Friday, May 15, 2020

Tentang KEJAWEN



Mari kita mengutip satu tembang Jawa :

Tak uwisi gunem iki                          saya akhiri pembicaraan ini
Niyatku mung aweh wikan              saya hanya ingin memberi tahu
Kabatinan akeh lire                          kebatinan banyak macamnya
Lan gawat ka liwat-liwat                  dan artinya sangat gawat
Mulo dipun prayitno                       maka itu berhati-hatilah
Ojo keliru pamilihmu                        Jangan kamu salah pilih
Lamun mardi kebatinan                  kalau belajar kebatinan

Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta) ( jumbuhing kawula Gusti ) / pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.

Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.

Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti : hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti,  kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional  yang berusaha memahami dan mencari makna dan  hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai.

Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham yang menggunakan lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran manusia kearah pemahaman terhadap suatu hal secara lebih dalam.

Manusia mempergunakan simbol sebagai media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia itu selanjutnya.

Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang berberda-beda.

Biasanya sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti wilayah di sebelah barat-nya bukan wilayah pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya “saiyeg saekoproyo “ yang berarti sekata satu tujuan.

Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka.

Kejawen adalah paham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.

Tindakan tersebut dibagi  tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.

Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal.

Tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit. Warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang. Budaya Jawa kini mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan.

Maka orang mulai berfikir bagaimana membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut.

Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah. Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya paham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa.

Simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme.


Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.

Sembah Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:
Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton

Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku).

Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu).

 Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup.

Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.

Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.


Sembah Cipta ( Kalbu )
Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut :
Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang momong.

Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan dalam hati, kalbu berarti hati, maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan.

Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).


Sembah Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:
Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa sutengong

Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah.

 Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut :
Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota.

Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan.

Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.

Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu.

Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono.”


Sembah Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.

Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh.

Alat batin ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).

Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.

Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut :
Semongko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur / sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing batos.

Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju.

Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.

Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.

Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait 156.

Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut :
Iku luwih banget gawat neki / ing rarasantang keneng rinasa / tan kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening / sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.


Friday, May 1, 2020

Lepasnya Timor Timur dari NKRI


A. Sejarah Penjajahan Timor Timur
Sejarah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) berawal dengan kedatangan suku atau orang Australoid dan Melanesia. Pada abad ke-16,  bangsa Portugal datang ke Pulau Timor ini (1508), pertama oleh Frei Antonio Taveiro dalam misi Evangelisasi Agama Katolik yang disertai pedagang-pedagang Portugis dan angkatan laut Portugis tempo dulu untuk berdagang rempa-rempa, lilin dan kayu cendana pada awalnya dan akhirnya menjajah wilayah itu dari tahun 1508-1975.

Sejak dulu Timor Timur selalu menjadi wilayah jajahan. Dahulu Timor Timur merupakan wilayah jajahan Portugis dan sempat pula menjadi daerah jajahan Belanda. Dari dulu sampai tahun 2002, Timor Timur selalu berada dibawah pemerintahan suatu negara.

Berawal dari kedatangan Portugis pada tahun 1515 dan sejak tahun 1700-an eksploitasi kekayaan alam Timor Timur pun dimulai. Masyarakat Timor Timur pada akhirnya berhasil mengusir tentara Portugis pada tahun 1912. Pada masa Perang Dunia ke-2, Timor Timur bahkan pernah diokupasi oleh tentara Australia dan Belanda untuk digunakan sebagai daerah aman untuk berlindung meskipun Portugis berkeberatan atas hal ini.

Tahun 1942 sampai September 1945, pemerintah Jepang datang untuk menginvasi dan mengeksploitasi kekayaan daerah tersebut. Sejak itu Portugis berusaha membangun kembali Timor Timur namun perkembangannya sangat lamban.

Perubahan besar terjadi pada tahun 1974, saat itu Portugis berada dalam proses transisi menuju demokrasi, hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya dengan memperbolehkan rakyat Timor untuk mendirikan partai politik. Dengan kebijakan baru dari pemerintahan Portugis maka berdirilah 2 partai di Timor Timur yaitu, Uni Demokrat Timor (UDT) dan Frente Revolucionara Do Timor Leste Independente (Fretilin).

Berbagai peristiwa terjadi sejak ke-2 partai ini terbentuk. Tanggal 11 Agustus 1975, dengan dukungan dari pemerintah Indonesia, UDT melakukan kudeta untuk merebut kekuasaan dari Portugis dari Fretilin. Ketika keadaan menjadi kacau, anggota UDT pergi ke Timor bagian barat dan pemerintahan Portugis pun meninggalkan Dili, dengan keadaan seperti ini Fretilin lah yang menguasai Timor Timur.
               
Dengan Fretillin yang memegang kuasa atas Timor Timur, pada 28 November 1975, partai tersebut mendeklarasikan berdirinya Republik Demokrat Timor Leste. Kejadian tersebut membuat keadaan di Timor Timur menjadi kacau, kemudian pemerintah Indonesia berusaha membantu meredakan ketegangan dan kekacauan yang ada dengan mengirimkan tentaranya. Ketika itu diperkirakan 60.000 orang menjadi korban atas kekacauan tersebut.

Tanggal 30 November 1975, rakyat Timor Timur atas kehendaknya sendiri, menyatakan keinginannya untuk berintegrasi dengan Indonesia dalam Deklarasi Balibo. Keinginan ini dipenuhi oleh pemerintah Indonesia dan diperkuat melalui Undang-Undang No. 7/1976 dan Ketetapan MPR No. 6/1978. Sejak itu, Timor Timur pun menjadi bagian dari Indonesia, meskipun masih dirasakan sebagian masyarakat masih belum terbiasa dengan integrasi tersebut.

Deklarasi tersebut berisi tanda tangan sejumlah wakil rakyat Timor Timur yang menyatakan bahwa mereka ingin bergabung menjadi bagian dari NKRI. Meskipun dikatakan hal tersebut merupakan keputusan rakyat Timor Timur untuk berintegrasi, namun tetap ada beberapa pihak yang menyangsikan hasil dari konferensi ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak menganggap proses integrasi Timor Timur dengan Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Balibo dan Undang-Undang, sebagai sesuatu yang sah.

PBB tetap menganggap Timor Timur sebagai wilayah persemakmuran Portugis dan pada akhirnya dianggap sebagai wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri dan belum melaksanakan hak menentukan nasib sendiri. Keputusan untuk berintegrasi tersebut dianggap sebagai keinginan Indonesia saja, bukan sebagai kehendak rakyat Timor Timur.

B. Propaganda Uskup Belo
Propaganda sejumlah tokoh Katolik, seperti Markus Wanandi (adik kandung Shofyan Wanandi), khususnya Uskup Belo, berbuah manis dengan pemberian Hadiah Nobel untuk Belo pada 1996.

Provokasi bertahun-tahun oleh Belo, mendapat simpati dari Dunia Barat, seolah-olah terjadi Islamisasi besar-besaran di Tim-Tim, bahkan orang Islam melakukan Genocida alias pembasmian besar-besaran, dimulai dengan pelanggaran Berat HAM oleh ABRI.

Dunia Barat yang amat Phobia terhadap Islam menyambut hangat fitnah dan provokasi Belo itu, apalagi yang jadi korban adalah Katolik. Dan dengan “Heroik” ketika itu Belo seolah-olah menjadi korban “kebiadaban” Islam dan harus melarikan diri ke luar negeri mulai ke Australia, kemudian keliling ke sejumlah negara di Eropa, dan berceramah tentang jahatnya orang Islam yang menjarah Tim-Tim, sekaligus mememaksakan Islamisasi.

Menurut data dalam buku Singh tercatat penduduk Tim-Tim pada 1940 orang beragama Katolik berjumlah 29.889 orang atau sekitar 8,0%. Tahun 1974 penganut Katolik di Tim-Tim meningkat menjadi 202.850 orang atau 29,4%, dan meningkat drastis pada 1994 menjadi 722.789 orang atau 92,3%.

Padahal jumlah orang Islam menurut catatan Singh, pada 1974 adalah 5.000 orang dan pada 1994 hanyalah 48.000 jiwa saja. “Jika pandangan yang berimbang dan obyektif berdasarkan data ini diambil, maka tidak ada dasar apapun untuk menuduh bahwa Indonesia atau ABRI melakukan Islamisasi di Tim-Tim,” ujar Singh.

Alhasil tuduhan Islamisasi itu jelas fitnah yang amat keji. Data di atas membuktikan kebohongan isu Islamisasi di Tim-Tim. Dengan telak Bilveer Singh menyanggah hal itu setelah melakukan riset yang mendalam di Tim-Tim.

Menurut Bilveer Singh, yang terjadi malah sebaliknya : Katolikisasi di Tim-Tim. ”Jadi ‘alih-alih’ Islamisasi, Tim-Tim justru mengalami Katolikisasi dan ini hanya membuat kita pertama-tama ingin tahu apakah ketakutan akan Islamisasi hanyalah kedok untuk menutupi Katolikisasi besar-besaran yang telah dan berlangsung di Tim-Tim.

C. Keputusan “Besar” Habibie
Berakhirnya masa Orde Baru dan berawalnya era reformasi, membuat rakyat mengajukan berbagai tuntutan kebebasan. Rakyat Timor Timur pun ketika itu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menuntut otonomi daerah khusus atau luas.

Tuntutan ini kemudian direspon Habibie melebihi apa yang dituntut rakyat Timor Timur dengan mengeluarkan referendum opsi merdeka. Keputusannya ini tidak hanya dipertanyakan, bahkan sampai dikecam oleh berbagai kalangan. Tanggal 29 Januari 1999 itu merupakan hari yang menentukan bagi rakyat Timor Timur.

Banyak pihak yang mengecamnya, bahkan ada yang berspekulasi bahwa Habibie ingin meraih hadiah Nobel Perdamaian atas keputusannya mengenai Timor Timur.

Dari sekian banyak sepak terjang kontroversialnya, kasus lepasnya Timor Timur agaknya menjadi suatu keputusan fatal bagi seorang presiden yang sesungguhnya telah bersumpah dan berkewajiban mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang sangat sulit untuk dimaafkan secara politik.

Sebenarnya keputusan habibie mengenai opsi merdeka pada wilayah Timor Timur tidak sepatutnya disalahkan sepenuhnya. Selama ini pemerintahan Indonesia telah berada di bawah rezim Soeharto selama hampir 32 tahun, di masa itu segala tindakan yang dianggap membahayakan rezim yang berkuasa langsung ditindak tegas oleh hukum.

Segala sesuatu dikontrol secara berlebihan, sehingga kebebasan berpendapat menjadi hal yang langka dan sangat berharga. Berbagai aktivis yang menentang pemerintah langsung ditindak secara hukum dengan sangat tegas, sementara pada masa Orde Baru praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental dalam setiap sendi pemerintahan.

Pada masa itu, masyarakat berada pada kesenjangan sosial yang sangat parah. Orang yang kaya semakin kaya, dibantu relasi yang kuat dengan campur tangan pemerintah, dan yang miskin seperti tidak diberi peluang untuk memperbaiki kehidupan.

Dalam situasi transisi era pemerintahan tersebut, muncul tuntutan rakyat Timor Timur atas peluasan otonomi daerahnya. Dengan berbagai tekanan yang datang, bahkan dari dunia internasional, Habibie diharapkan memberi keputusan yang bijaksana. Akhirnya setelah mempertimbangkan segala aspek yang ada, ia mengeluarkan referendum yang berisi opsi merdeka bagi rakyat Timor Timur.

Dilihat dari satu sisi, keputusan Habibie atas tuntutan Rakyat Timor Timur tersebut memang fatal. Setelah bertahun-tahun berbagai pihak yang bergerak atas nama Indonesia berusaha untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan negara ini, keputusannya memang terlihat seperti menganggap remeh segala yang telah diusahakan.

Layaknya, dengan mudahnya ia seperti memberi jalan salah satu provinsi NKRI ini untuk merdeka. Bahkan TNI mengemukakan kekecewaannya secara terbuka atas keputusan itu. Hal ini dikarenakan TNI selama ini berusaha meredam gerakan-gerakan separatis secara langsung, sementara pemerintah melakukannya melalui jalan diplomasi.

Masyarakat luas pun melakukan demonstrasi atas hal ini, menyatakan tanda tidak setuju dan menuntut Habibie agar tidak melepaskan Timor Timur apapun yang terjadi. Habibie kemudian merespon tuntutan ini dengan mengeluarkan refendum.

Begitu banyak pihak yang kecewa dan mengecamnya atas keputusan tersebut. Meskipun ia berhasil melaksanakan pemilu yang cukup demokratis pada tahun 1999, dampak atas keputusannya mengenai Timor Timur mengalami puncaknya ketika pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak dalam Sidang Umum MPR.

Bila kita melihat keputusan Habibie tersebut dari sudut pandang lain, dapat dimengerti bahwa sebenarnya Habibie hanya ingin menghilangkan tekanan dari dunia internasional terhadap Indonesia.

 Dunia internasional dan PBB menekan Indonesia dengan anggapan bahwa Indonesia memaksakan kehendak atas keputusan integrasi Timor Timur terdahulu. PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk segera memberikan solusi terbaik bagi masalah Timor Timur.

Dalam situasi yang mendesak tersebut, Habibie mengeluarkan referendum bagi rakyat Timor Timur dengan 2 pilihan, tetap bergabung dengan NKRI dan diberi otonomi daerah luas atau memisahkan diri dari NKRI dan merdeka. Habibie mengeluarkan referendum tersebut dengan keyakinan bahwa rakyat Timor Timur akan memilih untuk tetap bergabung bersama Indonesia.

Selain itu, motivasi lain yang mendorongnya memberi keputusan penting seperti itu adalah agar masyarakat dunia dan PBB dapat melihat dengan jajak pendapat yang dilakukan bahwa rakyat Timor Timur memang masih berkeinginan untuk menjadi waraga negara Indonesia. Ia berharap, dengan begitu dunia internasional dan PBB dapat menerimanya dengan baik agar Indonesia tidak terus ditekan sebagai negara yang hanya menginvasi Timor Timur semata.


D.  Sejarah Kelam Para Pejuang Integrasi
Sejarah Tim-Tim tak pelak merupakan sejarah hitam bagi NKRI, sekaligus catatan kelam bagi umat Islam yang telah difitnah habis-habisan. Sejarah dengan terang benderang justru mencatat Indonesia didorong oleh Barat khususnya Amerika Serikat dan Australia untuk masuk (menganeksasi) Tim-Tim dengan dalih integrasi guna membendung Komunisme.

Sejarah pula kini mencatat bagaimana Barat, tanpa malu-malu, khususnya Australia dan Amerika Serikat. memprakarsai rekayasa kemerdekaan Tim-Tim yang kini berubah menjadi Timorleste.

Bagi pahlawan-pahlawan integrasi, seperti Prabowo dan puluhan jendral lainnya, termasuk Pahlawan yang tergabung dalam Kelompok Seroja, sejarah hitam Tim-Tim kini dikenang amat pedih dan  menyakitkan. Ketidak-adilan Barat menjadi sumber malapetaka di Tim-Tim.

Teringat pada pertengahan 1970-an dikerahkan ribuan sukarelawan melalui pangkalan Iswahyudi Madiun, dan sebagian gugur. Korp Baret Hijau di Kudus, konon bahkan tidak satu pun yang selamat, tewas dibantai Fretilin yang menembaki pasukan itu saat mendarat dengan parasut (pelanggaran konvesi Perang Jeneva).

Kenangan pahit juga diderita umat Islam yang pernah berkiprah di Tim-Tim. Ada yang asli penduduk Tim-Tim, ada juga umat Islam pendatang. Betapa mengerikan mengenang, mereka dijadikan sasaran fitnah ketika itu.

Masjid-masjid di berbagai kota di Tim-Tim terus dibakar pada 1990-an. Umat Islam pun tunggang langgang melarikan diri. Catatan laporan ini sekadar mengungkap kejahatan golongan Nasrani secara faktual. Kini Timorleste—berdasarkan laporan kunjungan anggota redaksi Suara Islam : HM. Mursalin belum lama berselang—jauh berbeda dengan era saat dikuasai para pemfitnah.

Pemerintah Timorleste lebih ramah dan ingin membuktikan bahwa mereka tidak memusuhi Islam dan umat Islam. Entah di mana Belo “Sang Pahlawan Gereja” saat ini?, Pemerintah Timorleste melalui Perdana Menterinya Xanana Gusmao malah mengimbau agar umat Islam membangun Pusat Islam di ibukota Timorleste, Dili.

E.  Pandangan Herminio Da Silva Da Costa (Pejuang Timor-Timur Pro Integrasi)
Lepasnya Timor-Timur Dari NKRI bukan karena kekecewaan pada kami, yang ada hanya satu tekad yang ingin bersatu dan berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi karena ada sebagian masyarakat Timor Timur berkepentingan berjuang untuk melepaskan diri dan membentuk suatu negara merdeka tentunya perlu dihormati kehendak itu sebagai wujud dari sebuah demokrasi yang berlaku pada kami warga atau masyarakt Timor Timur.

Kalau masalah kecewa saya kira itu adalah bahasa yang dipolitisasi oleh pihak tertentu termasuk di Indonesia untuk mengkaming hitamkan pihak pro-Indonesia dan menghiulangkan hak silpil dan politik yang seharusnya dihormati dan diberikan dalam proses dekolonisasi yang diatur oleh UNTAET dari PBB.

Dengan hasil Jajak Pendapat tanggal 30 Agustus 1999 yang diterim oleh Presiden RI B.J. Habibie pada tanggal 4 September 1999 maka konsep integrasi gaya 1974 dan 1975 yang diperjuangkan partai politik Apodeti serta konsep otonomi khusus dalam NKRI yang ditawarkan pada jajak pendapat itu hanya kenang-kenangan sejarah masa lalu dan tidah etis apabila masih dibawa-bawa sebagai suatu konsep politik untuk Timor Timur.

Habibie adalah orang yang paling bertanggungjawab atas lepasnya Timtim dari NKRI, karena keputusan kedua opsi yang diberikan kepada rakyat Timor-Timur tidak dilandasi dasar hukum yang kuat, seperti tidak ada konsultasi dengan DPR-RI dan DPRD Tingkat I Timor-Timur dan tokoh-tokoh Masyarakyat dan Politik di Timor Timur.

Memang Habibie memanggil Yang Mulia Uskup Belo saat itu, tapi Uskup Belo harus minta izin ke Paus di Roma sehingga tidak dapat segera memenuhi panggilan itu, dan karena itu Habibie marah dan membatalkan pertemuan dengan Uskup Belo.

Sikap Habibie saat itu tidak konstitusional dan terkesan Diktator” dalam mengambil keputusannya tersebut, dan akibat dari keputusan itu yang tidak dilandasi suatu analisa yang matang dari sudut politik dan kemanusiaan maka banyak warga Timor Timur harus menderita dan tidak mampu menghidupi keluarganya, menderita lahir dan batin dan  penderitaan lainnya, tentunya hal ini tidak dapat dimaafkan oleh masyarakar Timor-Timur yang menjadi korban dari pemberian ke dua opsi itu.

Pasca kekalahan jajak pendapat dari kedua opsi yang ditawarkan itu, 370.000 jiwa warga masyarakat Timor-Timur yang pro integrasi atau telah memilih otonomi khusus dalam Indonesia memutuskan mencari perlingdungan di NTT dan daerah lainnya, akhirnya terlantar dan menderita, karena tidak ada perhatian dan pembekalan dari pemerintah Indonesia kepada masyarakat.

Maka apabila kita hubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dapat kita simpulkan bahwa keputusan Presiden RI ke-3, B.J. Habibie dalam memberi kedua opsi tersebut benar-benar melanggar Konstitusi RI dan melanggar HAM di bidang Hak Sipil dan Hak Politik.

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...