Friday, March 22, 2019

MEMAYU HAYUNING PRIBADI (1)


Memayu Hayuning Pribadi
Bagian 1 (no.1-8)





– 01 –
Ing samubarang gawe aja sok wani mesthekake, awit akeh lelakon kang akeh banget sambekalane sing ora bisa dinuga tumibane. Jer kaya unine pepenget, “menawa manungsa iku pancen wajib ihtiyar, nanging pepesthene dumunung ing astane Pangeran Kang Maha Wikan”. Mula ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing durung kelakon. Saupama nyumurupana, prayoga aja diblakakake wong liya, awit temahane mung bakal murihake bilahi.

Terjemahan bebas :
Di segala hal jangan terlalu bisa (sok tau) untuk memastikan, sebab banyak kejadian yang sangat buaaanyak sekali penyabab faktor kejadiannya yang bisa menyebabkan hal yang tak terduga efek samping dari hal tersebut. Seperti sebuah kata kata bijak yang pernah ada,”(bahwa) yang disebut manusia itu memang kewajibannya untuk selalu berusaha, akan tetapi kepastian adalah (tetap) selalu di tangan Tuhan yang Maha Tau”. Jadi, tidak semestinya kalau manusia itu mengetahui perihal perihal yang belum terjadi, kalaupun dapat (kesempatan) untuk mengetahuinya sebaiknya tidak diberitahukan kepada setiap orang secara jelas dan gamblang, sebab ketika digunakan untuk keperluan yang tidak baik akan mencelakakan yang memberi tahukan dan yang diberitahu (yang menggunakan untuk keperluan tidak baik).


– 02 –
Sabar iku ingaran mustikaning laku, jumbuh karo unine bebasan: “Sabar iku kuncining swarga”, ateges marganing kamulyan. Sabar, lire momot kuwat nandhang sakehing coba lan pandadaraning ngaurip, nanging ora ateges gampang pepes kentekan pengarep-arep. Suwalike malah kebak pengarep-arep lan kuwawa nampani apa bae kang gumelar ing salumahe jagad iki.

Terjemahan bebas :
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratkan sebuah hal yang sangat indah dalam sebuah kehidupan, sama seperti sebuah perkataan yang umum diucapkan : “(berlaku) sabar itu adalah “jalan utama” untuk mendapatkan “jalan surga”, yang dimaksud disini adalah ketentraman dan kedamaian (dalam menjalani kehidupan)”. Sabar, adalah “seperti” kemampuan untuk membawa segala macam percobaan dalam menjalani kehidupan yang akan bisa untuk mendewasakan diri. (akan tetapi kesabaran itu) juga bukan berarti tidak mempunyai pengaharapan di kerenakan “tidak berdaya lagi” untuk berjuang demi sebuah harapan, Lawan katanya (adalah) malah terlalu besar dalam sebuah harapan dan (berharap) seolah olah mampu untuk mendapatakan apa saja yang ada di dunia ini (tanpa disertai rasa mawas diri dan kesabaran).


– 03 –
Kahanan donya iki ora langgeng, tansah owah gingsir. Yen sira kebeneran katunggonan bandha lan kasinungan pangkat, aja banjur rumangsa “Sapa sira sapa ingsun” tansah ngendelake panguwasane tumindak degsura marang sapadha-padha. Elinga yen bandha iku gampang ilang (sirna). Pangkat sawayah-wayah bisa oncat.

Terjemahan bebas :
(ketahuilah) Keadaan di dunia ini tidak ada yang tetap abadi, selalu berubah dan bergerak, Jikalau dirimu kebetulan “mempunyai” harta kekayaan dan “sedang menjabat” (jabatan/berpangkat dalam sebuah pekerjaan) jangan terus merubah kebiasaan dengan tidak menghargai orang lain (menganggap remeh orang lain), selalu mengedepankan (kemampuan) kekuasaan nya untuk berbuat se-mau gue kepada setiap orang tanpa mau menghiraukan orang lain, Ingat (kepastian dari Sang Pencipta) kalau kekayaan itu gampang sekali jalan nya untuk hilang, Jabatan sewaktu waktu juga bisa tidak kita jabat lagi (sebab jabatan itu adalah titipan).


– 04 –
Saiba becike samangsa wong kang lagi kasinungan kabegjan lan nampa kabungahan iku tansah eling gedhe ngucap syukur marang Kang Peparing. Awit elinga yen tumindak kaya mangkono mau kejaba bisa ngilangi watak jubriya uga mletikake rasa rumangsa yen wong dilairake ing donya iku sejatine mung dadi lelantaran melu urun-urun tetulung marang sapadha-padhane titah, mbengkas kasangsaran, munggahe ngreksa hayuning jagad.

Terjemahan bebas :
Sebaiknya selalu dilakukan ketika orang yang lagi mendapatkan “keberuntungan” dan mendapat “kebahagiaan” itu selalu tetap ingat dan selalu mengucapkan rasa syukur kepada yang Maha Mamberi. Selalu ingatlah (kepada kesabaran / “kebijaksanaan”/ “jalan utama menuju surga”) jika selalu melakukan berbuat seperti itu, selain bisa untuk menghilankan watak sombong juga bisa menerangkan pada diri kita sebuah rasa perasaan ikut merasakan perasaan bahwa manusia itu di lahirkan di alam dunia fana ini sebenarnya cuman menjadi “jalan” atau sebab untuk selalu menolong dan membantu kepada semua hal yang menjadi ciptaan Sang Semesta. (selalu) memberatas segala kesusahan /kesengsaraan jikalau diteruskan menjadi besar (akibat dilakukan terus menerus) adalah merawat dan memelihara kedamaian Dunia.


– 05 –
Aja sok ngendel-endelake samubarang kaluwihanmu, apamaneh mamerake kasugihan lan kapinteranmu. Yen anggonmu ngongasake dhiri mau mung winates ing lathi tanpa bukti, dhonge pakarti kaya mangkono iku ngengon awakmu dadi ora aji. Luwih prayoga turuten pralampitane tanduran pari. Pari kang mentes mesthi tumelung, kang ndhongak mracihnani yen kothong tanpa isi.

Terjemahan bebas :
Janganlah selalu menonjol nonjolkan segala macam kelebihan anda, apalagi selalu memamerkan kekayaan dan kepandaian anda, hasilnya perbuatan seperti itu hanya membuat dirimu menjadi cibiran orang lain dan dianggap ga penting gitu hloo…. lebih baik ikutilah perilaku dari tumbuhan padi (wet paddy bahasa linggis nya… hehehehehehe), padi yang berisi pasti merunduk (maksudnya munkin adalah mengedepankan sopan dan santun), padi yang belum merunduk menandakan bahwa padi tersebut kosong tanpa isi pada bulir padinya (kesombongan sebenarnya adalah keinginan untuk selalu diakui orang lain tanpa adanya penghargaan kepada orang lain).


– 06 –
“Rumangsa sarwa duwe” lan “sarwa duwe rumangsa” iku yen ditulis genah mung diwolak-walik bae, nanging surasane jebul kaya bumi karo langit. Sing kapisan nuduhake watak ngedir-edirake, wengis satindak lakune (polahe), yen nggayuh pepinginan ora maelu laku dudu, samubarang pakarti nistha ditrajang wani. Dene sing kapindho pakartine tansah kebak welas asih, wicaksana ing saben laku, rumangsa dosa samangsa gawe kapitunane liyan.

Terjemahan bebas :
Merasa selalu mempunyai (segala hal) dan selalu “merasa” memiliki perasaan (terhadap banyak hal), itu kalau ditulis jelas hanya cuman di bolak balik saja, akan tetapi sebenarnya artinya berbeda jauh ibaratkan bumi dan langit. (arti) Kata yang pertama menjelaskan watak yang selalu menonjolkan, (sifat) bengis dalam segala perbuatannya, jikalau ingin mencapai sebuah keinginan selalu mengunakan berbagai macam cara, semua perbuatan yang tecela pun dilakukannya untuk mendapatkan keinginan nya. Sedang yang kedua artinya adalah penuh dengan belas kasih, (mengutamakan) kebijaksanaan di setiap perilaku, merasa berdosa jikalau melakukan perbuatan yang membuat orang lain tersakiti/kecewa/sedih/rendah diri.


– 07 –
Nadyan wesi iku kanyatane pancen atos, ewa semono yen wis ketrajang ing taiyeng ya bakal entek gripis. Semono uga tumraping wong kang kataman rasa meri, atine mbaka sethithik uga bakal gripis, awit rumangsa yen awake tansah apes, saengga kelangan greget lan lumuh makarya. Wusanane pepes atine kentekan pengarep-arep.

Terjemahan bebas :
Walaupun besi itu pada kenyataan nya memang keras, akan tetapi jikalau sudah “terkena” karat ya bakalan menipis habis. Begitu juga yang berlaku pada manusia yang terkena persaan iri hati, hatinya sedikit demi sedikit bakalan menipis, selalu merasa bahwa dia selalu tidak mendapatkan keberuntungan, sehingga kehilangan semangat dan daya juangnya untuk bekerja dan berkarya, hasilnya akhirnya hatinya menjadi kecil dan kehabisan harapan (dalam membangun impian-nya).


– 08 –
Yen sira sacara badaniyah lan rohaniyah tetep kepingin bagas kuwarasan, tansah elinga rong prakara iki :

Terjemahan bebas :
Jikalau anda secara badaniah dan rohaniah (ingin) tetap mendapatkan kesehatan dan kesalamatan, selalu ingatlah dua perkara ini :
     – a –
Tansah jaganen sakehing samubarang kang nedya sira lebokake ing tutuk, dithinthingi luwih dhisik apa bakal gawe rusaking raga apa ora.
Terjemahan bebas :
Selalu untuk menjaga/mencermati segala hal yang sifatnya informasi yang kita terima dari orang lain, dicermati dan ditimbang lebih dahulu kebenaran dari informasi tesebut, sehingga kita tidak salah dalam mempercayai sebuah informasi yang di berikan kepada kita, sebab kesalahan dalam mendapatkan informasi bisa menyebabkan kita menjadi (berbuat) salah dan menyimpang.

     – b –
Kulinakna mikir luwih dhisik samubarang kang arep sira wetokake saka tutuk. Lire pikiren luwih dhisik klawan mateng apa kang bakal sira wetokake iku ora malah gawe kuceming awakmu dhewe, nglarani atining liyan apa ora. Dene yen ora ana paedahe luwih becik aja kok kojah amrih ora nandhang piduwung.
Terjemahan bebas :
Biasakan untuk berpikir lebih dulu tentang segala hal yang akan anda ungkapkan. Inti pointnya adalah pikirkanlah lebih dahulu dengan sebaik baiknya apa yang akan anda sampaikan, jangan sampai penyampaian anda membuat anda tidak disukai orang lain dikarenakan penyampaian anda membuat sakit hati orang lain, maka sebaiknya pertimbangkan lah dahulu segala sesuatunya. Jikalau tidak ada manfaat nya (bagi kita dan orang lain), lebih baik jangan (diteruskan) sebab bila diteruskan akan mendapatkan caci maki dari orang lain.


Friday, March 8, 2019

Peranan Walisongo dalam Islamisasi di Jawa







Proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa tidak tidak terlepas dari peranan para wali. Dan yang disebut atau dimaksud dengan kata-kata wali disini adalah orang yang berhasil mendekatkan diri pada Allah. Maka dinamakan waliyullah artinya Kekasih Allah.

Adapun yang disebut Wali Songo, adalah sembilan orang waliyullah yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa  dan sekitarnya pada abad ke 15 dan 16 masehi.  Mereka datang dari berbagai negeri dan hadir kepada masyarakat Jawa dengan menyebarkan agama Allah.

Walisongo sebenarnya adalah sebutan untuk sebuah organisasi atau dewan yang secara terorganisir berjuang untuk memimpin penyiaran agama Islam di masyarakat luas. Jadi pada hakikatnya yang disebut Wali Songo adalah bukan hanya sembilan orang saja, tapi sebenarnya lebih dari jumlah itu. Cuma saja, jumlah sembilan itu hanya merupakan suatu ketetapan dari organisasi yang didirikan. Maka bilamana ada dari salah satu anggota dewan wali itu meninggal dunia misalnya akan diganti wali yang lain, sehingga jumlahnya tetap walisongo.

Para wali kesemuannya bergelar sunan, suatu singkatan dari susuhunan, artinya “yang dijunjung tinggi” atau tempat memohon sesuatu. Disini kekuasaan kharismatik dapat memperkuat kekuasaan politik apabila seorang wali memegangnya. Para Wali bertindak sebagai juru dakwah, penyebar dan perintis agama Islam di Pulau Jawa.

Selain memiliki pengetahuan tentang agama, para wali tersebut juga diyakini memiliki ilmu kebal dan kesaktian. Dengan bekal pengetahuan agama dan keahlian tersebut, para wali mendapat banyak pengikut dan sangat di hormati. Para wali tersebut berkedudukan dikota pantai (pesisir) dan sebagian termasuk elite politik religius. Disamping kewibawaan rohaniah, mereka juga berpengaruh di bidang politik.

Wilayah pengaruhnya rupanya terbatas di lingkungan kota basisnya, hanya satu-dua diantaranya mempunyai pengaruh jauh melampaui batas daerahnya, seperti halnya dengan Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.

Keterbatasan daerah itu sesuai dengan struktur politik yang terdapat waktu ialah adanya penguasa-penguasa setempat yang lazim disebut Kyai Ageng. Mereka adalah termasuk tuan feodal yang mandiri, biasanya berkedudukan sebagai vassal apabila terpaksa tunduk kepada kekuasaan raja yang berhasil memegang suzereinitas di wilayah tertentu.
Otoritas kharismatik yang dimiliki para wali merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu-Jawa di Pedalaman. Dalam perkembangan politik selanjutnya ada beberapa gejala :
·     Seorang wali tidak mengembangkan wilayah dan tetap menjalankan pengaruh secara luas, umpanya Sunan Giri.
·   Seorang wali tidak menngembangkan pengaruh politik dan selanjutnya kekuasaan politik ada ditangan raja, umpama di Demak dan Kudus.
·  Seorang wali mengembangkan wilayah dan melembagakannya sebagai kerajaan, tanpa mengurangi kekuasaan religius, umpama Sunan Gunung Jati.

Adapun para wali di Jawa, menurut urutan dari Timur ke Barat ialah :
1.  Sunan Ngampel atau Raden Rahmat, seorang kemenakan dari permaisuri Kertawijaya (1467), dimakamkan di Ampel (dalam kota Surabaya).
2.    Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, dimakamkan di Gresik.
3.    Sunan Giri atau Raden Paku,makamnya di Giri dekat Gresik.
4.   Sunan Drajat, putra Sunan Ngampel , dimakamkan di Sidayu Lawas, Lamongan.
5.   Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim, seorang putra juga dari Sunan Ngampel, mungkin sekali dilahirkan di Bonang Wetan dekat Rembang dan meninggal di Tuban.
6.  Sunan Kudus, putra Sunan Ngundug, panglima bala tentara para wali yang menyerbu Majapahit (1478); waktu ayahnya gugur ia menggantikanya.
7.    Sunan Muria, seorang pejuang melawan Majapahit, kemudian bertapa, makamnya ada di lereng selatan kawah Gunung Muria; menurut tradisi, ayahnya, Pangeran Gadung dimakamkan disitu juga.
8.   Sunan Kalijaga atau Sahid Djaka seorang tumenggung Majapahit yang menyerang Jepara, tetapi kemudian masuk agama Islam karena usaha Sunan Bonang; kawin dengan seorang putri sunan Gunung Jati, menolak untuk tinggal di Cirebon dan akhirnya mengikuti perintah Sultan Trenggana menetap di Kadilangu, dimana ia mendapat banyak murid tersohor dan sepeninggalnya dimakamkan di Kadilangu.
9.    Sunan Gunung Jati, banyak orang berpendapat beliau berasal dari Pasai, kawin dengan saudara perempuan Sultan Trenggana (Demak), kemudian berhasil menaklukan Cirebon dan Banten. Makamnya ada di Gunung Jati sebelah utara Cirebon.

            Kesembilan wali tersebut diatas dapat digolongkan atas tiga golongan yaitu para wali di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Islamisasi di Jawa dipermudah oleh berbagai faktor, diantaranya:
1.    Suasana keterbukaan di kota yang didatangi oleh para wali menciptakan kecenderungan sruktural untuk mobilitas yang lebih besar, antara lain berpindah agama;
2.    Bersamaan dengan proses itu terjadi pula disintegrasi serta disorientasi masyarakat lama, sehingga diperlukan identitas baru dengan nilai-nilai baru;
3.    Dengan merosotnya kekuasaan pusat Hindu-Jawa maka perubahan sruktural masyarakat mengakibatkan perubahan struktur kekuasaan. Dalam hal ini Islam merupakan tinag pendukungnya.

Selain dari keadaan masyarakat yang mendukung untuk penyebaran agama Islam, para wali juga memiliki konsep dalam penyebaran agama Islam yang memperlancar proses islamisasi di Jawa, yaitu:
1.    Tasamuh (toleran). tanah Jawa, sebagai medan dakwah walisanga waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan.

Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, dimana nilai-nilai keyakinan dan budaya Hindu-Budha telah mengakar dengan kuat di masyarakat. Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa yang berakulturasi dengan budaya Hindu-Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik.

Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan revolusi kebudayaan. Walisanga, yang memang berasal dari keturunan sunni dan sufi, memahami betul pendekatan yang seperti apa yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa.

Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu-Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal dengan walisanga yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerajaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali dengan caranya sendiri turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat kecil.

Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali dan kemudian berkembang kepada ajaran para wali dan mengikuti ajaran para wali yaitu Islam.

2.    Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab tentu mempunyai kultur yang berbeda demean kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim.

Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman. Maka, di tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya  dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah.

Tradisi seperti peringatan hari ketiga kematian dan ritual-ritual lain yang merupakan warisan budaya Hindu Jawa,oleh para wali tradisi seperti ini tidak ditentang melainkan tradisi-tradisi tersebut diberi unsur-unsur islami. Misalnya pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil.

Dengan demikian, secara perlahan dan tanpa kekerasan, ritus-ritus yang sarat akan kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai yang dilakukan dalam menyebarkan agama Islam perlahan menumbuhkan budaya damai di hati umat Islam Jawa.

3.    Tawazun (keseimbangan atau harmoni). Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa dan nusantara secara umum adalah kecenderungan kepada harmoni.

Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu mengalah dan nrimo ing pandum. Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangkan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, proses islamisasi pun berjalan dengan damai tanpa gejolak yang berarti.

4.    Iqtida’ (keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu system diskriminasi kultural yaitu sistem kasta.

Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketikapecah perang saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman, dan kemiskinan. Dalam situasi seprti itulah walisanga masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter.

Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini yaitu perlindungan spiritual dan kultural.

 Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup efektif dalam proses islamisasi Jawa adalah dakwah politik. Dalam menjawab pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon, pengarang buku “The Venture of Islam”, mengapa proses islamisasi di Jawa begitu berhasil sempurna. Mark Woodward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sulatanate of Yogyakarta” menjawab bahwa Islam oleh para penyebarnya, khususnya walisanga, telah berhasil dipeluk keraton Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya.

Melalui tokoh Raden Patah, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lainnya, Islam masuk ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan. Dimana proses Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan secara frontal.

Peranan wali sanga dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa tentu mempunyai andil yang besar, selain melakukan penyebaran agama Islam para wali juga menyebarkan dan mengembangkan beberapa kesenian Jawa.

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...