Sunday, May 12, 2019

Trah Majapahit (Cerita awal runtuhnya kejayaan)






Dalam pola hubungan kekerabatan atau silsilah di dalam Kraton di Jawa di kenal istilah trah. Menurut arti harfiahnya trah adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas darah dalem atau kusuma trahing narendra, yakni orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga besar secara genealogis dalam hubungan tali darah (tedhaking andana warih).

Banyak sekali orang merasa bangga menjadi anggota suatu trah tertentu namun kebingungan saat menceritakan runtutan silsilah atau trah leluhur yang mana yang menurunkannya. Seyogyanya kita masih bisa menyebut dari mana asal-usul mata rantai leluhur yang menurunkan agar supaya dapat memberikan pengabdian kepada leluhur secara tepat.

Dengan demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya tidak dilakukan dengan asal-asalan tanpa mengetahui siapa persisnya nenek-moyang yang telah menurunkan kita, dan kepada leluhur yang mana harus menghaturkan sembah bakti. Jika kita terputus mengetahui mata rantai tersebut sama halnya dengan mengakui atau meyakini saja sebagai keturunan Adam, namun alur mata rantainya tidak mungkin diuraikan lagi.

Mengetahui tedhaking andana warih membuat kita lebih tepat munjuk sembah pangabekti atau menghaturkan rasa berbakti dan memuliakan leluhur kita sendiri. Jangan sampai seperti generasi durhaka yakni orang-orang kajawan rib-iriban yang tidak memahami hakekat, kekenyangan “makan kulit”, menjunjung setinggi langit leluhur bangsa asing sekalipun harus mengeluarkan beaya puluhan bahkan ratusan juta rupiah tapi tidak mengerti makna sesungguhnya.

Sungguh ironis, sementara leluhurnya sendiri terlupakan dan makamnya dibiarkan merana hanya karena takut dituduh musrik atau khurafat. Cerita ironis dan menyedihkan itu seketika raib tatkala sadar telah mendapatkan label sebagai “orang suci” dan saleh hanya karena sudah meluhurkan leluhur bangsa asing. Ya, itulah kebiasaan sebagian masyarakat yang suka menilai simbol-simbolnya saja, bukan memahami esensinya.

Apakah seperti itu cara kita berterimakasih kepada leluhur yang menurunkan kita sendiri, dan kepada leluhur perintis bangsa? Rupanya mata hati telah tertutup rapat, tiada lagi menyadari bahwa teramat besar jasa para leluhur bangsa kita. Tanpa beliau-beliau pendahulu kita semua yang telah menumpahkan segala perjuangannya demi kehidupan dan kemuliaan anak turun yang mengisi generasi penerus bangsa rasanya kita tak kan pernah hidup saat ini.

Tolok ukur kejayaan nusantara masa lalu adalah kejayaan kerajaan Pajajaran, Sriwijaya dan Majapahit, terutama yang terakhir.  Trah atau garis keturunan kerajaan Majapahit yang masih eksis hingga sekarang, yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi Mangkubumen yakni Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta. Semuanya adalah generasi penerus Majapahit terutama raja terakhir Prabu Brawijaya V. Berikut ini silsilah yang saya ambil secara garis besarnya saja ;

Prabu Brawijaya V mempunyai 3 putra di antaranya adalah :
1. Ratu Pembayun (Lajer Putri)
2. Raden Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub (Lajer Putra)
3. Raden Patah / Jin Bun / Sultan Bintoro Demak I (Lajer Putra; tetapi ibu kandung dari bangsa asing yakni; Putri Cempo dari Kamboja ; beragama Islam)

Trah Ratu Pembayun menurunkan 2 Putra :
1. Ki Ageng Kebo Kanigoro
2. Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging
        Ki Ageng Kebo Kenongo menurunkan 1 Putra: (Lajer Putri)
         1. Mas Karebet / Joko Tingkir / Sultan Hadiwijoyo/ Sultan Pajang I (Lajer Putri)
Sementara itu Raden Patah / Jin Bun / Sultan Bintoro Demak I, menurunkan 2 Putera yakni :
(1) Pangeran Hadipati Pati Unus / Sultan Demak II
(2) Pangeran Hadipati Trenggono / Sultan Demak III
      Keduanya penerus Demak – tetapi akhirnya putus alias demak runtuh karena pemimpinnya tidak kuat.

Kerajaan Demak hanya berlangsung selama 3 periode. Entah ada kaitannya atau tidak namun kejadiannya sebagaimana dahulu pernah diisaratkan oleh Prabu Brawijaya V saat menjelang puput yuswa. Prabu Brawijaya V merasa putranda Raden Patah menjadi anak yang berani melawan orang tua sendiri, Sang Prabu Brawijaya V (Kertabhumi), apapun alasannya. Maka Prabu Brawijaya V bersumpah bila pemerintahan Kerajaan Demak hanya akan berlangsung selama 3 dinasti saja (Raden Patah, Adipati Unus, Sultan Trenggono).

Setelah itu kekuasaa Kerajaan Demak Bintoro akan redup dengan sendirinya. Hal senada disampaikan pula oleh Nyai Ampel Gading kepada cucunda Raden Patah, setiap anak yang durhaka kepada orang tuanya pasti akan mendapat bebendu dari Hyang Mahawisesa.

Dikatakan oleh Nyai Ampel Gading, bahwa Baginda Brawijaya V telah memberikan 3 macam anugrah kepada Raden Patah yakni;
1) daerah kekuasaan yang luas,
2) diberikan Tahta Kerajaan,
3) dipersilahkan menyebarkan agama baru yakni agama sang ibundanya (Putri Cempa) dengan leluasa. Namun Raden Patah tetap menginginkan tahta Majapahit, sehingga berani melawan orang tuanya sendiri.

Sementara ayahandanya merasa serba salah, bila dilawan ia juga putera sendiri dan pasti kalah, jika tidak dilawan akan menghancurkan Majapahit dan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti kehendak Raden Patah. Akhirnya Brawijaya V memilih mengirimkan sekitar 3000 pasukan saja agar tidak mencelakai putranda Raden Patah.

Sementara pemberontakan Raden Patah ke Kerajaan Majapahit membawa bala tentara sekitar 30 ribu orang, dihadang pasukan Brawijaya V yang hanya mengirimkan 3000 orang. Akibat jumlah prajurit tidak seimbang maka terjadi banjir darah dan korban berjatuhan di pihak Majapahit. Sejak itulah pustaka-pustaka Jawa dibumihanguskan, sementara itu orang-orang yang membangkang dibunuh dan rumahnya dibakar.

Sebaliknya yang memilih mengikuti kehendak Raden Patah dibebaskan dari upeti atau pajak. Senada dengan Syeh Siti Jenar yang enggan mendukung pemberontakan Raden Patah ke Majapahit, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga yang sempat memberikan nasehat kepada Raden Patah, agar tidak melakukan pemberontakan karena dengan memohon saja kepada ayahandanya untuk menyerahkan tahta, pasti permintaan Raden Patah akan dikabulkannya.

Hingga akhirnya nasehat tak dihiraukan Raden patah, dan terjadilah perang besar yang membawa banyak korban. Hal ini sangat disesali oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga akhirnya memutuskan untuk berpakaian serba berwarna wulung atau hitam sebagai pertanda kesedihan dan penyesalan atas peristiwa tersebut.


Penerus Majapahit
Lain halnya nasib Raden Bondan Kejawan yang dahulu sebelum Sri Narpati Prabu Brawijaya V meninggal ia masih kecil dititipkan kepada putranda Betara Katong, dikatakan jika Betara katong harus menjaga keselamatan Raden Bondan Kejawan karena ialah yang akan menjadi penerus kerajaan Majapahit di kelak kemudian hari. Berikut ini alur silsilah Raden Bondan Kejawan hingga regenerasinya di masa Kerajaan Mataram.

Raden Bondhan Kejawan/Lembu Peteng Tarub-Dewi Nawang Sih (Dewi Nawang Sih adalah seorang putri dari Dewi Nawang Wulan-Jaka Tarub) (Lajer Putra)
menurunkan Putera :
1. Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo (Lajer Putra)
2. Dewi Nawang Sari (Kelak adl calon ibu Ratu Adil/SP/Herucakra)
Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo mempunyai 1 Putera:
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo (Lajer Putra)
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo mempunyai 1 Putera bernama:
Ki Ageng Anis (Ngenis) (Lajer Putra)
Ki Ageng Anis (Ngenis) mempunyai 2 Putera :
1. Ki Ageng Pemanahan / Ki Ageng Mataram
2. Ki Ageng Karotangan / Pagergunung I
Ki Ageng Pemanahan / Mataram mempunyai 1 Putera:
Raden Danang Sutowijoyo / Panembahan Senopati/ Sultan Mataram I

Panembahan Senopati akhirnya menjadi generasi Mataram Islam (kasultanan) pertama yang meneruskan kekuasaan Majapahit hingga kini. Pada masa itu spiritualitas diwarnai nilai sinkretisme antara filsafat hidup Kejawen, Hindu, Budha dan nilai-nilai Islam hakekat sebagaimana terkandung dalam ajaran Syeh Siti Jenar, terutama mazabnya Ibnu Al Hallaj. Pada saat itu, hubungan kedua jalur spiritual masih terasa begitu romantis saling melengkapi dan belum diwarnai intrik-intrik politik yang membuyarkan sebagaimana terjadi sekarang ini.

Begitulah silsilah lajer putra dari Brawijaya V. Menurut tradisi Jawa wahyu keprabon akan turun kepada anak laki-laki atau lajer putra. Sedangkan Raden patah walaupun lajer putra tetapi dari Putri bangsa asing. Dan Raden Patah dianggap anak durhaka oleh ayahandanya Prabu Brawijaya Kertabhumi dan neneknya Nyai Ampel Gading. Namun demikian, bagi penasehat spiritualnya yakni Ki Sabdapalon dan Nayagenggong yang begitu legendaris kisahnya, pun Prabu Brawijaya walaupun secara terpaksa atau tidak sengaja telah menghianati para pendahulunya pula.

Dari pemaparan kisah di atas ada suatu pelajaran berharga untuk generasi penerus agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Artinya jangan sampai kita berani melawan orang tua, apalgi sampai terjadi pertumpahan darah. Karena dapat tergelincir pada perberbuatan durhaka kepada orang tua kita terutama pada seorang ibu, yakni ibu pertiwi.

Dengan kata lain durhaka kepada para leluhur yang telah merintis bangsa dengan susah payah. Karena Tuhan pasti akan memberikan hukuman yang setimpal, dan siapapun tak ada yang bisa luput dari bebendu Tuhan.


No comments:

Post a Comment

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...