Banyak orang merasa doanya tidak/belum terkabulkan.
Tetapi banyak pula yang merasa bahwa Tuhan telah mengabulkan doa-doa tetapi
dalam kadar yang masih minim, masih jauh dari target yang diharapkan. Itu hanya
kata perasaan, belum tentu akurat melihat kenyataan sesunggunya.
Memang sulit sekali mengukur prosentase antara doa yang
dikabulkan dengan yang tidak dikabulkan. Hal itu disebabkan oleh beberapa
faktor berikut :
1.
Kita sering tidak mencermati, bahkan lupa, bahwa anugrah yang kita rasakan
hari ini, minggu ini, bulan ini, adalah merupakan “jawaban” Tuhan atas doa yang
kita panjatkan sepuluh atau dua puluh Tahun yang lalu.
Apabila sempat terlintas
fikiran atau kesadaran seperti itu, pun kita masih meragukan kebenarannya. Karena
keragu-raguan yang ada di hati kita, akan memunculah asumsi bahwa hanya sedikit
doa ku yang dikabulkan Tuhan.
2.
Doa yang kita pinta pada Tuhan Yang Maha Tunggal tentu menurut ukuran kita
adalah baik dan ideal, akan tetapi apa yang baik dan ideal menurut kita, belum
tentu baik dalam perspektif Tuhan.
Tanpa kita sadari bisa
saja Tuhan mengganti permohonan dan harapan kita dalam bentuk yang lainnya,
tentu saja yang paling baik untuk kita.
Tuhan Sang Pengelola
Waktu, mungkin akan mengabulkan doa kita pada waktu yang tepat pula. Ketidaktahuan
dan ketidaksadaran kita akan bahasa dan kehendak Tuhan (rumus/kodrat
alam), membuat kita menyimpulkan bahwa doa ku tidak dikabulkan Tuhan.
3.
Prinsip kebaikan meliputi dua sifat atau dimensi, universal dan spesifik.
Kebaikan universal, akan
berlaku untuk semua orang atau makhluk. Kebaikan misalnya keselamatan,
kesehatan, kebahagiaan, dan ketentraman hidup. Sebaliknya, kebaikan yang
bersifat spesifik artinya, baik bagi orang lain, belum tentu baik untuk diri
kita sendiri. Atau, baik untuk diri kita belum tentu baik untuk orang lain.
Kebaikan spesifik
meliputi pula dimensi waktu, misalnya tidak baik untuk saat ini, tetapi baik
untuk masa yang akan datang. Memang sulit sekali untuk memastikan semua itu.
Tetapi paling tidak dalam berdoa, kemungkinan-kemungkinan yang bersifat positif
tersebut perlu kita sadari dan terapkan dalam benak.
Kita butuh kearifan
sikap, kecermatan batin, kesabaran, dan ketabahan dalam berdoa. Jika tidak kita
sadari kemungkinan-kemungkinan itu, pada gilirannya akan memunculkan karakter
buruk dalam berdoa, yakni; sok tahu.
Misalnya berdoa mohon
berjodoh dengan si A, mohon diberi rejeki banyak, berdoa supaya rumah yang
ditaksirnya dapat jatuh ke tangannya. Jujur saja, kita belum tentu benar
dalam memilih doa dan berharap-harap akan sesuatu.
Kebaikan spesifik
yang kita harapkan belum tentu menjadi berkah buat kita. Maka kehendak Tuhan
untuk melindungi dan menyelamatkan kita, justru dengan cara tidak mengabulkan
doa kita. Akan tetapi, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, lantas berburuk
sangka, dan tergesa menyimpulkan bahwa doaku tidak dikabulkan Tuhan.
Tidak gampang memahami apa “kehendak” Tuhan. Diperlukan
kearifan sikap dan ketajaman batin untuk memahaminya. Jangan pesimis dulu,
sebab siapapun yang mau mengasah ketajaman batin, ia akan memahami apa dan
bagaimana “bahasa” Tuhan. Dalam khasanah spiritual Jawa disebut “bisa
nggayuh kawicaksanane Gusti”.
HAKEKAT DIBALIK KEKUATAN DOA
Agar doa menjadi mustajab (tijab/makbul/kuat) dapat kita
lakukan suatu kiat tertentu. Penting untuk memahami bahwa doa sesungguhnya
bukan saja sekedar permohonan (verbal). Lebih dari itu, doa adalah usaha
yang nyata netepi rumus/kodrat/hukum Tuhan sebagaimana tanda-tandanya
tampak pula pada gejala kosmos.
Permohonan kepada Tuhan dapat ditempuh dengan lisan.
Tetapi PALING PENTING adalah doa butuh penggabungan antara dimensi batiniah dan
lahiriah (laten dan manifesto) metafisik dan fisik. Doa akan menjadi mustajab
dan kuat bilamana doa kita berada pada aras hukum atau kodrat Tuhan :
- Dalam berdoa seyogyanya menggabungkan 4 unsur dalam diri kita; meliputi; hati, pikiran, ucapan, tindakan.
Dikatakan bahwa Tuhan berjanji akan
mengabulkan setiap doa makhlukNya? tetapi mengapa orang sering merasa ada saja
doa yang tidak terkabul ? Kita tidak perlu berprasangka buruk kepada
Tuhan.
Bila terjadi kegagalan dalam mewujudkan
harapan, berarti ada yang salah dengan diri kita sendiri. Misalnya kita berdoa
mohon kesehatan. Hati kita berniat agar jasmani-rohani selalu sehat. Doa juga diikrarkan
terucap melalui lisan kita. Pikiran kita juga sudah memikirkan bagaimana
caranya hidup yang sehat.
Tetapi tindakan kita
tidak sinkron, justru makan jerohan, makanan berkolesterol, dan makan secara
berlebihan. Hal ini merupakan contoh doa yang tidak kompak dan tidak konsisten.
Doa yang kuat dan mustajab harus
konsisten dan kompak melibatkan empat unsur di atas. Yakni antara hati (niat),
ucapan (statment), pikiran (planning), dan tindakan (action) jangan sampai
terjadi kontradiktori. Sebab kekuatan doa yang paling ideal adalah doa yang
diikuti dengan PERBUATAN (usaha) secara konkrit.
- Untuk hasil akhir, pasrahkan semuanya kepada “kehendak” Tuhan, tetapi ingat usaha mewujudkan doa merupakan tugas manusia.
Berdoa harus dilakukan dengan kesadaran
yang penuh, bahwa manusia bertugas mengoptimalkan prosedur dan usaha, soal
hasil atau targetnya sesuai harapan atau tidak, biarkan itu menjadi
kebijaksanaan dan kewenangan Tuhan.
Dengan kata lain, tugas kita adalah
berusaha maksimal, keputusan terakhir tetap ada di tangan Tuhan. Saat ini orang
sering keliru mengkonsep doa. Asal sudah berdoa, lalu semuanya dipasrahkan
kepada Tuhan. Bahkan cenderung berdoa hanya sebatas lisan saja. Selanjutnya doa
dan harapan secara mutlak dipasrahkan pada Tuhan.
Hal ini merupakan kesalahan besar dalam
memahami doa karena terjebak oleh sikap fatalistis. Sikap fatalis
menyebabkan kemalasan, perilaku tidak masuk akal dan mudah putus asa.
Ujung-ujungnya Tuhan akan dikambinghitamkan, dengan menganggap bahwa kegagalan
doanya memang sudah menjadi NASIB yang digariskan Tuhan.
Lebih salah kaprah,
bilamana dengan gegabah menganggap kegagalannya sebagai bentuk cobaan
dari Tuhan (bagi orang yang beriman). Sebab kepasrahan itu artinya
pasrah akan penentuan kualitas dan kuantitas hasil akhir. Yang namanya
ikhtiar atau usaha tetap menjadi tugas dan tanggungjawab
manusia.
- Berdoa jangan menuruti harapan dan keinginan diri sendiri, sebaliknya berdoa itu pada dasarnya menetapkan perilaku dan perbuatan kita ke dalam rumus (kodrat) Tuhan.
Kesulitannya adalah mengetahui
apakah doa atau harapan kita itu baik atau tidak untuk kita. Misalnya walaupun
kita menganggap doa yang kita pintakan adalah baik. Namun kenyataannya kita
juga tidak tahu persis, apakah kelak permintaan kita jika terlaksana akan membawa
kebaikan atau sebaliknya membuat kita celaka.
- Berdoa secara spesifik dan detil dapat mengandung resiko. Misalnya doa agar supaya tender proyek jatuh ke tangan kita, atau berdoa agar kita terpilih menjadi Bupati.
Padahal jika kita bener-bener menjadi
Bupati tahun ini, di dalam struktur pemerintahan terdapat orang-orang berbahaya
yang akan “menjebak” kita melakukan korupsi. Apa jadinya jika permohonan kita
terwujud.
Maka dalam berdoa sebaiknya menurut
kehendak Tuhan, atau dalam terminologi Jawa “berdoa sesuai kodrat alam” atau
hukum alamiah. Caranya, di dalam doa hanya memohon yang terbaik untuk diri
kita.
Sebagai contoh; ya Tuhan, andai
saja proyek itu memberi kebaikan kepada diriku, keluargaku, dan orang-orang
disekitarku, maka perkenankan proyek itu kepadaku, namun apabila tidak membawa
berkah untuk ku, jauhkanlah. Dengan berdoa seperti itu, kita serahkan jalan
cerita kehidupan ini kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana.
- Doa yang ideal dan etis adalah doa yang tidak menyetir/mendikte Tuhan, doa yang tidak menuruti kemauan diri sendiri, doa yang pasrah kepada Sang Maha Pengatur. Niscaya Tuhan akan meletakkan diri kita pada rumus dan kodrat yang terbaik…untuk masing-masing orang !
Sayangnya, kita
sering lupa bahwa doa kita adalah doa sok tahu, pasti baik buat kita,
dan doa yang telah menyetir atau mendikte kehendak Tuhan. Dengan pola berdoa
seperti ini, doa hanya akan menjadi nafsu belaka, yakni nuruti rahsaning karep.
DOA MERUPAKAN PROYEKSI PERBUATAN KITA,
AMAL KEBAIKAN KITA PADA SESAMA MENJADI DOA TAK TERUCAP
YANG MUSTAJAB.
Kalimat sederhana ini merupakan kata kunci memahami
misteri kekuatan doa; doa adalah seumpama cermin !! Doa
kita akan terkabul atau tidak tergantung dari amal kebaikan yang pernah kita
lakukan terhadap sesama. Dengan kata lain terkabul atau gagalnya doa-doa kita
merupakan cerminan akan amal kebaikan yang pernah kita lakukan pada orang lain.
Jika kita secara sadar atau tidak sering mencelakai orang
lain maka doa mohon keselamatan akan sia-sia. Sebaliknya, orang yang selalu
menolong dan membantu sesama, kebaikannya sudah menjadi “doa” sepanjang waktu,
hidupnya selalu mendapat kemudahan dan mendapat keselamatan.
Kita gemar dan ikhlas mendermakan harta kita untuk
membantu orang-orang yang memang tepat untuk dibantu. Selanjutnya cermati apa
yang akan terjadi pada diri kita, rejeki seperti tidak ada habisnya! Semakin
banyak beramal, akan semakin banyak pula rejeki kita. Bahkan sebelum kita
mengucap doa, Tuhan sudah memenuhi apa-apa yang kita harapkan.
Itulah pertanda, bahwa perbuatan dan amal kebaikan kita
pada sesama, akan menjadi doa yang tak terucap, tetapi sungguh yang mustajab. Ibarat
sakti tanpa kesaktian. Kita berbuat baik pada orang lain, sesungguhnya
perbuatan itu seperti doa untuk kita sendiri.
Dalam tradisi spiritual Jawa terdapat suatu rumus
misalnya :
1. Siapa gemar
membantu dan menolong orang lain, maka ia akan selalu mendapatkan
kemudahan.
2. Siapa yang
memiliki sikap welas asih pada sesama, maka ia akan disayang sesama pula.
3. Siapa suka
mencelakai sesama, maka hidupnya akan celaka.
4. Siapa suka
meremehkan sesama maka ia akan diremehkan banyak orang.
5. Siapa gemar
mencaci dan mengolok orang lain, maka ia akan menjadi orang hina.
6. Siapa yang
gemar menyalahkan orang lain, sesungguhnya ialah orang lemah.
7. Siapa menanam
“pohon” kebaikan maka ia akan menuai buah kebaikan itu.
Semua itu merupakan contoh kecil, bahwa perbuatan yang
kita lakukan merupakan doa untuk kita sendiri. Doa ibarat cermin, yang akan
menampakkan gambaran asli atas apa yang kita lakukan.
Sering kita saksikan orang-orang yang memiliki kekuatan
dalam berdoa, dan kekuatan itu terletak pada konsistensi dalam
perbuatannya. Selain itu, kekuatan doa ada pada ketulusan kita sendiri. Sekali
lagi ketulusan ini berkaitan erat dengan sikap netral dalam doa, artinya kita
tidak menyetir atau mendikte Tuhan.
Berikut ini merupakan “rumus” agar supaya kita lebih
cermat dalam mengevaluasi diri kita sendiri :
1.
Jangan pernah berharap-harap kita menerima (anugrah),
apabila kita enggan dalam memberi.
2.
Jangan pernah berharap-harap akan selamat, apabila kita
sering membuat orang lain celaka.
3.
Jangan pernah berharap-harap mendapat limpahan harta,
apabila kita kurang peduli terhadap sesama.
4.
Jangan pernah berharap-harap mendapat keuntungan besar,
apabila kita selalu menghitung untung rugi dalam bersedekah.
5.
Jangan pernah berharap-harap meraih hidup mulia, apabila
kita gemar menghina sesama.
Lima “rumus” di atas hanya sebagian contoh. Silahkan para
pembaca yang budiman mengidentifikasi sendiri rumus-rumus selanjutnya, yang
tentunya tiada terbatas jumlahnya.
Resume
Doa akan memiliki kekuatan (mustajab), asalkan kita mampu
memadukan empat unsur di atas yakni : hati, ucapan, pikiran, dan perbuatan
nyata. Dengan syarat perbuatan kita tidak bertentangan dengan isi
doa. Di lain sisi amal kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan menjadi doa
mustajab sepanjang waktu, hanya jika, kita melakukannya dengan
ketulusan. Setingkat dengan ketulusan kita di pagi hari saat “membuang
ampas makanan” tak berarti.