Friday, July 19, 2019

Hubungan Leluhur & Kembalinya Kejayaan Nusantara



HUBUNGAN KEJAYAAN NUSANTARA
DENGAN PARA LELUHUR BANGSA




Prakata
Kematian bukanlah the ending atau “riwayat” yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di dimensi bumi. Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan.

Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati. Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi cahaya yang menyelimuti sukma. Bagi orang Jawa yang belum kajawan khususnya, hubungan dengan leluhur atau orang-orang yang telah menurunkannya selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai kapanpun. Bahkan masih bisa terjadi interaksi antara leluhur dengan anak turunnya.

Interaksi tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang terbiasa mengolah rahsa sejati. Dalam tradisi Jawa dipahami bahwa di satu sisi leluhur dapat njangkung dan njampangi (membimbing dan mengarahkan) anak turunnya agar memperoleh kemuliaan hidup. Di sisi lain, anak-turunnya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan rasa berbakti sebagai wujud balas budinya kepada orang-orang yang telah menyebabkan kelahirannya di muka bumi.

Sadar atau tidak warisan para leluhur kita & leluhur nusantara berupa tanah perdikan (kemerdekaan), ilmu, ketentraman, kebahagiaan bahkan harta benda masih bisa kita rasakan hingga kini.


Ada Apa di Balik NUSANTARA
Bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang ada di muka bumi. Perbedaan paling mencolok adalah jerih payahnya saat membangun dan merintis berdirinya bangsa sebesar nusantara ini. Kita semua paham bila berdirinya bangsa dan negara Indonesia berkat perjuangan heroik para leluhur kita.

Dengan mengorbankan harta-benda, waktu, tenaga, pikiran, darah, bahkan pengorbanan nyawa. Demi siapakah ? Bukan demi kepentingan diri mereka sendiri, lebih utama demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak turunnya, para generasi penerus bangsa termasuk kita semua yang sedang membaca tulisan ini.

Penderitaan para leluhur bangsa bukanlah sembarang keprihatinan hidup. Jika dihitung sejak masa kolonialisme bangsa Barat di bumi nusantara, para leluhur perintis bangsa melakukan perjuangan kemerdekaan selama kurang-lebih dari 350 tahun lamanya. Belum lagi jika dihitung dari era jatuhannya Kerajaan Majapahit yang begitu menyakitkan hati.

Perjuangan bukan saja menguras tenaga dan harta benda, bahkan telah menggilas kesempatan hidup, menyirnakan kebahagiaan, memberangus ketentraman lahir dan batin, hati yang tersakiti, ketertindasan, harga diri yang diinjak dan terhina. Segala perjuangan, penderitaan dan keprihatinan menjadi hal yang tak terpisahkan karena, perjuangan dilakukan dalam suasana yang penuh kekurangan. Kurang sandang pangan, kurang materi, dan kekurangan dana. Itulah puncak penderitaan hidup yang lengkap mencakup multi dimensi.

Penderitaan berada pada titik nadzir dalam kondisi sedih, nelangsa, perut lapar, kekurangan senjata, tak cukup beaya namun kaki harus tetap tegap berdiri melakukan perlawanan mengusir imperialism dan kolonialism tanpa kenal lelah dan pantang mengeluh.

Tak ada yang dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :
1.  Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.

2.  Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer) dengan karakter masyarakatnya pula.

3.  Mencermati dan menghayati semua peringatan (wewaler) yang diwasiatkan para leluhur, menghindari pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.

4.  Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain. Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, “menggunting dalam lipatan”.

5.  Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam mendoakannya agar mendapat tempat kamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada  buruknya kita meluhurkan leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.

6.  Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu. Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah milik bersama seluruh warga negara Indonesia.

Generasi Durhaka
Kesadaran kita bahwa bangsa ini dulunya adalah bangsa yang besar dalam arti kejayaannya, kemakmurannya, kesuburan alamnya, kekayaan dan keberagaman akan seni dan budayanya, ketinggian akan filsafat kehidupannya, menumbuhkan sikap bangga kita hidup di negeri ini.

Namun bila mencermati dengan seksama apa yang di lakukan para generasi penerus bangsa saat ini terutama yang sedang memegang tampuk kekuasaan kadang membuat perasaan kita terpuruk bahkan sampai merasa tidak lagi mencintai negara Indonesia berikut produk-produknya.

Di sisi lain beberapa kelompok masyarakat seolah-olah menginginkan perubahan mendasar (asas) kenegaraan dengan memandaang pesimis dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa yang telah ada dan diretas melalui proses yang teramat berat dan berabad-abad lamanya.

Golongan mayoritas terkesan kurang menghargai golongan minoritas. Keadilan dilihat dari kacamata subyektif, menurut penafsiran pribadi, sesuai kepentingan kelompok dan golongannya sendiri. Kepentingan yang kuat meniadakan kepentingan yang lemah.

Kepentingan pribadi atau kelompok diklaim atas nama kepentingan rakyat. Untuk mencari menangnya sendiri orang sudah berani lancang mengklaim tindakannya atas dasar dalil agama (kehendak Tuhan). Ayat dan simbol-simbol agama dimanipulasi untuk mendongkrak dukungan politik. Watak inilah yang mendominasi potret generasi yang durhaka pada para leluhur perintis bangsa di samping pula menghianati amanat penderitaan rakyat.

Celakanya banyak pecundang negeri justru mendapat dukungan mayoritas. Nah, siapa yang sudah keblinger, apakah pemimpinnya, ataukah rakyatnya, atau mungkin pemikiran saya pribadi ini yang tak paham realitas obyektif. Kenyataan betapa sulit menilai suatu ralitas obyektif, apalagi di negeri ini banyak sekali terjadi manipulasi data-data sejarah dan gemar mempoles kosmetik sebagai pemanis kulit sebagai penutup kebusukan.


“Dosa” Anak Kepada Ibu (Pertiwi)
Leluhur bumi nusantara bagaikan seorang ibu yang telah berjasa terlampau besar kepada anak-anaknya. Sekalipun dikalkulasi secara materi tetap terasa kita tak akan mampu melunasi “hutang” budi-baik orang tua kita dengan cara apapun. Orang tua kita telah mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan kita hari demi hari hingga dewasa.

Sedangkan kita tak pernah bisa melakukan hal yang sama kepada orang tua kita. Demikian halnya dengan para leluhur perintis bangsa. Bahkan kita tak pernah bisa melakukan sebagaimana para leluhur lakukan untuk kita. Apalagi beliau-beliau telah lebih dulu pergi meninggalkan kita menghadap Hyang Widhi (Tuhan YME).

Diakui atau tidak, banyak sekali kita berhutang jasa kepada beliau-beliau para leluhur perintis bangsa. Sebagai konsekuensinya atas tindakan pengingkaran dan penghianatan kepada leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu (pertiwi) kita sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu dahsyat. Itulah pentingnya kita tetap nguri-uri atau memelihara dan melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang telah menurunkan kita khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada umumnya.

Penghianatan generasi penerus terhadap leluhur bangsa, sama halnya kita menabur perbuatan durhaka yang akan berakibat menuai malapetaka untuk diri kita sendiri.

Sudah menjadi kodrat alam (baca; kodrat ilahi) sikap generasi penerus bangsa yang telah mendurhakai para leluhur perintis bumi pertiwi dapat mendatangkan azab, malapetaka besar yang menimpa seantero negeri. Sikap yang “melacurkan” bangsa, menjual aset negara secara ilegal, merusak lingkungan alam, lingkungan hidup, hutan, sungai, pantai.

Tidak sedikit para penanggungjawab negeri melakukan penyalahgunaan wewenangnya dengan cara “ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut wuri nyilakani”. Tatkala berkuasa menggunakan aji mumpung,  sebagai kelas menengah selalu menyulitkan orang, jika menjadi rakyat gemar mencelakai.

Seharusnya ing ngarsa asung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.  Walaupun tidak semua orang melakukan perbuatan durhaka namun implikasinya dirasakan oleh semua orang. Sekilas tampak tidak adil, namun ada satu peringatan penting yang perlu diketahui bahwa, hanya orang-orang  yang selalu eling dan waspada yang akan selamat dari malapetaka negeri ini.


Rumus Yang Tergelar
Saya tergerak untuk membuat tulisan ini setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan sbb; apakah kembalinya kejayaan nusantara tergantung dengan peran leluhur ? jawabnya, TIDAK ! melainkan tergantung pada diri kita sendiri sebagai generasi penerus bangsa.

Meskipun demikian bukan berarti menganulir peran leluhur terhadap nasib bangsa saat ini. Peran leluhur tetap besar hanya saja tidak secara langsung. Keprihatinan luar biasa leluhur nusantara di masa lampau dalam membangun bumi nusantara, telah menghasilkan sebuah “rumus” besar yang boleh dikatakan sebagai hukum atau kodrat alam.

Setelah keprihatinan dan perjuangan usai secara tuntas, “rumus” baru segera tergelar sedemikian rupa. Rumus berlaku bagi seluruh generasi penerus bangsa yang hidup sebagai warga negara Indonesia dan siapapun yang mengais rejeki di tanah perdikan nusantara.

Kendatipun demikian generasi penerus memiliki dua pilihan yakni, apakah akan menjalani roda kehidupan yang sesuai dalam koridor “rumus” besar atau sebaliknya, berada  di luar “rumus” tersebut. Kedua pilihan itu masing-masing memiliki konsekuensi logis. Filsafat hidup Kejawen selalu wanti-wanti ; aja duwe watak kere, “jangan gemar menengadahkan tangan”.

Sebisanya jangan sampai berwatak ingin selalu berharap jasa (budi) baik atau pertolongan dan bantuan dari orang lain, sebab yang seperti itu abot sanggane, berat konsekuensi dan tanggungjawab kita di kemudian hari. Bila kita sampai lupa diri apalagi menyia-nyiakan orang yang pernah memberi jasa (budi) baik kepada kita, akan menjadikan sukerta dan sengkala. Artinya membuat kita sendiri celaka akibat ulah kita sendiri.

Leluhur melanjutkan wanti-wantinya pada generasi penerus, agar supaya ; tansah eling sangkan paraning dumadi. Mengingat jasa baik orang-orang yang telah menghantarkan kita hingga meraih kesuksesan pada saat ini. Mengingat dari siapa kita dilahirkan, bagaimana jalan kisah, siapa saja yang terlibat mendukung, menjadi perantara, yang memberi nasehat dan saran, hingga kita merasakan kemerdekaan dan ketenangan lahir batin di saat sekarang. Sementara itu, generasi durhaka adalah generasi yang sudah tidak eling sangkan paraning dumadi.


Tugas dan Tanggungjawab Generasi Bangsa
Sebagai generasi penerus bangsa yang telah menanggung banyak sekali hutang jasa dan budi baik para leluhur masa lalu, tak ada pilihan yang lebih tepat selain harus mengikuti rumus-rumus yang telah tergelar.

Sebagaimana ditegaskan dalam serat Jangka Jaya Baya serta berbagai pralampita, kelak negeri ini akan mengalami masa kejayaan kembali yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, bilamana semua suku bangsa kembali nguri-uri kebudayaan, menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal (local wisdom), masing-masing suku kembali melestarikan tradisi peninggalan para leluhur nusantara. Khususnya bagi orang Jawa yang sudah hilang kejawaannya (kajawan) dan berlagak sok asing, bersedia kembali menghayati nilai luhur kearifan lokal.

Demikian pula suku Melayu, Dayak, Papua, Minang, Makasar, Sunda, Betawi, Madura, Tana Toraja, Dayak dst, kembali menghayati tradisi dan budaya lokal yang kaya akan nilai-nilai luhur. Bagaimanapun kearifan lokal memiliki keunggulan yakni lebih menyatu dan menjiwai (manjing ajur ajer) serta lebih mengenal secara cermat karakter alam dan masyarakat setempat. Desa mawa cara, negara mawa tata. Masing-masing wilayah atau daerah memiliki aturan hidup dengan menyesuaikan situasi dan kondisi alamnya.

Tradisi dan budaya  setempat adalah “bahasa” tak tertulis sebagai buah karya karsa, cipta, dan karsa manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta. Orang yang hidup di wilayah subur makmur akan memiliki karakter yang lembut, santun, toleran, cinta damai namun agak pemalas. Sebaliknya orang terbiasa hidup di daerah gersang, sangat panas, sulit pangan, akan memiliki karakter watak yang keras, temperamental, terbiasa konflik dan tidak mudah toleran.

Indonesia secara keseluruhan dinilai oleh manca sebagai masyarakat yang berkarakter toleran, penyabar, ramah, bersikap terbuka. Namun apa jadinya jika serbuan budaya asing bertubi-tubi menyerbu nusantara dengan penuh keangkuhan (tinggi hati) merasa paling baik dan benar sedunia.  Apalagi budaya yang dikemas dalam moralitas agama, atau sebaliknya moralitas agama yang mengkristal menjadi kebiasaan dan tradisi. Akibat terjadinya imperialisme budaya asing, generasi bangsa ini sering keliru dalam mengenali siapa jati dirinya.

Menjadi bangsa yang kehilangan arah, dengan “falsafah hidup” yang tumpang-tindih dan simpang-siur menjadikan doktrin agama berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang lebih membumi. Ditambah berbagai pelecehan konstitusi oleh pemegang tampuk kekuasaan semakin membuat keadaan carut-marut dan membingungkan. Tidak sekedar mengalami kehancuran ekonomi, lebih dari itu bangsa sedang menuju di ambang kehancuran moral, identitas budaya, dan spiritual.

Kini, saatnya generasi penerus bangsa kembali mencari identitas jati dirinya, sebelum malapetaka datang semakin besar. Mulai sekarang juga, mari kita semua berhenti menjadi generasi durhaka kepada “orang tua” (leluhur perintis bangsa). Kembali ke pangkuan ibu pertiwi, niscaya anugrah kemuliaan dan kejayaan bumi nusantara akan segera datang kembali.


Friday, July 5, 2019

Falsafah Hidup Kejawen



Dasar-dasar Falsafah Hidup Kejawen : Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Bèrbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik


A.  Ketuhanan
1.     Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan langgeng, sing nganakake jagad iki saisine, dadi sesembahane wong sak alam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe. (Tuhan itu tunggal, ada di mana-mana, yang menciptakan jagad raya seisinya, disembah seluruh manusia sejagad dengan caranya masing-masing)
2.     Pangeran iku ana ing ngendi papan, aneng siro uga ana pangeran, nanging aja siro wani ngaku pangeran. (Tuhan ada di mana saja, di dalam dirimu juga ada, namun kamu jangan berani mengaku sebagai Tuhan)
3.     Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan. (Tuhan itu berada jauh namun tidak ada jarak, dekat tidak bersentuhan)
4.     Pangeran iku langgeng, tan kena kinaya ngapa, sangkan paraning dumadi. (Tuhan itu abadi dan tak bisa diperumpamakan, menjadi asal dan tujuan  kehidupan)
5.     Pangeran iku bisa mawujud, nanging wewujudan iku dudu Pangeran. (Tuhan itu bisa mewujud namun perwujudannya bukan Tuhan)
6.     Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, akarya alam saisine, kang katon lan kang ora kasat mata. (Tuhan berkuasa tanpa alat dan pembantu, mencipta alam dan seluruh isinya, yang tampak dan tidak tampak)
7.     Pangeran iku ora mbedak-mbedakake kawulane. (Tuhan itu tidak membeda-bedakan (pilih kasih) kepada seluruh umat manusia)
8.     Pangeran iku maha welas lan maha asih, hayuning bawana marga saka kanugrahaning Pangeran. (Tuhan Maha Belas-Kasih, bumi terpelihara berkat anugrah Tuhan)
9.     Pangeran iku maha kuwasa, pepesthen saka karsaning Pangeran ora ana sing bisa murungake. (Tuhan itu Mahakuasa, takdir ditentukan atas kehendak Tuhan, tiada yang bisa membatalkan kehendak Tuhan)
10.  Urip iku saka Pangeran, bali marang Pangeran. (Kehidupan  berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan)
11.  Pangeran iku ora sare.  (Tuhan tidak pernah tidur)
12.  Beda-beda pandumaning dumadi.  (Tuhan membagi anugrah yang berbeda-beda)
13.  Pasrah marang Pangeran iku ora ateges ora gelem nyambut gawe, nanging percaya yen Pangeran iku maha Kuwasa. Dene kasil orane apa kang kita tuju kuwi saka karsaning Pangeran. (Pasrah kepada Tuhan bukan berarti enggan bekerja, namun percaya bahwa Tuhan Menentukan)
14.  Pangeran nitahake sira iku lantaran biyung ira, mulo kudu ngurmat biyung ira. (Tuhan mencipta manusia dengan media ibumu, oleh sebab itu hormatilah ibumu)
15.  Sing bisa dadi utusaning Pangeran iku ora mung jalma manungsa wae. (Yang bisa menjadi utusan Tuhan bukan hanya manusia saja)
16.  Purwa madya wasana. (zaman awal/ sunyaruri, zaman tengah/ mercapada, zaman akhir/ keabadian)
17.  Owah gingsiring kahanan iku saka karsaning Pangeran kang murbeng jagad. (Berubahnya keadaan itu atas kehendak Tuhan yang mencipta alam)
18.  Ora ana kasekten sing madhani pepesthen awit pepesthen iku wis ora ana sing bisa murungake. (Tak ada kesaktian yang menyamai takdir Tuhan, sebab takdir itu tidak ada yang bisa membatalkan)
19.  Bener kang asale saka Pangeran iku lamun ora darbe sipat angkara murka lan seneng gawe sangsaraning liyan. (Bener yang menurut Tuhan itu bila tidak memiliki sifat angkara murka dan gemar membuat kesengsaraan orang lain)
20.  Ing donya iki ana rong warna sing diarani bener, yakuwi bener mungguhing Pangeran lan bener saka kang lagi kuwasa. (Kebenaran di dunia ada dua macam, yakni benar menurut Tuhan dan benar menurut penguasa)
21.  Bener saka kang lagi kuwasa iku uga ana rong warna, yakuwi kang cocok karo benering Pangeran lan kang ora cocok karo benering Pangeran. (Benar menurut penguasa juga memiliki dua macam jenis yakni cocok dengan kebenaran menurut Tuhan dan tidak cocok dengan kebenaran Tuhan)
22.  Yen cocok karo benering Pangeran iku ateges bathara ngejawantah, nanging yen ora cocok karo benering Pangeran iku ateges titisaning brahala. (Kebenaran yang sesuai dengan kebenaran menurut Tuhan, itu berarti tuhan yang mewujud, namun bila tidak sesuai dengan kebenaran menurut Tuhan, berarti penjelmaan angkara)
23.  Pangeran iku dudu dewa utawa manungsa, nanging sakabehing kang ana iki uga dewa lan manungsa asale saka Pangeran. (Tuhan itu bukan dewa atau manusia, namun segala yang ada (dewa dan manusia) adanya berasal dari Tuhan.
24.  Ala lan becik iku gandengane, kabeh kuwi saka karsaning Pangeran. (Keburukan dan kebaikan merupakan satu kesatuan, semua itu sudah menjadi rumus/kehendak Tuhan)
25.  Manungsa iku saka dating Pangeran mula uga darbe sipating Pangeran. (Manusia berasal dari zat Tuhan, maka manusia memiliki sifat-sifat Tuhan)
26.  Pangeran iku ora ana sing Padha, mula aja nggambar-nggambarake wujuding Pangeran. (Tidak ada yang menyerupai Tuhan,  maka janganlah melukiskan dan menggambarkan wujud tuhan)
27.  Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, mula saka kuwi aja darbe pangira yen manungsa iku bisa dadi wakiling Pangeran. (Tuhan berkuasa tanpa perlu pembantu, maka jangan menganggap manusia menjadi wakil Tuhan di bumi)
28.  Pangeran iku kuwasa, dene manungsa iku bisa. (Tuhan itu Mahakuasa, sementara itu manusia hanyalah bisa)
29.  Pangeran iku bisa ngowahi kahanan apa wae tan kena kinaya ngapa. (Tuhan mampu merubah keadaan apa saja tanpa bisa dibayangkan/perumpamakan)
30.  Pangeran bisa ngrusak kahanan kang wis ora diperlokake, lan bisa gawe kahanan anyar kang diperlokake. (Tuhan mampu merusak keadaan yang tidak diperlukan lagi, dan bisa membuat keadaan baru yang diperlukan)
31.  Watu kayu iku darbe dating Pangeran, nanging dudu Pangeran. (Batu dan kayu adalah milik zat Tuhan, namun bukanlah Tuhan)
32.  Manungsa iku bisa kadunungan dating Pangeran, nanging aja darbe pangira yen manungsa mau bisa diarani Pangeran. (Di dalam manusia dapat bersemayam zat tuhan, akan tetapi jangan merasa bila manusia boleh disebut Tuhan)
33.  Titah alus lan titah kasat mata iku kabeh saka Pangeran, mula aja nyembah titah alus nanging aja ngina titah alus. (Makhluk halus dan makhluk kasar/wadag semuanya berasal dari tuhan, maka dari itu jangan menyembah makhluk halus, namun juga jangan menghina makluk halus)
34.  Samubarang kang katon iki kalebu titah kang kasat mata, dene liyane kalebu titah alus. (Semua yang tampak oleh mata termasuk makhluk kasat mata, sedangkan lainnya termasuk makhluk halus)
35.  Pangeran iku menangake manungsa senajan kaya ngapa. (Tuhan memenangkan manusia walaupun seperti apa manusia itu)
36.  Pangeran maringi kawruh marang manungsa bab anane titah alus mau. (Tuhan memberikan pengetahuan kepada manusia tentang eksistensi makhluk halus)
37.  Titah alus iku ora bisa dadi manungsa lamun manungsa dhewe ora darbe penyuwun marang Pangeran supaya titah alus mau ngejawantah. (Makhluk halus tidak bisa menjadi manusia bila manusia tidak punya permohonan kepada Tuhan agar makhluk halus menampakkan diri)
38.  Sing sapa wani ngowahi kahanan kang lagi ana, iku dudu sadhengah wong, nanging minangka utusaning Pangeran. (Siapa yang berani merubah keadaan yang terjadi, bukanlah sembarang orang, namun sebagai “utusan” tuhan)
39.  Sing sapa gelem nglakoni kabecikan lan ugo gelem lelaku, ing tembe bakal tampa kanugrahaning Pangeran. (Siapa saja yang bersedia melaksanakan kebaikan dan juga mau “lelaku” prihatin, kelak akan memperoleh anugrah tuhan)
40.  Sing sapa durung ngerti lamun piyandel iku kanggo pathokaning urip, iku sejatine durung ngerti lamun ana ing donyo iki ono sing ngatur. (siapa yang belum paham, lalu menganggap sipat kandel itu sebagai rambu-rambu hidup, yang demikian itu sesungguhnya belum memahami bila di dunia ini ada yang mengatur)
41.  Sakabehing ngelmu iku asale saka Pangeran kang Mahakuwasa. (Semua ilmu berasal dari Tuhan yang Mahakuasa)
42.  Sing sapa mikani anane Pangeran, kalebu urip kang sempurna. (Siapa yang mengetahui adanya Tuhan, termasuk hidup dalam kesempurnaan).

B. Kebatinan
1.     Dumadining sira iku lantaran anane bapa biyung ira. (Lahirnya manusia karena berkat adanya kedua orang tua)
2.     Manungsa iku kanggonan sipating Pangeran. (Di dalam manusia tedapat sifat-sifat Tuhan)
3.     Titah alus iku ana patang warna, yakuwi kang bisa mrentah manungsa nanging ya bisa mitulungi manungsa, kapindho kang bisa mrentah manungsa nanging ora mitulungi manungsa, katelu kang ora bisa mrentah manungsa nanging bisa mitulungi manungsa, kapat kang ora bisa mrentah manungsa nanging ya ora bisa mrentah manungsa.
(Makhluk halus ada empat macam, pertama ; yang bisa memerintah manusia namun bisa juga menolong manusia. Kedua; yang bisa memerintah manusia namun tidak bisa menolong manusia. Ketiga ; yang tidak bisa memerintah manusia namun bisa menolong manusia. Keempat ; yang tidak bisa memerintah manusia namun juga tak bisa diperintah manusia.
4.     Lelembut iku ana rong warna, yakuwi kang nyilakani lan kang mitulungi. (Makhluk halus ada dua macam; yang mencelakai dan yang menolong)
5.     Guru sejati bisa nuduhake endi lelembut sing mitulungi lan endi lelembut kang nyilakani. (Guru Sejati bisa memberikan petunjuk mana makhluk halus yang bisa menolong dan mana yang mencelakakan)
6.     Ketemu Gusti iku lamun sira tansah eling.  (“Bertemu” Tuhan dapat dicapai dengan cara selalu eling)
7.     Cakra manggilingan. (Kehidupan manusia akan seperti roda yang selalu berputar, kadang di bawah kadang di atas. Hukum sebab akibat dan memungkinkan terjadi penitisan)
8.     Jaman iku owah gingsir. (Zaman akan selalu mengalami perubahan)
9.     Gusti iku dumunung ana atining manungsa kang becik, mulo iku diarani Gusti iku bagusing ati. (Tuhan berada di dalam hati manusia yang baik, oleh sebab itu disebut Gusti (bagusing ati)
10.  Sing sapa nyumurupi dating Pangeran iku ateges nyumurupi awake dhewe. Dene kang durung mikani awake dhewe durung mikani dating Pangeran. (Siapa yang mengetahui zat Tuhan berarti mengetahui dirinya sendiri. Sedangkan bagi yang belum memahami jati dirinya sendiri maka tidak mengetahui pula zat Tuhan)
11.  Kahanan donya ora langgeng, mula aja ngegungake kesugihan lan drajat ira, awit samangsa ana wolak-waliking jaman ora ngisin-ngisini. (Keadaan dunia tidaklah abadi, maka jangan mengagungkan kekayaan dan derajat pangkat, sebab bila sewaktu-waktu terjadi zaman serba berbalik tidak menderita malu)
12.  Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir, mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah. (Keadaan yang ada sekarang ini tidak akan berlangsung lama pasti akan mengalami perubahan, maka dari itu janganlah lupa kepada sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan)
13.  Lamun sira kepengin wikan marang alam jaman kelanggengan, sira kudu weruh alamira pribadi. Lamun sira durung mikan alamira pribadi adoh ketemune. (Bila kamu ingin mengetahui alam di zaman kelanggengan. Kamu harus memahami alam jati diri (jagad alit), bila kamu belum paham jati dirimu, maka akan sulit untuk menemukan (alam kelanggengan)
14.  Yen sira wus mikani alamira pribadi, mara sira mulanga marang wong kang durung wikan.  (Jika kamu sudah memahami jati diri, maka ajarilah orang-orang yang belum memahami)
15.  Lamun sira wus mikani alamira pribadi, alam jaman kelanggengan iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan. (Bila kamu sudah mengetahui sejatinya diri pribadi, tempat zaman kelanggengan itu seumpama dekat tanpa bersentuhan, jauh tanpa jarak)
16.  Lamun sira durung wikan alamira pribadi mara takono marang wong kang wus wikan.  (Bila anda belum paham jati diri pribadi, datang dan tanyakan kepada orang yang telah paham)
17.  Lamun sira durung wikan kadangira pribadi, coba dulunen sira pribadi. (Bila anda belum paham saudaramu yang sejati, carilah hingga ketemu dirimu pribadi)
18.  Kadangira pribadi ora beda karo jeneng sira pribadi, gelem nyambut gawe. (“Saudara sejati” mu tidak berbeda dengan diri pribadimu, bersedia bekerja)
19.  Gusti iku sambaten naliko sira lagi nandang kasangsaran. Pujinen yen sira lagi nampa kanugrahaning Gusti.  (Pintalah Tuhan bila anda sedang menderita kesengsaraan, pujilah bila anda sedang menerima anugrah)
20.  Lamun sira pribadi wus bisa caturan karo lelembut, mesthi sira ora bakal ngala-ala marang wong kang wus bisa caturan karo lelembut. (Bila anda sudah bisa bercakap-cakap dengan makhluk halus, pasti anda tidak akan menghina dan mencela orang yang sudah bisa bercakap-cakap dengan makhluk halus)
21.  Sing sapa nyembah lelembut iku keliru, jalaran lelembut iku sejatine rowangira, lan ora perlu disembah kaya dene manembah marang Pangeran.  (Siapa yang menyembah lelembut adalah tindakan keliru, sebab lelembut sesungguhnya teman mu sendiri)
22.  Weruh marang Pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe, lamun durung weruh awake dhewe, tangeh lamun weruh marang Pangeran. (Memahami tuhan berarti sudah memahami diri sendiri, jika belum memahami jati diri, mustahil akan memahami Tuhan)
23.  Sing sapa seneng ngrusak katentremane liyan bakal dibendu dening Pangeran lan diwelehake dening tumindake dhewe. (Siapa yang gemar merusak ketentraman orang lain, pasti akan dihukum oleh Tuhan dan dipermalukan oleh perbuatannya sendiri)
24.  Lamun ana janma ora kepenak, sira aja lali nyuwun pangapura marang Pangeranira, jalaran Pangeranira bakal aweh pitulungan. (Walaupun mengalami zaman susah, namun janganlah lupa mohon ampunan kepada Tuhan, sebab Tuhan akan memberikan pertolongan)
25.  Gusti iku dumunung ana jeneng sira pribadi, dene ketemune Gusti lamun sira tansah eling. (Tuhan ada di dalam diri pribadi, dapat anda ketemukan dengan cara selalu eling)

C. Filsafat Kemanusiaan
1.     Rame ing gawe sepi ing pamrih, memayu hayuning bawana. (Giat bekerja/membantu dengan tanpa pamrih, memelihara alam semesta /mengendalikan nafsu)
2.     Manungsa sadrema nglakoni, kadya wayang umpamane. (Manusia sekedar menjalani apa adanya, seumpama wayang)
3.     Ati suci marganing rahayu. (Hati yang suci menjadi jalan menuju keselamatan jiwa dan raga)
4.     Ngelmu kang nyata, karya reseping ati.  (Ilmu yang sejati, membuat tenteram di hati)
5.     Ngudi laku utama kanthi sentosa ing budi. (Menghayati perilaku mulia dengan budi pekerti luhur)
6.     Jer basuki mawa beya. (Setiap usaha memerlukan beaya)
7.     Ala lan becik dumunung ana awake dhewe.  (Kejahatan dan kebaikan terletak di dalam diri pribadi)
8.     Sing sapa lali marang kebecikaning liyan, iku kaya kewan. (Siapa yang lupa akan amal baik orang lain, bagaikan binatang)
9.     Titikane aluhur, alusing solah tingkah budi bahasane lan  legawaning ati, darbe sipat berbudi bawaleksana.  (Ciri khas orang mulia yakni, perbuatan dan sikap batinnya halus , tutur kata yang santun, lapang dada, dan mempunyai sikap wibawa luhur budi pekertinya)
10.  Ngunduh wohing pakarti. (Orang dapat menerima akibat dari ulahnya sendiri)
11.  Ajining dhiri saka lathi lan budi.  (Berharganya diri pribadi tergantung ucapan dan akhlaknya)
12.  Sing sapa weruh sadurunge winarah lan diakoni sepadha-padhaning tumitah iku kalebu utusaning Pangeran.  (Siapa yang mengetahui sebelum terjadi dan diakui sesama manusia, ia termasuk utusan tuhan)
13.  Sing sapa durung wikan anane jaman kelanggengan iku, aja ngaku dadi janma linuwih. (Siapa yang belum paham adanya zaman keabadian, jangan mengaku menjadi orang linuwih)
14.  Tentrem iku saranane urip aneng donya.  (Ketenteraman adalah sarana menjalani kehidupan di dunia)
15.  Yitna yuwana lena kena. (Eling waspdha akan selamat, yang lengah akan celaka)
16.  Ala ketara becik ketitik. (Yang jahat maupun yang baik pasti akan terungkap juga)
17.  Dalane waskitha saka niteni.  (Cara agar menjadi awas, adalah berawal dari sikap cermat dan teliti)
18.  Janma tan kena kinira kinaya ngapa. (Manusia sulit diduga dan dikira)
19.  Tumrap wong lumuh lan keset iku prasasat wisa, pangan kang ora bisa ajur iku kena diarani wisa, jalaran mung bakal nuwuhake lelara. (Bagi manusia, fakir dan malas menjadi bisa/racun, makanan yang tak bisa hancur dapat disebut sebagai bisa/racun, sebab hanya akan menimbulkan penyakit)
20.  Klabang iku wisane ana ing sirah. Kalajengking iku wisane mung ana pucuk buntut. Yen ula mung dumunung ana ula kang duwe wisa. Nanging durjana wisane dumunung ana ing sekujur badan. (Racun bisa Lipan terletak di kepala, racun bisa kalajengking ada di ujung ekor, racun bisa ular hanya ada pada ular yang berbisa, namun manusia durjana racun bisanya ada di sekujur badan)
21.  Geni murub iku panase ngluwihi panase srengenge, ewa dene umpama ditikelake loro, isih kalah panas tinimbang guneme durjana. (Nyala api panasnya melebihi panas matahari, namun demikian umpama panas dilipatgandakan, masih kalah panas daripada ucapan orang durjana)
22.  Tumprape wong linuwih tansah ngundi keslametaning liyan, metu saka atine dhewe. (Bagi orang linuwih selalu berupaya menjaga keselamatan untuk sesama, yang keluar dari niat suci diri pribadi)
23.  Pangucap iku bisa dadi jalaran kebecikan. Pangucap uga dadi jalaraning pati, kesangsaran, pamitran. Pangucap uga dadi jalaraning wirang.  (Ucapan itu dapat menjadi sarana kebaikan, sebaliknya ucapan bisa pula menyebabkan kematian, kesengsaraan. Ucapan bisa menjadi penyebab menanggung malu)
24.  Sing bisa gawe mendem iku: 1) rupa endah; 2) bandha, 3) dharah luhur; 4) enom umure. Arak lan kekenthelan uga gawe mendem sadhengah wong. Yen ana wong sugih, endah warnane, akeh kapinterane, tumpuk-tumpuk bandhane, luhur dharah lan isih enom umure, mangka ora mendem, yakuwi aran wong linuwih. (Penyebab orang menjadi lupa diri adalah : gemerlap hidup, harta, kehormatan, darah muda. Arak dan minuman juga membuat mabuk sementara orang. Namun bila ada orang kaya, tampan rupawan, banyak kepandaiannya, hartanya melimpah, terhormat, dan masih muda usia, namun semua itu tidak membuat lupa diri, itulah orang linuwih)
25.  Sing sapa lena bakal cilaka. (Siapa terlena akan celaka)
26.  Mulat salira, tansah eling kalawan waspada. (Jadi orang harus selalu mawas diri, eling dan waspadha)
27.  Andhap asor.  (Bersikap sopan dan santun)
28.  Sakbegja-begjane kang lali luwih begja kang eling klawan waspada. (Seberuntungnya orang lupa diri, masih lebih beruntung orang yang eling dan waspadha)
29.  Sing sapa salah seleh. (Siapapun yang bersalah akan menanggung celaka)
30.  Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. (Bertanding tanpa bala bantuan)
31.  Sugih ora nyimpen. (Orang kaya namun dermawan)
32.  Sekti tanpa maguru. (Sakti tanpa berguru, alias dengan menjalani laku prihatin yang panjang)
33.  Menang tanpa ngasorake. (Menang tanpa menghina)
34.  Rawe-rawe rantas malang-malang putung. (Yang mengganggu akan lebur, yang menghalangi akan hancur)
35.  Mumpung anom ngudiya laku utama. (Selagi muda berusahalah selalu berbuat baik)
36.  Yen sira dibeciki ing liyan, tulisen ing watu, supaya ora ilang lan tansah kelingan. Yen sira gawe kebecikan marang liyan tulisen ing lemah, supaya enggal ilang lan ora kelingan.  (Jika kamu menerima kebaikan orang lain, tulislah di atas batu supaya tidak hilang dari ingatan. Namun bila kamu berbuat baik kepada orang lain hendaknya ditulis di atas tanah, supaya segera hilang dari ingatan)
37.  Sing sapa temen tinemu. (Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil)
38.  Melik nggendhong lali. (Pamrih menyebabkan lupa diri)
39.  Kudu sentosa ing budi. (Harus selamat ke dalam jiwa)
40.  Sing prasaja. (Menjadi orang harus bersikap sabar)
41.  Balilu tau pinter durung nglakoni. (Orang bodoh yang sering mempraktekan, kalah pandai dengan orang pinter namun belum pernah mempraktekan)
42.  Tumindak kanthi duga lan prayogo. (Bertindak dengan penuh hati-hati dan teliti/tidak sembrono)
43.  Percaya marang dhiri pribadi. (Bersikaplah percaya diri)
44.  Nandur kebecikan. (Tanamlah selalu kebaikan)
45.  Janma linuwih iku bisa nyumurupi anane jaman kelanggengan tanpa ngalami pralaya dhisik. (Manusia linuwih adalah dapat mengetahui adanya zaman keabadian tanpa harus mati lebih dulu)
46.  Sapa kang mung ngakoni barang kang kasat mata wae, iku durung weruh jatining Pangeran. (Siapa yang hanya mengakui hal-hal kasat mata saja, itulah orang yang belum memahami sejatinya Tuhan)
47.  Yen sira kasinungan ngelmu kang marakake akeh wong seneng, aja sira malah rumangsa pinter, jalaran menawa Gusti mundhut bali ngelmu kang marakake sira kaloka iku, sira uga banjur kaya wong sejene, malah bisa aji godhong jati aking. (Bila anda mendapat anugrah ilmu yang membuat banyak orang senang, janganlah kamu merasa pintar, sebab apabila Tuhan mengambil lagi ilmu yang menyebabkan anda terkenal itu, anda akan menjadi orang biasa lagi, malah lebih bermanfaat daun yang kering)
48.  Sing sapa gelem gawe seneng marang liyan, iku bakal oleh wales kang luwih gedhe katimbang apa kang wis ditindakake. (Barang siapa gemar membuat orang lain bahagia, anda akan mendapatkankan balasan yang lebih besar dari apa yang telah anda lakukan)

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...