Mari kita mengutip satu tembang Jawa :
Tak uwisi gunem iki saya akhiri pembicaraan ini
Niyatku
mung aweh wikan saya hanya ingin memberi tahu
Kabatinan akeh lire kebatinan banyak macamnya
Lan gawat ka liwat-liwat dan artinya sangat gawat
Mulo dipun
prayitno
maka itu berhati-hatilah
Ojo keliru pamilihmu Jangan kamu salah pilih
Lamun mardi kebatinan kalau belajar kebatinan
Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua
(pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan cara kejawen.
Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha
mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan
harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta) ( jumbuhing
kawula Gusti ) / pendekatan
kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap
orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan
jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati
yang mantap.
Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan
untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan
hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan
ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti
: hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti,
kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami
dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai.
Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme,
yaitu suatu faham yang menggunakan lambang atau simbol untuk membimbing
pemikiran manusia kearah pemahaman terhadap suatu hal secara lebih dalam.
Manusia mempergunakan simbol sebagai media
penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia
merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia itu
selanjutnya.
Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari
Tuhan, yang diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu
ditelaah dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah
difahami agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang
berberda-beda.
Biasanya sebutan orang Jawa adalah orang yang
hidup di wilayah sebelah timur sungai Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti
wilayah di sebelah barat-nya bukan wilayah pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong
dengan semboyannya “saiyeg saekoproyo “ yang berarti sekata satu tujuan.
Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan
seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya
itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa
dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka.
Kejawen adalah paham
orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam
agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui
mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu
tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan
simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh
pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya
misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti
Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.
Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan
dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada
tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun,
tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal.
Tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan
berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit. Warna
ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang. Budaya Jawa kini mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang
mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan.
Maka orang mulai berfikir bagaimana membuktikan
hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa
mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan
unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala
sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus
memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur
alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan
memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut.
Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang
semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan
rumah. Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya paham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa.
Simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan
manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme.
Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang
meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
Sembah Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan
mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah.
Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air
(wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan
mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait
berikut:
Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku /
sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking
wawaton
Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat
sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang
yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian),
orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining
wong amagang laku).
Sembah ini didahului dengan bersuci yang
menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga
ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk
menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari
semalam (kang wus lumrah limang wektu).
Sembah
lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan
memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang
demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup.
Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan
syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton
(pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu
tidak sah.
Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan
gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab
orang yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga
menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap
kerohanian yang lebih tinggi.
Sembah Cipta ( Kalbu )
Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang
disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh
Gambuh bait 11 berikut :
Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku /
laku agung kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang
kang momong.
Apabila cipta mengandung arti gagasan,
angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan dalam hati, kalbu berarti
hati, maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati,
bukan sembah gagasan atau angan-angan.
Apabila sembah raga menekankan penggunaan air
untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan
pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran
dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).
Sembah Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma
(Allah) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan
peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa
atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap
hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada
bait berikut:
Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti
katur / Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup /
Sembahing jiwa sutengong
Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV
yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat
penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan
suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah.
Cara
bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak
pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan
awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng),
alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas
pada bait berikut :
Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku /
Kalakuan kang tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming
lama amota.
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu,
ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong
amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan.
Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya,
sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan
sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu
membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan
pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya
dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat
teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya
kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan
apa yang telah dipegang pada saat itu.
Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung
menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan
disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk
menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan
diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu
dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
“Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka
kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup /
mring kelaping alam kono.”
Sembah Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah
yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah
sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam,
demikian menurut Mangkunegara IV.
Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah
Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah
jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa
berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh.
Alat batin ini adalah alat batin yang paling
dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu
(lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang
paling halus).
Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam
diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti
jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan
susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi
memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi
harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan
Mangkunegara IV dalam bait berikut :
Semongko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping
catur / sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan
kasing batos.
Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah
pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka
sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu,
melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain,
seorang salik telah tiba di tempat yang dituju.
Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk
sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah
disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk
memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus
mandiri melakukan sembah rasa.
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat
melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat
ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia
dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan
aspek-aspek batiniahnya sendiri.
Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan
keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan
batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga
kepada Tambangraras dalam Centini bait 156.
Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga,
sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat
pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus
merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan
kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi
dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri,
seperti terlihat pada bait berikut :
Iku luwih banget gawat neki / ing rarasantang keneng
rinasa / tan kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang
ening / sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng
sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.