu, dll. Keempat yang telah ditentukan, memasok tenaga kuli untuk VOC setiap hari, dan membayar sejumlah uang tertentu yang biasanya dihitung dalam real Spanyol.

 

Beberapa hasil bumi diserahkan kepada VOC tanpa memperoleh imbalan apapun layaknya pajak atau upeti yang disebut kontingen, sebagian lagi disetor dengan nilai tertentu dibawah harga pasar yang disebut serah paksa. Apabila kerja rodi dibutuhkan oleh daerah yang jauh dari tempat asal, para pekerjanya sering diberi jatah makan sangat minim.

 

Diluar kewajiban ini, bupati bebas mengambil kelebihan jumlah pungutan yang harus dia setor. Sepanjang mampu menjaga ketertiban, dia dapat mengeandalkan dukungan VOC dalam mempertahankan kedudukan dan memastikannya jatuh ketangan pewarisnya. Sampai dengan tahun 1790, kontak kompeni dengan penduduk Jawa hanya terbatas dilingkar bupati dan bawahan langsung mereka. Kebanyakan orang Jawa diperlakukan sebagai kuli atau calon prajurit.

 

Bagaimanapun juga, semua pegawai VOC adalah pedagang bukan administrator pemerintahan, yang mencari berbagai peluang ekonomi untuk mencukupi keuangan mereka setelah kepentingan kompeni terpenuhi. Peluang mereguk keuntungan pribadi adalah jenis yang dibolehkan VOC seperti melebihkan berat barang, menjual sisa-sisa remah, menerima uang jasa, dll juga tidak dilarang VOC seperti peminjaman uang, pemerasan halus, penyewaan desa dan penyuapan.

 

Karena penghasilan berupa gaji nyaris tidak ada, maka lazim bagi pegawai VOC untuk mencarinya sendiri. Pegawai kompeni biasa melihat kehidupan Jawa dari atas ke bawah, memandang orang Jawa sebagai masyarakat yang dikendalikan korupsi tanpa batas dan sewenang-wenang.

 

Mereka atau setidaknya segelintir diantara mereka, justru mulai berperangi seperti itu. Umumnya memahami bahwa sebagian besar rakyat kaum petani, kuli, pengembara beras tidak mempunyai hak dan sedikit memiliki barang berharga. Orang Eropa hampir disepanjang abad ke-19 tidak begitu menghormati elite Jawa dan memandang mereka sebagai benalu, kejam, pemadat dan lalim. Namun penilain itu tidak menyurutkan langkah mereka untuk memanfaatkan elite Jawa dalam meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan rakyat kebanyakan.

 

Pegawai VOC perlahan menyadari bahwa para bupati mulai mengalami kesulitan dalam memenuhi kuota kontingen dan setoran paksa. Selisihnya makin bertambah besar dan semakin sering. Selama tahun 1790an, orang Eropa berangsur-angsur tahu bagaimana peraturan dasar  yang diberlakuakan oleh Mataram. Aturan dasar pembebanan ternyata berakar pada lahan yang ditanami dan berkaitan dengan hak-hak atas tanah ini.

 

Untuk memperoleh wawasan lebih mendalam terhadap peraturan internal pertahanan dan perpajakan masyarakat Jawa, tiada jalan lain selain mengkaji corak masyarakat ini. Dengan cara demikian orang Eropa akhirnya akan berhadapan dengan sistem cacah. Selama bertahun-tahun hal ini, bisa dimaklumi menjadi sumber dari banyak kerancuan dan kesalahpahaman bagi orang Eropa. Sistem itu sebenarnya merupakan sarana yang dapat dipakai untuk memahami hubungan antara kekuasaan dan hak atas tanah di Jawa.

 

Dalam ekonomi politik Jawa, jumlah hasil bumi dan tenaga kerja yang harus diserahkan oleh berbagai tingkatan masyarakat dihitung berdasarkan cacah. Kata cacah adalah suatu istilah penghitungan dan harus dikaitkan dengan kata lain untuk menunjukkan apa yang dihitung. Ditemukan daftar cacah paling kuno yang mengambil tanah dalam hal ini hanya lahan sawah garapan sebagai dasar perhitungan.

 

Cacah disini adalah hitungan satuan tanah. Cukup luas bagi masyarakat Jawa untuk menghidupi diri sendiri dan menyediakan hasil bumi serta tenaga kerja untuk penguasa lebih tinggi. Definisi ini membuat luas persisi tanah justru tidak pasti. Karena sejumlah ukuran telah masuk dalam catatan, maka jelas harus ada dasar bagi ukuran luas tanah. Sayangnya ukuran ini tidak mempunyai derajat ketetapan sebagaimana dikehendaki orang Eropa. Kebanyakan tanah diukur dengan panjang tombak dan lainnya dengan panjang payung.

 

Selain beraneka ragam dan berbeda satu dengan yang lain, ukuran panjang seperti itu juga sama sekali tidak seragam. Disamping itu jumlah satuan untuk menentukan luas sebidang tanah pada umumnya dikenal sebagai jung juga berbeda-beda, tergantung tingkat kesuburan dan jarak tanah dari kota-kota besar atau desa. Tanah yang semakin tidak subur dengan jarak yang semakin jauh dari pusat pemukiman penduduk, jung akan semakin luas. Akhirnya tidak ada kesesuaian tentang jumlah cacah yang terkandung dalam setiap jung.

 

Pada umumya disebutkan bahwa satu jung di Vorstenlanden mengandung empat cacah, dan dua cacah didaerah pesisir, tetapi disini dijumpai beberapa variasi. Satu jung di Vorstenlanden pada abad ke-18 dibagi menjadi lima bagian yang sama. Seperlima bagian untuk menghidupi penguasa setempat, sementara separuh dari empat bagian tersisa diberikan kepada penguasa serta pengikutnya dan separuh lagi untuk mencukupi keperluan sehari-hari.

 

Cacah adalah satuan perkiraan nilai suatu kawasan tertentu yang kemudian digunakan untuk menetapkan nilai dari suatu tanah apase atau hadiah tanah yang bisa menghasilkan pendapatan. Dalam kaitan ini cacah bisa dikatakan lebih dari sekedar sebidang tanah. Cacah adalah sebidang tanah garapan dengan rumah tangga berada diatas tanah ini.

 

Tanah di Jawa amat berlimpah, tetapi tenaga kerja yang menggarap tidak mencukupi. Oleh karenanya tidak perlu heran jika rumah tangga dan tenaga kerja yang tersedia dianggap jauh lebih penting ketimbang tanah. Kini kita mendapatkan acuan cacah kerja. Sekarang cacah dapat digambarkan sebagai satuan produksi, dimana suatu rumah tangga menggarap tanah-tanah tertentu, menyerahkan sebagian dari hasil panen tanah ini kepada penguasa lebih tinggi, dan melaksanakan tugas-tugas pelayanan apabila diminta.

 

Orang Eropa lambat laun menyadari bahwa apa yang dimaksud dengan rumah tangga tidak dapat begitu saja ditafsirkan sebagai keluarga inti yang terdiri dari empat atau lima orang. Jumlah rumah tangga cacah jarang sekecil itu. Rumah tangga cacah sering berisi sepuluh sampai dua puluh orang, dan kadang-kadang mencapai lima puluh orang. Ini sungguh merupakan satuan produksi yang amat besar. Karena orang Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad 19 sering menyamakan cacah dengan keluarga sebagaimana makna kata yang dipahami dan kemudian menaksir jumlah penduduk dibeberapa daerah terlihat lebih rendah dibanding jumlah sebenarnya.

 

Setiap kabupaten di Jawa ditentukan harus memuat sejumlah cacah tertentu. Beberapa kabupaten misalnya Demak, mempunyai banyak cacah sementara kabupaten-kabupeten lain seperti Jepara, hanya mempunyai sedikit cacah. bupati suatu kabupaten yang memiliki banyak cacah dan penduduk jelas lebih kuat daripada bupati yang hanya mempunyai sedikit cacah dan penduduk.

 

Jumlah cacah menentukan berapa banyak pajak hasil bumi, kerja dan uang akan disalurkan kepada kekuasaan tertinggi, selain itu juga menentukan kekayaan potensial bupati.  Kekayaan seorang bupati bertambah banyak bila dia berhasil menarik penduduk masuk ke daerahnya.

 

Cacah digunakan sebagai dasar pemberian imbalan untuk semua pejabat dan para pengikut disetiap kabupaten. Tampak jelas bahwa bupati menguasai bagian tanah lebih besar untuk dirinya sendiri dan membagi-bagikan tanah sisanya kepada para bawahannya dengan ukuran semakin mengecil mulai dari patih sampai prajurit, juru tulis, dan pekerja perorangan.

 

Masing-masing dituntut untuk mencukupi kebutuhan hidup sendiri dengan hasil bumi dan tenaga kerja dari cacah yang diberikannya. Karena cacah perorangan kebetulan tidak selalu berkelompok di suatu tempat yang sama, maka orang yang diserahkan beberapa cacah sering membutuhkan personil tambahan untuk memungut hak-haknya. Setiap pemegang cacah, apapun kedudukannya diminta untuk menyerahkan sejumlah pajak tertentu dan tentu saja melayani para bupati.

 

Setelah mengamati dengan cermat kebiasaan ini, VOC memasukkan cacah sebagai salah satu penilaian tetap dalam bentuk uang tunai terhadap para bupati dibawah kekuasaannya. Pada awal abad ke-19 uang yang dianggap sepadan dengan cacah dimasukkan sebagi pajak rumah tangga dan kemudian diganti menjadi pajak kepala.

 

Pemegang cacah adalah tanggungan bupati atau pejabat tinggi lainnya. Cacah akan diberikan kepada orang lain apabila pemegang cacah tidak sanggup memenuhi kewajiban atau kalau dia meninggal dunia. Pemegang cacah diharapkan menggunakan tenaga kerja dan memungut hasil bumi dari cacah yang diserahkan kepadanya. Jadi, disini terjadi titik temu antara menejemen dengan satuan produksi sebenarnya.

 

Pemegang cacah dalam beberapa hal bisa saja seorang kepala rumah tangga satuan produksi yaitu petani kaya. Dalam fungsi yang terkait dengan kakuasaan lebih tinggi ini, dia menjadi patron dari satuan produksi dan klien dari penguasa yang lebih tinggi. Dalam kasus lain, seorang pemegang cacah bisa berasal dari orang luar yang berhasil menguasai cacah dan sekarang mencoba mengkeduk hasil bumi dan memeras kerja cacah sebanyak mungkin. Dia tidak mempunyai urusan dengan petani yang menggarap tanah tetapi dengan seseorang di desa yang akan mengatur satuan produksi itu.

 

Warga desa yang dipilih dari kelompok inti dan bertugas membagi-bagikan tanah kepada petani penggarap adalah kepala desa. Sebagai seorang kepala desa dai berhak menentukan cara-cara pembagian tanah dibeberapa desa hal ini merupakan peristiwa tahunan dan siapa yang akan melaksanakan corvee.

 

Kelompok warga desa inti dalam arti tertentu adalah patron dari satuan produksi karena mereka ini menguasai orang-orang sebenarnya menggarap tanah. Kawasan yang dihuni penduduk sering sangat kecil, beberapa diantaranya didiami satu cacah, tetapi ada pula yang dihuni ratusan penduduk dengan dua sampai tiga cacah.

 

Kepala dari satuan produksi terikat dalam seperangkat hubungan tertentu dengan para pemegang cacah. seperti halnya kepala satuan produksi berusaha memperkecil jumlah hasil bumi dan tenaga kerja yang diminta dari mereka, para pemegang cacah berusaha memperbesar penghasilan yang akan diterima.

 

Pegawai VOC memaklumi sistem cacah memiliki sejumlah kelemahan, tetapi ragu-ragu untuk membenahi sistem ini. Kompeni tampak masih berpegang teguh pada kebiasaan lama untuk tidak melibatkan diri dengan urusan rumah tangga setempat selama pihaknya tidak memperoleh hasil bumi dan pelayanan kerja yang diinginkan. Namun menjelang akhir abad ke-18 para pejabat VOC mulai merasa bahwa kompeni tidak lagi memperoleh apa yang seharusnya menjadi hak mereka.

 

Penduduk di kawasan timur laut Jawa, khususnya disekitar bandar-bandar pelabuhan besar dan kota-kota karesidenan terlihat tumbuh dengan pesat. Tanah-tanah yang digarap juga bertambah luas. Namun jumlah cacah yang ditugaskan oleh setiap kabupaten tetap tidak berubah dan selalu disesuaikan dengan tradisi.

 

Tampaknya tidak seorangpun yang tahu kapan jumlah cacah diperbaiki terakhir kalinya, sebab daya ingat seseorang tidak ada yang sampai sejauh itu. Tidak diketahui pasti apakah para bupati menyadari atau tidak dengan perbedaan itu dan memungut penghasilan lebih besar daripada yang dilaporkan, tetapi mungkin sekali mereka mengetahuinya. Salah satu sebab kegelisahan adalah makin besarnya tunggakan para bupati dalam hal setoran hasil bumi.

 

Kebutuhan akan uang yang semakin besar, untuk menyangga gaya hidup yang kian meninggi, mendorong mereka menyewakan seluruh tanah desa kepada orang Cina agar bisa mendapatkan pembayaran tunai dengan segera. Sekali desa-desa mengabdi sepenuhnya pada tuntutan dan keinginan tuan tanah Cina, mereka tidak bisa lagi menyetorkan kuota contingenten. Hasil bumi yang dibutuhkan VOC sekarang harus ditarik dari desa-desa yang jumlahnya semakin sedikit dengan akibat beban yang ditanggung desa-desa ini semakin besar.

 

Mengikuti perilaku para bupati, para pejabat lainnya juga memperoleh uang pengganti hasil bumi dari cacah, memberikan keleluasaaan lebih besar dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Gagal menyetor hasil bumi menempatkan para bupati dan pemegang cacah dalam posisi sebagai pembeli hasil bumi yang seharusnya disetorkan kepada VOC dipasar bebas, suatu pasar yang justru makin dikuasai orang Cina.

 

Sekitar akhir abad 18, banyakpara bupati pesisir timur laut jatuh dalam perangkap utang pribadi yang makin membengkak, mengendornya kuasa mereka terhadap sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menopang kedudukan ekonomi dan sosial mereka. Dan memasuki pusaran defisit tanpa berujung dalam setora wajib kepada kompeni sehingga mereka bersedia menerima segala rencana yang dapat menjamin mutu atau menyelamatkan kelangsungan hidup kelak dikemudian hari.

 

Pegawai VOC khususnya yang berada ditingkat atas, semakin berminat memperluas basis perekonomian kawasan pesisir timur laut Jawa sekitar tahun 1790. Laporan yang disusun untuk penggantinya pada tahun 1796 sarat dengan berbagi gagasan mengenai bagaimana memperkenalkan penanaman nila, kopi dan tebu.

 

Sementara orang yang akan menggantikannya sebagai gubernur pernah menjabat residen di istana Kasunanan, seorang pejabat yang telah lama terlibat dalam perluasan penanaman tanaman lada didaerah Pacitan berdasarkan perjanjian sewa menyewa tanah.

 

Wirausahawan ketiga, yang juga sangat terkenal dengan gagasan radikalnya adalah Dirk van Hogendorp. Ketika bertugas di Jepara, dia membuka sebuah pabrik penggilingan gula modern yang dianggap keajaiban pada waktu itu. Jenis kewirausahaan semacam itu memang sangat didukung oleh VOC yang tetap menguasai hasil bumi, seraya memperbolehkan pegawai kompeni mencari dan mengeruk keuntungan ptibadi.

 

Laporan yang disampaikan pada tahun 1798 memuat sejumlah kebijakan tingkat tinggi yang bunyinya hampir mirip dengan rencana yang kelak diutarakan oleh van Den Bosch sekitar 30 tahun kemudian. Namun Nederburgh juga mencantumkan beberapa rencana untuk memperkuat posisi keuangan VOC dengan memperbarui administrasi dan memberlakukan ambtsgeld terhadap pegawai kompeni. Langkah sangat tidak populer ini menyeret dia masuk kedalam konflik pribadi dengan Dirk van Hogendorp yang menghasilkan polemik terkenal tentang  perekonomian pasar bebas berhadapan dengan perekonomian yang dikendalikan pemerintah di Jawa.

 

Semangat ekspansionis ini jelas membutuhkan banyak informasi mendasar tentang bagaimana hubungan di Jawa sesungguhnya berfungsi tanah hanya merupakan salah satu aspek yang diselidiki, tetapi justru inilah yang menjadi pusat perhatian kita disini. Metode untuk mendapatkan informasi adalah lewat daftar pertanyaan, corak yang biasa dipakai sepanjang periode sampai dengan tahun 1816, ketika berbagai laporan penyelidikan dan pernyataan mengenai sistem yang disusun berdasarkan konsep teori-teori sosial ekonomi sudah menjadi suatu kelaziman.

 

Pengumpulan informasi dengan corak semacam ini jelas menunjukkan bahwa administrasi tertinggi sangat membutuhkan informasi tentang bagaimana cara sebaiknya menyesuaikan sistem Jawa dengan kebutuhan kompeni dalam memperoleh tenga kerja dan komunitas yang dapat diekspor. Seseorang yang kebetulan berada di puncak hirarki kekuasaan kompeni gubernur jenderal. Daftar pertanyaan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Jawa atau melayu dan dikirim kepada pejabat Jawa. Jawaban tertulis dihimpun dalam sebuah laporan yang akan dikembalikan kepada pihak yang minta keterangan.

 

Meskipun beberapa jawaban diisi sembarangan, sebagian lagi merupakan risalah penting yang menyoroti banyak aspek kehidupan Jawa. Semua laporan itu bersikeras mengakui bahwa raja adalah pemilik semua tanah. Para pejabat dan pemegang cacah dipandang sebagai pemilik sementara yang bebas mengatur apa saja yang diinginkan, tetapi tanah bukanlah milik mereka yang  dapat dijual begitu saja.

 

Kaum tani, penggarap tanah yang sesungguhnya, mempunyai hak untuk menggunakan tanah. Dia berhak memperoleh sebagian dari hasil produk kerjanya setelah membayar pajak dan menyerahkan tenaga.

 

Di beberapa daerah, dia menerima imbalan atas usaha perbaikan yang dilakukannya apabila tanah dialihkan kepada orang lain, tetapi hal ini bukan sama sekali penjualan tanah. Pemilik cacah dan warga desa inti sesungguhnya yang memegang hak penguasaan, bukan pemilikan, sebagian besar tanah garapan yang dikerjakan untuk mereka oleh para klien yang hak-haknya hampir tidak ada. Jika sebidang tanah baru dibuka untuk ditanami, pihak penanam dibebaskan dari pajak untuk jangka waktu tertentu, setelah itu dijadikan bagian tanah dari milik desa dan diberlakukan sama seperti tanah desa pada umumnya.

 

Tanah-tanah semacam itu biasanya digarap oleh petani dan keluarga yang sama, seandainya tanah yang ada tidak cukup untuk sejumlah orang, pajak tanah ini akan digilir setiap tahun. Penguasaan tanah biasanya disertai dengan kewajiban melaksanakan corvee untuk penguasa yang lebih tingi. Diluar keharusan menyetor hasil bumi dan tenaga kerja, para pemegang maupun bukan pemegang tanah menjadi sasaran wajub pajak dan pungutan yang tak terbilang banyaknya.

 

VOC mempunyai banyak alasan untuk menganggap diri sebagai pemilik tanah Jawa. Setelah memperoleh hak-hak berdaulat dari para penguasa Mataram, sedikit alasan bagi kompeni untuk tidak memanfaatkan tanah sesuai dengan kepentingan sendiri yang dianggapnya terbaik. Penggunaan tanah pada pokoknya berjalan dua arah. Pertama, VOC mendorong untuk mengadakan perjanjian menanam tanaman dagang ekspor seperti tebu, kopi, nila, lada, serta kapas, dan jika perlu menyewakan seluruh desa epada pihak yang dipandang dapat meningkatkan hasil komoditas ini.

 

Pihak yang dimaksud biasanya orang-orang Cina atau Eropa. Dalam kejadian-kejadian sebelumnya, para bupati jawa dianggap bisa menjalankan fungsi semacam itu, tetapi mereka tampak kurang terampil dalam mengawasi mutu tanaman dagang dibanding orang Cina atau orang Eropa. Langkah pembuka VOC berikutnya adalah menjual tanah-tanah langsung kepada pihak swasta, lagi-lagi orang Cina atau Eropa, meskipun disana-sini ada sedikit contoh pemilik tanah orang Arab.

 

Jawa yang makin terisolasi tentunya menyulitkan VOC dalam memenuhi kewajiban lokalnya. Penjualan tanah terutama dipakai untuk mengisi kas pendapatan Kompeni. Penjualan tanah yang selama itu dijalankan dibatavia sekarang diperluas ke seluruh Jawa, terutama disekitar kota-kota besar dipesisir timur laut Jawa.

 

Baik Daendels maupun Raffles juga menjual tanah untuk memenuhi kebutuhan akan uang tunai yang dirasa amat mendesak. Perkebunan besar swasta semacam itu sering mempertahankan kaum tani dan tanah-tanah yang ditanami dalam batas wilayah mereka.

 

Gaya hidup kaum tani sendiri tetap tidak terusik, tetapi sekarang mereka wajib menyerahkan upeti dan pajak dalam jumlah tertentu kepada pemilik tanah swasta yang baru, sementara kewajiban corvee tetap terus menerus diberikan kepada pemerintah. Pemerintah, baik dalam hal penyewaan maupun penualan tanah, mulai melibatkan diri lebih jauh kedalam masalah hak-hak atas tanah di Jawa.

 

Raffles mewakili pemerintah Inggris ketika mengambil alih kekuasaan atas Jawa pada tahun 1811. Dia memandang hak-hak atas tanah di Jawa dengan sudut pandang sama sekali berbeda. Raffles banyak dipengaruhi oleh tata cara penyelesaian tanah di India semasa pemerintahan Lord Cornwallis.

 

Raffles adalah seorang yang sangat percaya pada hak-hak penguasa atas kepemilikan tanah dan terhadap prinsip pajak tanah tetap sebagai sumber utama penghasilan pemerintah. Laporan komisi penggunaan tanah Mackenzie yang ditugaskan oleh Raffles mencari suatu aturan yang dapat menjamin pemanfaatan tanah sebagai pengganti sistem monopoli VOC menegaskan fakta bahwa penguasa atau raja di Jawa dianggap pemilik semua tanah.

 

Hanya di Jawa Barat, khususnya daerah Banten kepemilikan tanah tetap berada ditangan perorangan. Daerah Probolinggo di Jawa Timur kelihatannya juga memberlakukan hak-hak individual atas tanah, tetapi penguasaan atas tanah disini ternyata disebabkan oleh penyerahan daerah ini kepada seorang Cina yang telah memperkenalkan suatu sistem pemanfaatan tanah tetap dan berjalan baik sehingga kemudian dianggap sebagai suatu adat istiadat setempat.

 

Jika tanah hendak dijadikan dasar bagi penghasilan pemerintah lewat pajak atau sewa, maka beberapa ketentuan yang dibuat harus bisa menempatkan pajak dalam hirarki sosial ekonomi, yaitu siapa yang dianggap sebagai pemilik yang harus menanggung pembayaran sewa.

 

Raffles membuat tiga macam ketentuan berbeda mengenai masalah itu hanya dalam rentang waktu tiga tahun (1812-1814). Pertama dia menganggap bahwa kepala supradesa adalah pemilik tanah, kemudian memutuskan bahwa desa, khususnya kepala desa, adalah pihak yang harus membayar sewa kepada pemerintah dan akhirnya menetapkan bahwa penyelesaian pembayaran sewa harus dilakukan oleh masing-masing individu penanam.

 

Bekas pemegang tanah apanase, penyewa desa, dan pemegang cacah yang menguasai hak tersebut adalah pihak-pihak yang pertama kali dipikirkan oleh Raffles sebagai pemilik tanah.

 

Beberapa orang pemegang cacah adalah anggota inti kelompok desa, sehingga pilihan kedua Raffles yang menaruh penyelesaian pembayaran sewa ditangan kepala desa tidak revolusioner sama sekali. Tetapi keputusannya yang ketiga dan terakhir dengan menempatkan penyelesaian sewa disetiap individu penggarap adalah sesuatu yang benar-benar berada diluar tata aturan Jawa. Dalam praktik, gagasan Raffles mengenai hak-hak atas tanah diperkenalkan terlalu dini sehingga segera terasa dampaknya. Akibatnya timbul kekacauan luar biasa.

 

Seandainya pemerintah Belanda yang dipulihkan pada tahun 1816 memutuskan dengan sadar untuk mengikuti semua rencana Raffles dengan melakukan sejumlah perbaikan pengaruh jangka panjang dan menentukan konsep Raffles mungkin tidak akan pernah terjadi. Terbukti kemudian bahwa pemerintah Belanda mengambil keputusan untuk mempertahankan sewa tanah dan menetapkan penyelesaian pada desa.

 

Pada hakikatnya ini berarti dan kepala desa memikul peran administratif sama sekali berbeda dibanding sebelumnya. Kelak muncul anggapan bahwa desa merupakan entitas otonom yang bebas mengatur urusannya sendiri dan berkuasa penuh atas tanah desa. Namun tidak ada bukti yang mendukung pernyataan itu, baik pada masa sebelum pemerintahan Raffles maupun pada masa awal pemerintahan Belanda yang baru dipulihkan.

 

Sering dikatakan bahwa Raffles adalah orang yang menemukan desa Jawa. Hal ini bukan berarti desa tidak ada sebelum zaman Raffles, tetapi yang dimaksud adalah Raffles dan pemerintah Hindia belanda yang dipulihkan merupakan pihak yang menemukan peran administratif baru bagi desa. Dari sini akan tumbuh beberapa faktor sosial ekonomi baru yang menempatkan desa kembali ke dalam hubungan kuasa ekonomi kolonial di Jawa.

 

Perubahan yang dibawa oleh Raffles sama sekali tidak didasarkan pada informasi baru tentang sifat mendasar masayarakat Jawa. Perubahan yang diperkenalkannya juga tidak didasarkan pada suatu sistem pengumpulan data mengenai hak-hak atas tanah yang telah diperbarui.

 

 

No comments:

Post a Comment

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...