Tidak seperti
negara-negara jajahan Inggris, Indonesia memperoleh kemerdekaannya melalui
jalan revolusi fisik. Sementara Inggris memberikan jalan kepada negara
jajahannya untuk merdeka melalui jalan damai.
Indonesia menempuh
revolusi fisik untuk mempertahankan dan membebaskan wilayah-wilayah yang
menjadi jajahan Belanda selama empat tahun lamanya. Belanda baru mengakui
kedaulatan Indonesia pada Desember 1949 kecuali Papua Barat atau dulu dikenal
dengan Irian Barat.
Belanda beralasan
bahwa pulau itu dan suku-sukunya memiliki budaya yang berbeda. Menanggapi hal
tersebut, Presiden Soekarno lantas membuat misi untuk membebaskan Papua Barat
dari kekuasaan Belanda.
“Awalnya ini
merupakan upaya yang sia-sia,” kata Clarice Van den Hengel, peneliti dan ahli
Indonesia berbasis di Den Haag, Belanda ketika berbincang dengan RBTH pada 21
Januari lalu. “Amerika Serikat yang telah membentuk NATO awalnya mendukung
Belanda, dan Stalin sama sekali tidak peduli dengan Indonesia.”
Bung Karno memulai
upaya pembebasan Papua Barat dengan cara bernegosiasi secara langsung dengan
Belanda. Upaya itu akan tetapi gagal. Indonesia lantas menggalang dukungan di
Majelis Umum PBB. Lagi-lagi upaya tersebut menemui jalan buntu.
Bung Karno secara
politik memiliki kecenderungan sosialis. Ia kemudian memulai kunjungan
pertamanya ke Moskow pada 1956. Di sana ia membahas masalah Indonesia dengan
Belanda yang kemudian disebut sebagai “Sengketa Irian Barat”. Dengan kata lain,
ia menempuh jalur konfrontasi dengan Belanda.
Pemimpin Uni Soviet,
Nikita Khrushchev yang mendukung gerakan anti-kolonial di Asia dan Afrika
menyatakan dukungannya kepada Indonesia yang waktu itu sedang menggalang
dukungan di PBB. Soviet mulai memberi bantuan militer kepada Indonesia.
Bantuan itu berupa
satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam,
20 kapal rudal dan beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam serta
kendaraan-kendaraan lapis baja dan ampifibi, helikopter, dan pesawat pengebom.
Bantuan persenjataan
ini diberikan dari akhir 1950-an hingga ujung kekuasaan Bung Karno pada 1966.
“Situasi menjadi berubah karena itu,” kata Hengel, “Tidak ada yang mau
berurusan dengan militer Indonesia yang dilengkapi dengan persenjataan modern.”
Sejak itu, Indonesia
menerapkan politik konfrontasi terhadap Belanda pada 1960. Konfrontasi ini
melibatkan tekanan diplomatik, politik, ekonomi dan kekuatan militer secara
terbatas. Puncaknya, konfrontasi ini memaksa Indonesia menggunakan kekuatan
militer secara penuh yang berisiko melibatkan Amerika Serikat campur tangan
untuk membantu sekutu NATO mereka.
Selama masa puncak
konfrontasi, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio yang fasih berbahasa Rusia
terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet. Pemimpin Soviet Khrushchev
merekam pertemuannya dengan Subandrio dalam memoarnya.
“Saya bertanya kepada
Subandrio: ‘Seberapa besar kemungkinan kesepakatan bisa tercapai,” tulis
Khrushchev.
“Ia menjawab: ‘Kecil
kemungkinannya.’ Saya katakan, ‘jika Belanda tidak rasional dan memilih perang,
ini merupakan perang dalam batas tertentu dan bisa menjadi pembuktian terhadap
pilot-pilot pesawat kami yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan lihat
bagaimana rudal kami bekerja,” kata Khrushchev.
Setelah berbicara
dengan Subandrio, Khrushchev heran mengapa hasil pembicaraan yang seharusnya
rahasia kemudian disampaikan kepada AS. Memang Soviet secara terbuka mendukung
Indonesia dalam sengketa Papua Barat dan AS nampaknya tidak ingin terlibat
dalam konfrontasi yang berpotensi menimbulkan Perang Dunia.
Menurut Van den
Hengel, itu merupakan saat-saat terakhir Belanda di Papua Barat. Selain tidak
ingin terlibat perang secara langsung dengan Soviet, AS tidak ingin dituduh
sebagai pendukung negara kolonial Eropa terhadap negara-negara Dunia Ketiga
yang baru saja merdeka.
Belanda secara resmi
menyerahkan Papua Barat ke PBB di bawah tekanan AS pada 1962. Kemudian
diteruskan secara administrasi menjadi bagian dari wilayah Indonesia pada 1963.
Papua Barat kemudian resmi bergabung setelah referendum pada 1969.
Dalam dokumen PBB
yang dimuat laman resminya juga menyatakan demikian. Bahwa kesepakatan awal
antara negara yang bersengketa tercapai pada Juli 1962. Dengan begitu, Papua
Barat resmi berada di bawah PBB. Selanjutnya, Indonesia dan Belanda telah
menandatangani perjanjian di New York pada Agustus 1962. Sebelum resmi
diserahkan kepada pemerintah Indonesia, otoritas terhadap Papua Barat berada di
bawah sebuah badan PBB bernama UNTEA.
Badan ini mengelola,
menjaga ketertiban, menegakkan hukum serta melindungi hak-hak penduduk. Badan
ini memastikan semuanya berjalan dengan baik hingga secara administratif Papua
Barat diserahkan kepada Indonesia. Bergabungnya wilayah Papua Barat ke
Indonesia melalui proses demokratis dan sesungguhnya sudah sesuai dengan
mekanisme hukum internasional kala itu. Dan itu sama sekali berbeda jauh dengan
yang dituduhkan banyak orang sebagai aneksasi.
Berdasarkan beberapa
catatan, Belanda disebut masih berkepentingan ketika Papua Barat sudah menjadi
wilayah dari Indonesia. Bahkan pihak Belanda membentuk organisasi separatis
untuk terus mengkampanyekan soal aneksasi dan mempersoalkan integrasi Papua
Barat ke Indonesia.