Friday, January 17, 2020

Pembabakan/Periodesasi Prasejarah Indonesia




1. Periodesasi Berdasarkan Geologi
Periodesasi masa prasejarah berdasarkan ilmu geologi ini dilakukan untuk mengetahui terbentuknya bumi dari masa awal sampai seperti saat kini, melalui lapisan-lapisan bumi. Berikut ini adalah penjabarannya.
a.  Masa Arkaikum (2.500 juta tahun yang lalu)
Masa Arkaikum merupakan masa awal; artinya masa awal pembentukan bumi dari inti sampai kulit bumi. Bumi masih berupa bola gas panas yang berputar pada porosnya. Keadaan bumi tidak stabil dan belum ada tanda-tanda kehidupan.

b.  Masa Palaeozoikum/Zaman Primer (340 juta tahun yang lalu)
Palaeozoikum artinya adalah zaman bumi purba; maksudnya masa ketika pada permukaan bumi mulai terbentuk hidrosfer dan atmosfer. Sudah ada tanda-tanda kehidupan dengan munculnya organisme bersel tunggal yang kemudian berkembang menjadi organisme bersel banyak.

Munculnya kehidupan darat yang berasal dari air. Muncul tumbuhan dan hewan dan berkembang pertama kalinya, termasuk tumbuhan paku, paku ekor kuda, amfibi, serangga, dan reptilia. Zaman palaeozoikum dibagi menjadi 5 tahap kehidupan, yaitu tahap Cambrium, Silur, Devon, Carbon, dan Perm.

c.  Zaman Mesozoikum/Zaman Sekunder (140 juta tahun yang lalu)
Disebut juga zaman reptil/zaman dinosaurus. Pada zaman Mezoloikum ini bumi mengalami perkembangan yang sangat cepat dengan ditandai munculnya hewan-hewan bertubuh besar, seperti reptilia pemakan daging.

Jenis reptilian meningkat jumlahnya, dinosaurus menguasai daratan, ichtiyosaurus berburu di dalam lautan, dan pterosaurus merajai angkasa. Telah muncul pula jenis hewan mamalia (hewan menyusui). Zaman Mezoloikum dibagi menjadi 3 tahap kehidupan, yakni tahap Trias, Jura, dan Calcium.

d.  Zaman Neozoikum (60 juta tahun yang lalu)
Neozoikum atau kainozoikum artinya zaman baru. Zaman ini dibagi menjadi dua
1)  Zaman Tersier
Setelah zaman reptil raksasa punah, terjadi perkembangan jenis kehidupan lain seperti munculnya primata dan burung tak bergigi berukuran besar menyerupai burung unta. muncul pula fauna laut seperti ikan dan moluska. Zaman tersier atau zaman ketiga dibagi menjadi kala Eosen, Miosen, Oligosen, dan Pliosen.

2)  Zaman Kuarter
Zaman Kuarter terdiri dari dua kurun waktu, yakni kala Plestosen dan kala Holosen.
a)  Kala Plestosen: dimulai sekitar 600.000 tahun yang lalu. Pada masa Plestosen paling sedikit telah terjadi 5 kali zaman es (zaman glasial). Keadaan flora dan fauna yang hidup pada Kala Plestosen mirip dengan flora dan fauna yang hidup sekarang. Muncul manusia purba Pithecanthropus erectus.

b)  Kala Holosen: mulai muncul sekitar 200.000 tahun yang lalu. Manusia modern seperti manusia sekarang, diperkirakan muncul pada kala Holosen ini.

2. Periodesasi Berdasarkan Arkeologi
a. Zaman Palaeolitikum
Zaman Palaeolitikum artinya zaman batu tua, berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini ditandai dengan penggunaan perkakas yang bentuknya sangat sederhana dan primitif. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman ini, yaitu hidup berkelompok; tinggal di sekitar aliran sungai, gua, atau di atas pohon; dan mengandalkan makanan dari alam dengan cara mengumpulkan (food gathering) serta berburu. Manusia purba selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain (nomaden).

Kebudayaan Paleolitikum di Indonesia ditemukan di daerah Pacitan dan Ngandong, maka sering disebut Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
1)  Kebudayaan Pacitan
Alat-alat kebudayaan Pacitan ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1935. Di daerah Pacitan banyak ditemukan alat-alat dari batu yang masih sangat kasar. Alat-alat tersebut berbentuk kapak, yakni kapak perimbas (chooper), karena tidak memakai tangkai maka disebut Kapak Genggam.

Alat budaya Pacitan diperkirakan dari lapisan pleistosen tengah (lapisan Trinil). Selain Kapak Genggam, juga dikenal jenis lain, yakni alat Serpih (flake), digunakan untuk menguliti binatang buruan, mengiris daging dan memotong ubi-ubian.

Daerah penemuan lainnya yaitu; Sukabumi (Jawa Barat), Gombong (Jawa Tengah), Tambangswawah (Bengkulu), Lahat (Sumatra Selatan), Kalianda (Lampung), Awang Bangkal (Kalimantan Selatan), Cabenge (Sulawesi Selatan), Trunyan (Bali), Batu Tring (Sumbawa), Maumere (Flores), dan Atambua (Timor). Pendukung kebudayaan ini ialah Pithecantropus Erectus.

2)  Kebudayaan Ngandong
Daerah Ngandong dan Sidorejo (dekat Ngawi, Madiun, Jawa Timur) didapatkan banyak alat-alat dari tulang di samping kapak-kapak genggam dari batu. Alat-alat Kebudayaan Ngandong ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1941 dan yang banyak ditemukan alat-alat dari tulang (semacam alat penusuk = belati), dan tanduk rusa terutama di gua Sampung.

Di Ngandong juga ditemukan alat-alat kecil yang dinamakan "Flakes", yang terbuat dari batu indah, seperti chalcedon. Jenis alat ini ditemukan di lapisan pleistosen atas. Daerah penemuan lain yaitu; Sangiran (Jawa Tengah), dan Cabenge (Sulawesi Selatan) Pendukung Kebudayan Ngandong adalah jenis manusia purba Homo Soloensis dan Homo Wajakensis.

b. Zaman Mesolitikum
Zaman Mesolitikum artinya zaman batu madya (meso) atau pertengahan. Zaman ini disebut pula zaman ”mengumpulkan makanan (food gathering) tingkat lanjut”, Mereka tinggal di gua-gua di bawah bukit karang (abris souche roche), tepi pantai, dan ceruk pegunungan.
Zaman Mesolitikum dibagi menjadi 3 kelompok budaya, yaitu :
1)  Flakes Culture/Kebudayaan Toala
Flakes adalah alat serpih, yaitu berupa alat yang terbuat dari batu dan berbentuk kecil-kecil. Dibentuk dengan cara membelah batu besar hingga menjadi serpihan yang kemudian dijadikan alat. Merupakan hasil penelitian Fritz Sarasin dan Paul Sarasin antara tahun 1893-1896. Banyak ditemukan di Punung dan Ngandong (Jawa Timur), Sangiran dan Gombong (Jawa Tengah); Budaya Toalian (Sulawesi), Mengeruda (Flores), juga di Sangadat dan Wilayah Gasi Liu (Timor).

2)  Pebble Culture/Kebudayaan Kapak Sumatera
Pebble adalah peralatan berupa kapak genggam, antara lain kapak Sumatra, kapak pendek (hanche courte), batu penggiling dan pisau. Pebble culture banyak ditemukan di pesisir Sumatra, yang diteliti oleh Callenfels pada tahun 1925 dan merupakan hasil pengaruh dari kebudayaan Bacson-Hoabinh, Indocina.

3)  Bone Culture/Kebudayaan Tulang Sampung
Bone culture yaitu alat-alat kebudayaan yang berupa tulang-belulang. Banyak ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo), di Besuki, dan di Bojonegoro. Peralatan tersebut ditemukan bersama abris sous rosche. Merupakan hasil penelitian Callenfels antara tahun 1928-1931.

Zaman Mesolitikum merupakan masa peralihan dari kehidupan berburu dan meramu ke kehidupan menetap dan bercocok tanam. Peninggalan lainnya, yaitu :
1)  Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger (sampah-sampah dapur) Istilah ini berasal dari bahasa Denmark (kjokken = dapur, modding = sampah). Penemuan kjokkenmoddinger yang ada di pesisir pantai Sumatera Timur menunjukkan telah adanya penduduk yang menetap di pesisir pantai.

Hidup mereka mengandalkan dari siput dan kerang. Siput-siput dan kerang-kerang itu dimakan dan kulitnya dibuang di suatu tempat. Selama bertahun-tahun, ratusan tahun, atau ribuan tahun, bertumpuklah kulit siput dan kerang itu menyerupai bukit. Bukit kerang inilah yang disebut kjokkenmoddinger.

2)  Abris Sous Rosche
Abris sous rosche, yaitu tempat berupa gua-gua yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang. Digunakan sebagai tempat tinggal manusia purba yang hidup di dekat laut. Tempat ditemukannya abris sous rosche, antara lain Gua Lawa di Ponorogo, Bojonegoro,dan Lamoncong (Sulawesi Selatan).

c. Zaman Neolitikum
Zaman Neolitikum artinya zaman batu muda. cara food gathering menjadi food producting, yaitu dengan cara bercocok tanam dan memelihara ternak. Ciri penting yang lain adalah pemakaian peralatan yang sudah diasah halus.
Berdasarkan peralatannya, Zaman Neolitikum dibagi menjadi 2 kebudayaan, yaitu :
1)  Kebudayaan Kapak Persegi
Berasal dari Asia daratan yang menyebar ke Indonesia melalui jalur barat yaitu melalui Malaka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Kapak persegi yang kecil berfungsi sebagai kapak, sedangkan yang besar berfungsi sebagai cangkul. Banyak ditemukan di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Purwakarta, Karawang, Tasikmalaya, Banyuwangi, dan Pacitan. Pendukung budaya ini adalah bangsa Proto Melayu.

2)  Kebudayaan Kapak Lonjong
Ukuran kapak lonjong ada yang kecil dan besar. Sering disebut dengan istilah Neolith Papua, karena sebagian besar ditemukan di Papua. Umumnya terbuat dari batu kali yang berwarna kehitam-hitaman dan dibuat dengan cara diupam hingga halus. Kapak Lonjong yang besar disebut Walzenbeil, sedangkan yang kecil disebut Kleinbeil. Selain di Papua, juga ditemukan di Flores, kepulauan Tanimbar, Leti (Maluku), dan Sangihe Talaud (Sulawesi Utara).

d. Zaman Megalitikum
Zaman Megalitikum artinya zaman batu besar. Pada zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme. Peninggalan yang bersifat rohaniah bentuk bangunan sebagai berikut :
1)  Menhir; merupakan tugu batu yang tegak sebagai tempat pemujaan terhadap arwah leluhur. Menhir ini banyak ditemukan di Sulawesi Tengah, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan, dan Bali. 

2)  Sarkofagus; adalah peti jenazah yang bentuknya seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup dan terbuat dari batu bulat (batu tunggal). Sarkofagus ini banyak ditemukan di daerah Bali.

3)  Dolmen; adalah meja batu tempat meletakkan sesaji yang akan dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Di bawah dolmen terkadang ditemukan kubur batu.

4)  Kubur batu; adalah peti jenazah yang dipendam dalam tanah berbentuk persegi panjang yang tiap sisinya terbuat dari batu pipih (seperti liang kubur). Kuburan batu ini banyak ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat, dan Nusa Tengggara.

5)  Waruga; adalah kuburan batu yang berbentuk kubus atau bulat, terbuat dari batu yang utuh. Waruga ini banyak ditemukan di Sulawesi Utara dan Tengah.

6)  Punden berundak-undak; adalah bangunan suci tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang dibuat dalam bentuk bertingkat-tingkat atau berundak-undak. Bangunan ini banyak ditemukan di daerah Lebak Si Bedug, Kuningan, Garut, dan Banten Selatan.

7)  Arca; pada masa Megalitikum terbuat dari batu, biasanya berbentuk sosok hewan dan manusia. Jenis hewan yang sering dibentuk adalah gajah, kerbau, harimau, monyet. Arca batu ini banyak terdapat di Sumatera selatan, Lampung, Jawa Tengah dan Timur.

e. Zaman Logam
Pada zaman ini manusia telah pandai membuat perkakas yang dibuat dari logam. Mereka kemudian menggunakan perkakas tersebut sebagai bagian dalam hidupnya. Kebudayaan logam terdiri dari kebudayaan tembaga, perunggu, dan besi.
1)  Zaman tembaga
Zaman ini hanya dikenal oleh beberapa Negara saja. Indonesia tidak mengalami zaman tembaga, sehingga dari zaman neolithikum berlanjut ke zaman perunggu.

2)  Zaman perunggu
Perunggu merupakan logam campuran antara tembaga dengan timah. Benda-benda yang dibuat pada zaman perunggu ini tidak hanya sebagai perkakas kehidupan, tetapi ada yang berfungsi sebagai alat kelengkapan upacara/ritual. Berikut beberapa benda peninggalan zaman perunggu :
a)  Bejana
Bentuknya seperti gitar Spanyol tetapi tanpa tangkai. Pola hiasan berupa anyaman dan huruf L. Ditemukan di Madura dan di tepi Danau Kerinci, Sumatera.

b)  Nekara
Nekara ialah semacam genderang dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup, jadi kira-kira sama dengan dandang yang ditelungkupkan. Berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk memohon turun hujan dan sebagai genderang perang; Nekara perunggu banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Pulau Sangean dekat Sumbawa, Pulau Roti, Leti, Maluku, Selayar, Alor, dan Kepulauan Kei, Papua. Nekara yang kecil dan memanjang disebut Moko.

c)  Kapak corong
Disebut kapak corong karena bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya belah, terbuat dari logam. Ke dalam corong itu dimasukkan tangkai kayunya yang menyiku pada bidang kapak. disebut juga kapak sepatu, karena hampir mirip dengan sepatu bentuknya. Banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar, dan Irian dekat danau Sentani, Papua.

d)  Arca
Arca Perunggu yang ditemukan berupa arca yang menggambarkan orang yang sedang menari, berdiri, naik kuda, dan ada yang sedang memegang panah. ditemukan di Bangkinang (Provinsi Riau), Lumajang, Palembang, dan Bogor.

e)  Perhiasan
Hiasan yang ditemukan berupa gelang tangan, gelang kaki, cincin, kalung, dan bandul kalung. Benda-benda itu ditemukan di Bogor, Bali, dan Malang.

3)  Zaman besi
Pada masa ini, alat-alat kehidupan manusia sudah meningkat lagi, disamping dibuat dari tembaga dan perunggu banyak sudah yang terbuat dari besi. Manusia telah dapat melebur biji-biji besi dalam bentuk alat-alat yang sesuai dengan kebutuhannya, seperti mata kapak, mata pisau, tombak, pedang, cangkul dan sebagainya. Tempat penemuannya di Gunung Kidul, Yogyakarta.

B. KEHIDUPAN MANUSIA PURBA DI INDONESIA
1. Jenis Manusia Purba di Indonesia
a. Meganthropus Paleojavanicus
Hidup pada masa paleolitikum. Meganthropus paleojavanicus artinya manusia-Jawa purba yang bertubuh besar (mega). Fosil rahang bawah dan rahang atas manusia purba ini ditemukan oleh G.H.R. Von Koenigswald di Sangiran, pada tahun 1941. Mereka diperkirakan hidup sekitar 1–2 juta tahun yang lalu.

 Meganthropus ini memiliki rahang bawah yang tegap dan geraham yang besar, tulang pipi tebal, tidak punya dagu, tonjolan kening yang mencolok, tonjolan belakang kepala yang tajam serta sendi-sendi yang besar, dan perawakan yang tegap. Tinggi badannya sekitar 165-180 cm, volume otaknya sekitar 750-1.350 cc. Meganthropus ini diperkirakan pemakan buah dan tumbuh-tumbuhan.

b. Pithecanthropus
Pithecanthropus artinya Manusia kera. Diperkirakan hidup di zaman Paleolitikum, sekitar 700.000 tahun yang lalu. Memiliki ciri-ciri tinggi badan antara 165-180 cm, volume otak antara 750-1300 cc dan bobot badan antara 80-100 kg.
Di Indonesia terdapat beberapa jenis manusia kera (Pithecanthropus) yaitu :
1)  Pithecanthropus Erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak. Fosil ini pertama kali ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di daerah Trinil (Ngawi) dan Kedungbrubus (Madiun).

2)  Pithecanthropus Mojokertensis atau manusia kera dari Mojokerto, fosilnya ditemukan di daerah Perning, Mojokerto, pada 1936 oleh Von Keonigswald.

3)  Pithecanthropus Robustus atau manusia kera yang kuat dan berahang besar, fosilnya ditemukan di Sangiran tahun 1939 oleh Weidenreich.

4)  Pithecanthropus Soloensis atau manusia kera dari Solo, ditemukan di daerah Ngandong, di tepi Sungai Bengawan Solo, antara tahun 1931-1934 oleh Ter Haar, Oppenoorth, dan Von Keonigswald.

c. Homo
Homo artinya manusia. Hidup pada masa pleistosen atas sampai masa holosen sekitar 18.000 – 40.000 tahun yang lalu. Secara umum, mirip dengan manusia sekarang, yakni memiliki ciri volume otak antara 1.350-1.450 cc, bobot tubuh antara 30-150 kg dan tingginya antara 100-210 cm, tonjolan kening berkurang dan sudah berdagu.
Di Indonesia terdapat beberapa jenis Homo, yaitu :
1)  Homo Wajakensis atau manusia dari Wajak. Fosilnya ditemukan di daerah Wajak dekat Tulungagung (Jawa Timur) oleh Van Rietschoten pada tahun 1889. Fosil ini kemudian diteliti ulang oleh Eugene Dubois.

2)  Homo Soloensis atau manusia dari Solo. Fosil ditemukan di lembah Sungai Bengawan Solo di dekat Desa Ngandong, oleh C. Ter Haar dan Ir. Oppenoorth tahun 1931-1933, kemudian diteliti oleh Von Keonigswald dan Weidenrich.

3)  Homo Floresiensis atau manusia dari Flores. Fosilnya ditemukan di Gua Liang Bua, Manggarai, Pulau Flores, NTT, oleh seorang Pastor bernama Verhoeven tahun 1965. Baru dipublikasikan tahun 2004.

4)  Homo Sapiens atau manusia cerdas. Fosilnya ditemukan di Wajak, Tulungagung, oleh Van Rietschoten pada tahun 1892. Diperkirakan hidup dari zaman Holosen/Alluvium, sekitar 20.000 tahun yang lalu. Homo sapiens dianggap sebagai jenis manusia yang menurunkan 3 ras besar dunia yakni, Ras Mongoloid, Ras Kaukasoid, dan Ras Negroid.

Friday, January 3, 2020

Kesalahan Sejarah Syekh Siti Jenar yang jadi Fitnah




Misteri tentang kisah Syekh Siti Jenar seolah-olah selalu menarik untuk diulas. Terlebih lagi jika keberadaan Syekh Siti Jenar dikaitkan dengan pemahaman konsep ketuhanannya yang dianggap menyimpang dari pemahaman 9 wali atau Wali Songo.

Adalah KH. Shohibul Faroji Al-Robbani, seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Banyuwangi, membeberkan fakta-fakta baru yang membantah mitos kekeliruan pemahaman tentang sosok Syekh Siti Jenar selama ini. Dalam sebuah artikelnya, ada lima poin tanggapan yang dipaparkan oleh Shohibul Faroji Al-Robbani yang membantah fakta sejarah tentang Syekh Siti Jenar.

Pertama, mengenai anggapan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Menurut Shobil Faroji, sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat Jati menceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah.
“Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di Desa Lemah Abang,” jelasnya.

Kedua, tentang ajaran Manunggaling Kawulo Gusti yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’.

Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah yang berarti segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’i.

Ketiga, dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan sholat, puasa Ramadhan, sholat Jumat, dan haji. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata,
“Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal syari’at Islam sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir ‘Allah, Allah, Allah…’ dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jumat” bela Syaikh Burhanpuri pada gurunya.

Keempat, tentang kematian Syaikh Siti Jenar yang dibunuh oleh Wali Songo dan mayatnya berubah menjadi anjing.  
“Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih”.

Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama, kiai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di pengimaman Masjid Agung Cirebon setelah sholat Tahajjud. Kemudian para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh,“ terang Shohibul Faroji.

Kelima, tentang cerita bahwa Syekh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron.
“Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidussyarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan. Tidak boleh membunuh seorang jiwa mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin sembilan waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat,” tegas Shohibul Faroji membantah beberapa fakta yang selama ini keliru dipahami oleh masyarakat tentang Syekh Siti Jenar.

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia, Azyumardi Azra adalah ulah penjajah Belanda untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera (Politik Pecah Belah) dengan tiga kelas, yaitu kelas santri yang diidentikkan dengan 9 Wali, kelas Priyayi  yang diidentikkan dengan Raden Fattah dan Sultan Demak. Kemudian kelas Abangan yang diidentikkan dengan Syekh Siti Jenar.


Riwayat singkat Syaikh Siti Jenar
Nama asli Syaikh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad. Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon.

Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...