Dalam pola hubungan kekerabatan atau silsilah di dalam
Kraton di Jawa di kenal istilah trah. Menurut arti harfiahnya trah
adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas darah dalem atau
kusuma trahing narendra, yakni orang yang masih memiliki hubungan
kekerabatan atau keluarga besar secara genealogis dalam hubungan tali darah (tedhaking
andana warih).
Banyak sekali orang merasa bangga menjadi anggota suatu trah
tertentu namun kebingungan saat menceritakan runtutan silsilah atau trah
leluhur yang mana yang menurunkannya. Seyogyanya kita masih bisa menyebut dari
mana asal-usul mata rantai leluhur yang menurunkan agar supaya dapat memberikan
pengabdian kepada leluhur secara tepat.
Dengan demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya
tidak dilakukan dengan asal-asalan tanpa mengetahui siapa persisnya
nenek-moyang yang telah menurunkan kita, dan kepada leluhur yang mana harus
menghaturkan sembah bakti. Jika kita terputus mengetahui mata rantai tersebut
sama halnya dengan mengakui atau meyakini saja sebagai keturunan Adam, namun
alur mata rantainya tidak mungkin diuraikan lagi.
Mengetahui tedhaking andana warih membuat kita
lebih tepat munjuk sembah pangabekti atau menghaturkan rasa berbakti dan
memuliakan leluhur kita sendiri. Jangan sampai seperti generasi durhaka yakni
orang-orang kajawan rib-iriban yang tidak memahami hakekat,
kekenyangan “makan kulit”, menjunjung setinggi langit leluhur bangsa asing
sekalipun harus mengeluarkan beaya puluhan bahkan ratusan juta rupiah tapi
tidak mengerti makna sesungguhnya.
Sungguh ironis, sementara leluhurnya sendiri terlupakan
dan makamnya dibiarkan merana hanya karena takut dituduh musrik atau khurafat.
Cerita ironis dan menyedihkan itu seketika raib tatkala sadar telah mendapatkan
label sebagai “orang suci” dan saleh hanya karena sudah meluhurkan leluhur
bangsa asing. Ya, itulah kebiasaan sebagian masyarakat yang suka menilai
simbol-simbolnya saja, bukan memahami esensinya.
Apakah seperti itu cara kita berterimakasih kepada
leluhur yang menurunkan kita sendiri, dan kepada leluhur perintis bangsa?
Rupanya mata hati telah tertutup rapat, tiada lagi menyadari bahwa teramat
besar jasa para leluhur bangsa kita. Tanpa beliau-beliau pendahulu kita semua
yang telah menumpahkan segala perjuangannya demi kehidupan dan kemuliaan anak
turun yang mengisi generasi penerus bangsa rasanya kita tak kan pernah hidup
saat ini.
Tolok ukur kejayaan nusantara masa lalu adalah kejayaan
kerajaan Pajajaran, Sriwijaya dan Majapahit, terutama yang terakhir. Trah
atau garis keturunan kerajaan Majapahit yang masih eksis hingga sekarang, yakni
kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan
dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi Mangkubumen yakni Kasultanan dan
Pakualaman di Yogyakarta. Semuanya adalah generasi penerus Majapahit terutama
raja terakhir Prabu Brawijaya V. Berikut ini silsilah yang saya ambil secara
garis besarnya saja ;
Prabu Brawijaya V mempunyai 3 putra di antaranya adalah :
1. Ratu Pembayun (Lajer Putri)
2. Raden Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub (Lajer
Putra)
3. Raden Patah / Jin Bun / Sultan Bintoro Demak I (Lajer Putra; tetapi ibu
kandung dari bangsa asing yakni; Putri Cempo dari Kamboja ; beragama Islam)
Trah Ratu Pembayun menurunkan 2 Putra :
1. Ki Ageng Kebo Kanigoro
2. Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging
Ki Ageng Kebo Kenongo
menurunkan 1 Putra: (Lajer Putri)
1. Mas
Karebet / Joko Tingkir / Sultan Hadiwijoyo/ Sultan Pajang I (Lajer Putri)
Sementara itu Raden Patah / Jin Bun / Sultan Bintoro
Demak I, menurunkan 2 Putera yakni :
(1) Pangeran Hadipati Pati Unus / Sultan Demak II
(2) Pangeran Hadipati Trenggono / Sultan Demak III
Keduanya penerus Demak – tetapi
akhirnya putus alias demak runtuh karena pemimpinnya tidak kuat.
Kerajaan Demak hanya berlangsung selama 3 periode. Entah
ada kaitannya atau tidak namun kejadiannya sebagaimana dahulu pernah
diisaratkan oleh Prabu Brawijaya V saat menjelang puput yuswa. Prabu
Brawijaya V merasa putranda Raden Patah menjadi anak yang berani melawan orang
tua sendiri, Sang Prabu Brawijaya V (Kertabhumi), apapun alasannya. Maka Prabu
Brawijaya V bersumpah bila pemerintahan Kerajaan Demak hanya akan
berlangsung selama 3 dinasti saja (Raden Patah, Adipati Unus, Sultan
Trenggono).
Setelah itu kekuasaa Kerajaan Demak Bintoro akan redup
dengan sendirinya. Hal senada disampaikan pula oleh Nyai Ampel Gading kepada
cucunda Raden Patah, setiap anak yang durhaka kepada orang tuanya pasti akan
mendapat bebendu dari Hyang Mahawisesa.
Dikatakan oleh Nyai Ampel Gading, bahwa Baginda Brawijaya
V telah memberikan 3 macam anugrah kepada Raden Patah yakni;
1) daerah kekuasaan yang luas,
2) diberikan Tahta Kerajaan,
3) dipersilahkan menyebarkan agama baru yakni agama sang ibundanya (Putri
Cempa) dengan leluasa. Namun Raden Patah tetap menginginkan tahta Majapahit,
sehingga berani melawan orang tuanya sendiri.
Sementara ayahandanya merasa serba salah, bila dilawan ia
juga putera sendiri dan pasti kalah, jika tidak dilawan akan menghancurkan
Majapahit dan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti kehendak Raden
Patah. Akhirnya Brawijaya V memilih mengirimkan sekitar 3000 pasukan saja agar
tidak mencelakai putranda Raden Patah.
Sementara pemberontakan Raden Patah ke Kerajaan Majapahit
membawa bala tentara sekitar 30 ribu orang, dihadang pasukan Brawijaya V yang
hanya mengirimkan 3000 orang. Akibat jumlah prajurit tidak seimbang maka
terjadi banjir darah dan korban berjatuhan di pihak Majapahit. Sejak itulah
pustaka-pustaka Jawa dibumihanguskan, sementara itu orang-orang yang
membangkang dibunuh dan rumahnya dibakar.
Sebaliknya yang memilih mengikuti kehendak Raden Patah
dibebaskan dari upeti atau pajak. Senada dengan Syeh Siti Jenar yang enggan
mendukung pemberontakan Raden Patah ke Majapahit, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga
yang sempat memberikan nasehat kepada Raden Patah, agar tidak melakukan
pemberontakan karena dengan memohon saja kepada ayahandanya untuk menyerahkan
tahta, pasti permintaan Raden Patah akan dikabulkannya.
Hingga akhirnya nasehat tak dihiraukan Raden patah, dan
terjadilah perang besar yang membawa banyak korban. Hal ini sangat disesali
oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga akhirnya memutuskan untuk berpakaian serba
berwarna wulung atau hitam sebagai pertanda kesedihan dan penyesalan atas
peristiwa tersebut.
Penerus Majapahit
Lain halnya nasib Raden Bondan Kejawan yang dahulu
sebelum Sri Narpati Prabu Brawijaya V meninggal ia masih kecil dititipkan
kepada putranda Betara Katong, dikatakan jika Betara katong harus menjaga
keselamatan Raden Bondan Kejawan karena ialah yang akan menjadi penerus
kerajaan Majapahit di kelak kemudian hari. Berikut ini alur silsilah Raden
Bondan Kejawan hingga regenerasinya di masa Kerajaan Mataram.
Raden Bondhan Kejawan/Lembu Peteng Tarub-Dewi Nawang Sih
(Dewi Nawang Sih adalah seorang putri dari Dewi Nawang Wulan-Jaka Tarub) (Lajer
Putra)
menurunkan Putera :
1. Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo (Lajer Putra)
2. Dewi Nawang Sari (Kelak adl calon ibu Ratu
Adil/SP/Herucakra)
Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo mempunyai 1 Putera:
Bagus Sunggam /
Ki Ageng Selo (Lajer Putra)
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo mempunyai 1 Putera bernama:
Ki Ageng Anis
(Ngenis) (Lajer Putra)
Ki Ageng Anis (Ngenis) mempunyai 2 Putera :
1. Ki Ageng Pemanahan / Ki Ageng Mataram
2. Ki Ageng Karotangan / Pagergunung I
Ki Ageng Pemanahan / Mataram mempunyai 1 Putera:
Raden Danang Sutowijoyo / Panembahan Senopati/ Sultan
Mataram I
Panembahan Senopati akhirnya menjadi generasi Mataram
Islam (kasultanan) pertama yang meneruskan kekuasaan Majapahit hingga kini.
Pada masa itu spiritualitas diwarnai nilai sinkretisme antara filsafat hidup
Kejawen, Hindu, Budha dan nilai-nilai Islam hakekat sebagaimana terkandung
dalam ajaran Syeh Siti Jenar, terutama mazabnya Ibnu Al Hallaj. Pada saat itu,
hubungan kedua jalur spiritual masih terasa begitu romantis saling melengkapi
dan belum diwarnai intrik-intrik politik yang membuyarkan sebagaimana terjadi
sekarang ini.
Begitulah silsilah lajer putra dari Brawijaya V. Menurut
tradisi Jawa wahyu keprabon akan turun kepada anak laki-laki atau lajer putra.
Sedangkan Raden patah walaupun lajer putra tetapi dari Putri bangsa asing. Dan
Raden Patah dianggap anak durhaka oleh ayahandanya Prabu Brawijaya Kertabhumi
dan neneknya Nyai Ampel Gading. Namun demikian, bagi penasehat spiritualnya
yakni Ki Sabdapalon dan Nayagenggong yang begitu legendaris kisahnya, pun Prabu
Brawijaya walaupun secara terpaksa atau tidak sengaja telah menghianati para
pendahulunya pula.
Dari pemaparan kisah di atas ada suatu pelajaran berharga
untuk generasi penerus agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Artinya jangan
sampai kita berani melawan orang tua, apalgi sampai terjadi pertumpahan darah.
Karena dapat tergelincir pada perberbuatan durhaka kepada orang tua kita terutama
pada seorang ibu, yakni ibu pertiwi.
Dengan kata lain durhaka kepada para leluhur yang telah
merintis bangsa dengan susah payah. Karena Tuhan pasti akan memberikan hukuman
yang setimpal, dan siapapun tak ada yang bisa luput dari bebendu Tuhan.
No comments:
Post a Comment