Kota Padang adalah salah satu kota tertua
di pantai barat Sumatera. Menurut sumber sejarah pada awalnya (sebelum abad
ke-17) Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika
itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang
mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar.
Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari
persaingan dagang yang keras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan
pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera. Sampai saat ini Kota Padang masih terus
berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Orang-orang Padang atau Minang dikenal
telah terlatih untuk bekerja keras sejak dulu..
A. Awal mula munculnya Kota Padang
Terdapat 2 buah versi mengenai sejarah
berdirinya kota Padang, yaitu: versi Tambo dan versi Hofman seorang opperkoopman di Padang pada tahun 1710
dan juga pengarang mengenai adat dan sejarah Minangkabau (terutama adat
matrilineal).
Opperkoopman
sebutan pada wakil Belanda untuk suatu daerah yang belum ditaklukkan Belanda.
Kota Padang belum ditaklukkan saat itu sedangkan untuk daerah jajahan Belanda
seperti Ambon, Banda, Ternate dan Jawa penguasanya dinamakan Gubernur.
Kota Padang menurut Hofman, dinamakan Padang
karena dulu merupakan lapangan besar dan luas yang dikelilingi oleh pegunungan
tinggi. Pada awalnya tempat bermukim para penangkap ikan, pedagang dan petani
garam yang dikepalai oleh seorang makhudun. Orang kedua yang menjadi kepala
adalah dari golongan agama dari Passai yang bergelar Sangguno Dirajo.
Suatu saat terjadi peperangan antara orang
padang dengan orang pegunungan dari XIII-Koto karena terbunuhnya Serpajaya oleh
anak buah makhudun yang bernama Campang Cina. Dalam serbuannya yang pertama
orang-orang dari XIII-Koto dapat dikalahkan dengan korban sebanyak 30 orang. Karena
takut akan serangan besar berikutnya, orang Padang mengirim utusan untuk
berdamai yang bernama Datuk Bandaro Pagagar bersama wakil rakyat kota Padang.
Ganti rugi yang diminta orang XIII-Koto adalah emas. Orang Padang keberatan
dengan ganti rugi ini karena terlalu mahal dan mereka kebanyakan adalah
nelayan.
Oleh karena itu ditawarkan separuh kota Padang
dan bersumpah setia untuk tunduk kepada XIII-Koto, sejak saat itu orang XIII-Koto
memiliki hak yang sama dengan orang Padang dan mendapat 4 dari 8 kursi penghulu
di kota Padang.
Menurut versi Tambo, jauh sebelum orang
pegunungan mendiami kota Padang sekarang, daerah itu merupakan hutan lebat yang
masih didiami oleh manusia liar (urang rupit dan urang tirau).
Orang pertama yang turun ke Padang adalah dari
Kubuang Tigo Baleh (Solok) yang dipimpin oleh Maharajo Besar suku Caniago
Mandaliko dan memilih tinggal di Binuang dan kemudian menyebar diantara Muaro
sampai Ikua Anduriang (Pauh IX). Kelompok kedua yang datang adalah orang dari
Siamek Baleh (antara Singkarak dan Solok) dan disusul dengan orang dari Kurai
Banuampu (Agam). Mereka menetap dibagian timur daerah Maharajo Besar.
Diantara pemimpin yang baru datang ini adalah
Datuk Paduko Amat dari suku Caniago Simagek, Datuk Saripado Marajo dari suku
Caniago Mandaliko, Datuk Sangguno Dirajo dari suku Koto beserta saudaranya
Datuk Patih Karsani. Konon Datuk Patih Karsani ditempat yang baru banyak
mendapat benda berharga seperti porselen, pisau, meriam kecil dan sebuah pedang
(padang). Maka menurut yang mempunyai cerita dinamakanlah kota itu Kota Padang.
Tanggal 7 Agustus 1669 secara resmi dianggap
sebagai hari jadi kota Padang yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Barat.
Tahun 1669 dipakai sebagai hari jadi kota Padang karena pada tahun itu terjadi
penyerangan besar-besar dari rakyat kota Pauh pada Belanda. Serangan kedua yang
dilancarkan pada tahun 1670.
Tanggal 7 Agustus 1669, saat serangan pertama
dijadikan sebagai hari jadi kota Padang karena tiga hal yaitu: Loji VOC
dianggap simbol kekuasaan asing di Minangkabau, serangan itu semata-mata tidak
hanya dilakukan oleh rakyat kota Pauh tetapi juga dibantu oleh sekelompok
rakyat dalam kota Padang dan serangan tahun 1669 itu dilakukan setelah VOC
resmi mengakui kedaulatan atas kota-kota yang diduduki Belanda sepanjang pantai
Minangkabau dipegang oleh Yang Dipertuan di Pagaruyung sedangkan wakil VOC di
kota Padang bertindak hanya sebagai pemerintah saja.
Selama serangan tanggal 7 Agustus malam
tersebut, Belanda mengalami kerugian sebesar 20.000 gulden dan disebut seorang
bernama Berbangso Rajo dari Minangkabau sebagai otak dari serangan tersebut. Pada
tahun 1906, Padang resmi ditetapkan oleh Belanda sebagai pemerintahan
(gemeente) yang diketuai Residen.
Setelah Proklamasi 1945, daerah ini sah
berstatus kotapraja, kemudian meningkat menjadi Daerah Tingkat II (1965) dan
oleh Pemerintah Indonesia Padang dijadikan ibukota provinsi Sumatera Barat
berdasarkan UU. No. 5 tahun 1974.
B. Bangsa Asing di Kota Padang
Bangsa Belanda
Belanda telah datang ke pesisir pantai Sumatera
Barat sejak abad 15 untuk mencari sumber emas dan lada karena Belanda enggan
membeli dari Kerajaan Aceh maupun Kerajaan Johor yang menguasai perdagangan di
selat Malaka.
Belanda umumnya singgah di Indrapura, Tiku,
Pariaman dan Pasaman namun banyak kali gagal untuk membeli lada ataupun emas
karena orang-orang Minang lebih senang menjualnya ke Kerajaan Aceh atau kepada
pedagang Inggris.
Pada tahun 1660, Belanda pernah berkeinginan
untuk memindahkan kantor perwakilan mereka dari Aceh ke Kota Padang dengan
alasan lokasi dan udara yang lebih baik namun keinginan ini ditolak oleh
penguasa kota Padang hingga akhirnya mereka berkantor di Salido.
Perjanjian Painan pada tahun 1663 yang diprakarsai
oleh Groenewegen yang membuka pintu bagi Belanda untuk mendirikan loji di kota
Padang, selain kantor perwakilan mereka di Tiku dan Pariaman. Dengan alasan
keamaman kantor perwakilan di kota Padang dipindahkan ke pulau Cingkuk hingga
pada tahun 1667 dipindahkan lagi ke kota Padang. Bangunan itu terbakar pada
tahun 1669 dan dibangun kembali setahun kemudian.
Sejak perjanjian Painan, perdagangan lada di
Kota Padang berangsur-angsur dikuasai Belanda apalagi sejak tahun 1666 dimana
kekuasaan kerajaan Aceh di kota Padang yang sudah berlangsung sejak abad ke 16
secara resmi berakhir di Sumatera Barat karena diserbu Belanda selama 3 bulan
maka Belanda praktis memonopoli semua perdagangan lada dan emas yang melalui
kota Padang.
Pada bulan Agustus 1666, Pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Verspreet yang terdiri dari 300 pasukan Belanda, 130 orang Bugis
pimpinan Aru Palaka dan 100 orang Ambon dibawah Kapten Yonker berangkat dari
Batavia ke kota Padang untuk memulai peperangan dengan Kerajaan Aceh.
Perang yang dimulai tanggal 14 September 1666
dan berakhir tanggal 3 November 1666 berhasil mengusir orang-orang Aceh dengan
bantuan sekitar 800 - 1000 orang kota Padang dibawah Orang Kayo Kecil atau
Kaciak dari suku Massiang.
Bangsa Inggris
Tahun 1683, kapal Inggris (bukan dari EIC)
singgah ke kota Padang untuk membeli lada tetapi gagal. Pada bulan Februari
1686, kapal Inggris Royal James dengan 100 tentara datang ke Kota Padang .
Namun sayang hampir semuanya meninggal karena penyakit.
Pada tahun 1793, Inggris mengambil alih kota
Padang membuat benteng pertahanan di kota Padang. Inggris mengembalikan kota
Padang ke Belanda pada tahun 1819 sebagai akibat dari Perang Napoleon.
Raffles datang ke kota Padang pada tahun 1818
dengan cita-citanya untuk membangun kembali Kerajaan Minangkabau. Pada tahun
1867, lima buah kapal Inggris datang ke kota Padang untuk membeli lada namun
penduduk lokal tidak mau menjual lada karena terikat perjanjian dengan Belanda.
Bangsa Perancis
Jauh sebelum Le Meme, Bajak Laut Perancis datang
ke Padang, seorang laksamana Perancis bernama Montmorency pernah datang ke
Sumatera Barat dan kemudian juga seorang laksamana d’Estaing. Mereka datang
untuk menduduki bekas jajahan Inggris di pantai barat Sumatera seperti
Tapanuli, Natal, Bengkulu, Padang dan kota kota kecil diselatan kota Padang.
Hal ini terjadi sebagai akibat perang antara Inggris dan Perancis di anak benua
India.
C. Koran Pertama Kota Padang
Sumatera Courant merupakan surat kabar pertama
yang terbit di kota Padang, surat kabar ini berbahasa Belanda dan terbit
seminggu sekali, kebanyakan berita berisi peristiwa lokal dan cerita. Tidak
diketahui tahun penerbitan edisi pertamanya tetapi perusahaannya berdiri tahun
1859. Arsip tertua dari Sumatera Courant yang tersimpan di Perpustakaan Museum
Nasional Jakarta bertahun 1863.
Tahun 1864 terbit sebuah surat kabar di kota
Padang yang berbahasa Melayu dengan nama Bintang Timur yang hanya seumur
jagung. Pemiliknya adalah seorang Belanda bernama Van Zadellhoft, pemilik toko
buku di kota Padang. Bintang Timur memiliki Oplah 400 eksemplar dan terbit
setiap hari Rabu jam 14.00 dan harus diambil sendiri oleh pelanggan
kepercetakannya.
Pada tahun 1871 terbit sebuah surat kabar
berbahasa Melayu kedua di kota Padang. Antara tahun 1870-an dan 1880-an surat
kabar yang terbit mulai memasukan syair, pantun, cerita pendek, pelajaran
bahasa Melayu dan semacam kamus bahasa kecil sebagai strategi marketing mereka.
Strategi yang berhasil ini kemudian banyak
ditiru daerah lain disekitar Sumatera Barat. Pada tahun 1901, Datuk Sutan
Marajo menerbitkan dan memimpin sendiri sebuah surat kabar yang diberinya nama
Warta Berita yang merupakan surat kabar pertama di Indonesia.
D. Serangan Bajak Laut ke Padang
Le Meme lahir di Saint Malo, Bretagne di pantai
barat Perancis yang sejak kecil bercita-cita menjadi bajak laut. Perang
Napoleon adalah awal karirnya, dengan sebuah kapal perang bermerian 12 dan
berawak 80 orang pada bulan Juli 1793 Le Meme berangkat dari Ile de France en
Bourbon (sekarang Mauritus) di Samudera Hindia menuju Nusantara.
Bulan Agustus, Le Meme merampok kapal Belanda
bertujuan Batavia dari kota Padang diselat Sunda, pada hari yang sama dia juga
merampok dua buah kapal Cina dan keesokan harinya sebuah kapal Belanda lagi.
Dikemudian hari, Ia memimpin sebuah kapal yang
lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap menuju kota Padang. Pasukan
Le Meme mendarat di Air Bangis dan menyerang kota Padang melalui Bukit Padang
yang terdapat sebuah benteng pertahanan Belanda yang telah kosong. Sebagian
pasukan Le Meme menyerang dengan perahu dari Sungai Arau.
Le Meme menguasai dan menjarah kota Padang
selama 16 hari dan merampok semua kekayaan Belanda dan meminta upeti dari
penduduk kota Padang sebanyak 25.000 ringgit dari 75.000 ringgit yang diminta
semula. Le Meme meninggal dunia tanggal 30 Maret 1805 dalam perjalanan ke
Inggris untuk diadili setelah kalah dalam pertempuran di Laut Arab tanggal 7
November 1804.
E. Komoditas Ekspor Kota Padang
Kota Padang menjadi terkenal pada akhir abad ke
19 karena merupakan kota pengekspor kopi dari dataran tinggi Minangkabau.
Ekspor komoditi terpenting kota Padang selama 50 tahun mulai dari tahun 1850 -
1908 ialah kopi, rotan, lada, beras, pala, kulit pala, tembakau dan kopra.
Kopra mulai di ekspor tahun 1883, tembakau dan
pala pada tahun 1866 sedangkan beras berhenti di ekspor mulai tahun 1889.
Amerika Serikat, Perancis dan Jawa adalah tujuan ekspor kopi dari kota Padang
selain Belanda pada waktu itu.
Jalan kereta api juga dibangun untuk memudahkan
pengangkutan hasil bumi dari pedalaman ke kota Padang dan pelabuhan baru yang
bernama Emmahaven (Teluk Bayur sekarang) juga di bangun sekitar 7 kilometer
disebelah selatan kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batubara dari
tambang batubara Umbilin.
Kopi mulai dibudidayakan di Sumatera Barat
akibat kebijakan tanam paksa yang dijalankan oleh Belanda. Tanam paksa yang
dijalankan oleh Belanda melalui Van den Bosch di Sumatera Barat tidaklah
seberhasil tanam paksa di Jawa. Hal ini disebabkan Van den Bosch dan orang
Belanda pada umumnya gagal melihat perbedaan karakter orang Jawa dan orang
Minang.
F. Perkembangan
Kota Padang
Kota Padang merupakan ibukota provinsi Sumatera
Barat, Indonesia dan merupakan kota terbesar di pesisir
barat pulau Sumatera. Pada
masa kolonial Hindia-Belanda,
kota ini menjadi pelabuhan utama dalam perdagangan teh, kopi dan rempah-rempah.
Kemudian, memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan semen telah dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur.
Pada awalnya luas Kota Padang adalah 33 Km2,
yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah Kampung, yaitu Kecamatan Padang
Barat, Padang Selatan dan Padang Timur. Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tanggal 21 Maret 1980 wilayah Kota
Padang menjadi 694,96 Km2, yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 193
Kelurahan.
Dengan dicanangkannya pelaksanaan otonomi
daerah sejak Tanggal 1 Januari 2001, maka wilayah administratif Kota Padang
dibagi dalam 11 Kecamatan dan 103 Kelurahan. Dengan Keluarnya PerDa Kota Padang
No. 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi Kelurahan Maka jumlah
Kelurahan di Kota Padang menjadi 104 Kelurahan.
Kota padang terletak di pantai barat pulau
Sumatera dan berada antara 0º44’00”-10838”LS serta antara
100º05’05”-100º34’09”BT. Luas kota padang adalah 694,96Km2.
Wilayah daratan Kota Padang yang ketinggiannya
sangat bervariasi, yaitu antara 0-1.853 m diatas permukaan laut dengan daerah
tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan. Kota Padang memiliki banyak sungai,
yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai kecil, dengan sungai terpanjang yaitu Sungai
Batang Kandis sepanjang 20 km.
Kota Padang mempunyai letak yang sangat strategis,
yang merupakan pintu gerbang masuk melalui darat, laut dan maupun udara ke
kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Barat ataupun ke propinsi lain yang ada di
Pulau Sumatra. Secara geografis Kota Padang berbatasan langsung dengan :
·
Sebelah utara dengan Kabupaten Padang Pariaman
·
Sebelah barat dengan Samudra Hindia dan
Kabupaten Kepulauan Mentawai.
·
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pesisir
Selatan
·
Sebelah Timur dengan Kab. Solok.
Menyangkut HUT Kota
Padang yang ditetapkan 7 Agustus, itu ada dasarnya, yaitu Keputusan Walikota
Madya Kepala Daerah Tingkat II Padang Nomor: 188.45.2.25/SK-SEK 1986 pada
tanggal 1 Agustus 1986. Alasannya, 7 Agustus 1669, VOC jatuh dan mengakui
dengan resmi kedaulatan atas kota-kota yang diduduki Belanda, termasuk Kota
Padang.
Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang
setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu
Pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil
Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat
dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas.
Kemudian Belanda datang
mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta
udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada Tahun 1660 melalui perjanjian
dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung. Tahun 1667 membuat Loji yang
berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya dikuasai pula
demi alasan keamanan.
Kota
Padang pada masa penjajahan Belanda
Kota
Padang mulai berkembang sejak kehadiran VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) pada tahun 1663, yang kemudian diiringi dengan migrasi penduduk
Minangkabau dari kawasan luhak.
Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan di kawasan
tersebut untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman
Minangkabau.
Pada
tahun 1668,
VOC berhasil mengusir pengaruh Aceh di
sepanjang pesisir pantai barat Sumatera, kemudian melalui regent Jacob Pits meminta Raja Pagaruyung untuk kembali
melakukan hubungan dagang.
Selanjutnya,
VOC membangun kota ini menjadi kota pelabuhan dan pemukiman baru di pantai
barat Sumatera. Kemudian, pada tanggal 7 Agustus 1669, terjadi pergolakan
masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Peristiwa ini
kemudian diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.
7
Agustus 1669
Puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto
Tangah melawan Belanda dengan menguasai Loji-Loji Belanda di Muaro, Padang.
Peristiwa tersebut diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.
20
Mei 1784
Belanda menetapkan Padang sebagai
pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Padang menjadi
lebih ramai setelah adanya pelabuhan Teluk Bayur Pada tahun 1797, diperkirakan pernah terjadi gempa bumi berkekuatan
8.5–8.7 skala Richter, dan menimbulkan tsunami yang
melanda pesisir kota Padang, menyebabkan kerusakan pada kawasan Air Manis.
31
Desember 1799
Seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah
Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat
kedudukan Residen. Pada
tahun 1833,
residen James du Puy melaporkan terjadi gempa bumi di Padang, para ahli
memperkirakan berkekuatan 8.6-8.9 skala Richter serta menimbulkan tsunami.
Pada tahun 1837, kota Padang
dijadikan pusat pemerintahan wilayah Gouvernement Sumatra's Westkust yang meliputi Sumatera
Barat dan Tapanuli. Pada 1 Maret 1906, dikeluarkan
ordonansi (STAL 1906 No.151) oleh pemerintah Hindia-Belanda yang
menetapkan Padang sebagai daerah gemeente,
berlaku sejak 1 April 1906.
1
Maret 1906
Lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai
daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906.
Menjelang
masuknya tentara pendudukan Jepang pada tanggal 17 Maret 1942, kota Padang telah
ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena kepanikan mereka, dan disaat
bersamaan Soekarno sempat
tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya turut
serta melarikan diri ke Australia.
Kemudian
panglima Angkatan Darat Jepang untuk Sumatera menemuinya untuk merundingkan
nasib Indonesia selanjutnya. Setelah Jepang dapat mengendalikan situasi, kota
ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk urusan pembangunan dan
pekerjaan umum.
Awal
kemerdekaan
Berita
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, baru sampai ke kota
Padang sekitar akhir bulan Agustus, namun pada tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu
telah masuk ke kota Padang melalui pelabuhan Teluk Bayur, dan kemudian kota
ini diduduki selama 15 bulan.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar
Jaar diangkat sebagai walikota pertama kota Padang, yang merupakan
seorang pamong sejak zaman Belanda, yang
kemudian menjadi residen di Sumatera
Utara.
Pada tanggal 15 Agustus 1946 dipilih Bagindo
Azizchan sebagai walikota
kedua, atas usulan Residen Mr. St. M. Rasjid, seiring dengan keadaan negara
dalam situasi darurat perang akibat munculnya agresi Belanda. Kemudian
pada tanggal 19 Juli 1947, Belanda
melancarkan sebuah serangan militer dalam kota Padang. Bagindo Azizchan yang
waktu itu berada di Lapai ikut tewas terbunuh sewaktu menjalankan tugasnya
sebagai kepala pemerintahan kota Padang.
9
Maret 1950
Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan
negara bagian melalui SK. Presiden RI Serikat (RIS), No.111 tanggal 9 Maret
1950.
15
Agustus 1950
SK. Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50,
tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu
daerah otonom sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948.
Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah
ke Walikota Padang.
Untuk menghindari kekosongan pemerintahan, Said Rasad dipilih sebagai penganti, dan menjadi
Walikota ketiga. Kemudian, ia memindahkan pusat pemerintahan ke kota Padangpanjang. Namun, pada bulan September 1947,
Belanda menunjuk Dr. A. Hakim, untuk menjadi walikota
Padang.
Pada awal tahun 1950-an, sewaktu Dr. Rasidin menjadi walikota Padang, ia
mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan becak sebagai sarana transportasi angkutan
umum di kota Padang, karena dianggap kurang manusiawi. Kemudian, di tahun 1956, B. Dt. Pado Panghulu,
seorang penghulu dari kota
Bukittinggi, terpilih sebagai walikota Padang berikutnya. Tidak lama kemudian, pecah ketegangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
15 Februari 1958
Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI)
dideklarasikan. Selanjutnya, PRRI yang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah pusat dihancurkan
dengan pengiriman kekuatan militer terbesar yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Akibat peristiwa ini juga, terjadi
eksodus besar-besaran suku
Minangkabau ke daerah lain.
Setelah PRRI, pada tanggal 31 Mei 1958, Z. A. St. Pangeran dilantik menjadi walikota Padang yang
ketujuh, dengan setumpuk beban berat. Selain melanjutkan pembangunan, ia juga
harus memulihkan kondisi psikologis masyarakat yang tercabik akibat perang
saudara. Namun pada pertengahan
tahun 1966, dia dipaksa
mundur dari jabatannya oleh para mahasiswa.
29
Mei 1958
SK. Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958,
tanggal 29 Mai 1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota
propinsi Sumatera Barat.
Orde
baru
Setelah runtuhnya demokrasi terpimpin pasca Gerakan 30 September, dan kemudian muncul
istilah Orde Baru, pada tahun 1966, Drs. Azhari terpilih
sebagai walikota Padang yang kedelapan. Pada
tahun 1967, ia digantikan
oleh Drs. Akhiroel
Yahya sebagai walikota
kesembilan. Pada tahun 1971, Drs. Hasan
Basri Durin terpilih sebagai
walikota Padang.
Tahun
1975
Secara de
jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya
UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan Kotamadya
Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh
seorang Walikota.