Friday, February 22, 2019

Konsep Kepemimpinan Jawa





1.  Pengantar .
Kepemimpinan (leadership) merupakan unsur yang sangat penting dalam membawa suatu bangsa kepada tataran peradaban tertentu. Dalam sejarahnya, hampir pasti suatu bangsa mencapai kemajuan karena adanya kepemimpinan yang baik.

Dari panggung sejarah dunia kita melihat, misalnya bangsa Mongol menonjol karena adanya Jengis Khan, Yunani berkibar karena munculnya Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain), Arab menonjol karena munculnya Muhammad, dan sederet panjang pemimpin dengan karakter masing-masing.

Dalam tradisi Jawa sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang, dikenal pemimpin-pemimpin dalam kurun waktu tertentu yang menonjol yang tentu saja juga dengan karakter masing-masing seperti Balitung, empu Sendok, Darmawangsa Teguh, Airlangga, Empu Bharada, Jayabhaya, Kertanegara, Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Fatahilah, Ki Juru Martani, Panembahan Senopati, Sultan Agung, Mangkubumi, Diponegara, dan lain-lain. Karakter pemimpin tersebut tentu saja berkaitan dengan situasi dan kondisi zamannya yang menuntut sikap tertentu.

Pemimpin dalam tulisan ini tidak selalu dalam artian pimpinan formal seperti raja, presiden, bupati, dan seterusnya, tetapi lebih condong kepada model kepemimpinan (leadership) serta tokoh pengendali kepemimpinan. Sebagai misal, pimpinan Majapahit bukanlah raja Majapahit, melainkan Gajah Mada yang berperan dalam pengendalian negara.


2.  Ciri-ciri Kepemimpinan Jawa
Setiap jenis kepemimpinan memiliki ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut (termasuk kepemimpinan Jawa) akan berubah sesuai tuntutan zaman. Maka kepemimpinan dalam budaya Jawa memiliki beberapa ciri, yakni:
a)    monocentrum
b)    metafisis
c)    etis
d)    pragmatis
e)    sinkretis
Monocentrum bermakna bahwa kepemimpinan berpusat pada figur yang tunggal. Kepemimpinan Jawa bersifat tunggal, yakni berpusat pada satu orang (monoleader/monocentrum). Hal ini merupakan suatu kelemahan karena begitu seorang pemimpin lenyap, maka sistem mengalami kekacauan.

Tampaknya sistem ini masih mendominasi kepemimpinan umumnya di Indonesia. Ciri ini ternyata merupakan suatu ciri yang universal pula di belahan dunia lain. Hampir setiap kepemimpinan ternyata memusat pada suatu tokoh.

Surutnya seorang tokoh seringkali diikuti dengan pudarnya sistem kepemimpinan, semisal kejayaan Majapahit sangat tergantung pada Gadjah Mada, kejayaan Mataram sangat terikat dengan Sultan Agung, dan dominasi Orde Baru sangat terkait dengan Suharto, serta dapat diteruskan dengan sejumlah kasus.

Dalam kepemimpinan Jawa, orang cenderung menonjolkan figur kepemimpinan daripada sistem kepemimpinan. Suatu lembaga, misalnya, setiap ganti pimpinan maka selalu ganti kebijakan sesuai ”selera” sang pemimpin.

  Gambaran ini juga tampak dalam gelar raja Jawa yang menggenggam semua aspek pemerintahan dengan ungkapan ” berbudi bawa leksana, bau dendha nyakrawati”, amirul mukminin kalifatullah sayidin panatagama (pemurah laksana angin, yang menghukum dan menyempurnakan, pimpinan orang mukmin, wakil Allah di bumi, pimpinan yang mengatur agama).

Kepemimpinan Jawa juga bersifat metafisis, yakni selalu dikaitkan dengan hal-hal metafisik seperti wahyu, pulung, drajat, keturunan (nunggak semi), dan sebagainya. Seolah-olah, kemampuan memimpin bukan sebagai suatu capability, tetapi lebih condong sebagai miracle.

Karena kepemimpinan bersifat metafisis, hampir-hampir tidak ada sistem rekruitmen pemimpin yang baik di negeri ini. Pemimpin muncul secara sporadis dan take for granted. Kadang-kadang di dalam menentukan pemimpin tidak ada penilaian track record dan quality (test kelayakan), andaikan ada sangat mendasar belaka.

Dalam serat-serat Jawa pun hanya dicantumkan tentang karakter ideal seorang pemimpin, tetapi tidak ditunjukan ”bagaimana karakter itu dapat diproses”. Hal ini tergambar dalam konsep ”raja gung binatara ”. Gambaran tentang pengalaman  metafisis para calon raja diuraikan panjang lebar oleh Berg (1974) dalam bukunya Penulisan Sejarah Jawa (terjemahan). Hal tersebut juga tergambar dalam serat-serat dalam tradisi Jawa (Poerbatjaraka, 1952).

Secara praktis, pandangan ini masih dianut oleh calon pemimpin-pemimpin di Jawa. Untuk mencalonkan dalam bursa kepemimpinan, banyak calon pemimpin melakukan ritual-ritual untuk mendapatkan kekuatan spiritual seperti memiliki/ membeli ”azimat”, tapa kungkum, meminta restu ”orang pintar”, ritual tertentu, dan lain-lain. Sementara itu, hal terkait dengan kapabilitasnya sering diabaikan.

Sementara itu, secara dramatis juga digambarkan oleh Ranggawarsita bahwa raja-raja di Jawa adalah keturunan dari Nabi Adam yang kemudian juga menurunkan dewa-dewa seperti Batara Guru dan Semar yang tampak dalam Paramayoga (Ranggawarsita, 1997). Khusus Semar, dianggap sebagai salah satu tanda turunnya wahyu sehingga siapapun yang diikuti Semar akan menjadi pemimpin yang baik (Subroto, 1957).

Nilai kepemimpinan Jawa bersifat etis, artinya apa yang diidamkan adalah sesuatu yang berdasar pada baik buruk, tetapi konsep aplikasi riil yang ditawarkan sama sekali tidak ditunjukan. Dengan kata lain, nilai-nilai yang disampaikan tidak disertai dengan semacam metode pencapaian.

Konsep kepemimpinan yang disampaikan tampaknya merupakan konsep yang sangat pragmatis. Hal ini misal, tampak dalam Serat Tripama (Tiga Perumpamaan) dari lingkungan Mangkunegaran yang mengidolakan tiga tokoh kontroversial.

Kehadiran tokoh Kumbakarna, Adipati Karna, dan Sumatri (Patih Suwanda) terkait erat dengan fakta historis Mangkunegaran yang eksis di pihak perlawanan, khususnya terhadap Kasunanan yang merupakan simbolisasi dari Pandawa (raja-raja Mataram menganggap dirinya keturunan Arjuna) (Sudardi, 1995).  Keterkaitan simbolisasi tokoh ideal dengan fakta historis dapat dipahami dengan bagan berikut.

Tokoh
Cerita
Mangkunegara
Kumbakarna
Tokoh yang setia kepada negara
Mangkunegara berjuang dengan dalih mencintai dinasti Mataram
Karna
Setia pada Kurawa karena ditolong oleh Kurawa dan dijadikan Adipati, meskipun yang menolong adalah musuh adik-adiknya.
Dalam sejarahnya, Mangkunegara adalah sentana Kartasura yang terbuang, ia dapat terangkat menjadi Adipati karena bantuan Belanda
Suwanda
Patih yang setia pada Arjunasasrabahu dan dapat menyelesaikan pekerjaan
Mangkunegara dalam sejarah selanjunya banyak membantu Belanda dalam menumpas pemberontakan.

Karena itu, dapat dipahami bila konsep kepemimpinan dalam Tripama menampilkan tokoh-tokoh idealis yang kontroversial karena kedudukan Mangkunegara di zamannya dapat dikatagorikan sebagai tokoh kontroversial karena berani menentang Kasunanan.

Munculnya idealisme terhadap tokoh tersebut terkait aspek pragmatis, untuk membenarkan tindakan-tindakan Mangkunegara selama itu.Kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil adalah konsep-konsep yang berasal dari berbagai agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu.

Pola pikir Islam biasanya disadap dari ajaran-ajaran sufi yang mengedepankan aspek wara’ (menjauhi kemewahan dunia) dan hidup sederhana sebagaimana para sufi yang meninggalkan kehidupan dunia untuk menuju kebahagiaan sejati. Hal ini tergambar pada  idiom-idiom yang digunakan untuk pimpinan, khususnya raja.

Pengaruh Hindu
Pengaruh Islam
(1)   Gung Binatara (besar seperti dewa)
(2)   ambeg paramarta (bagaikan dewa) –konsep titisan Dewa
(3)   panatagama (penata agama),
(4)  herucokro (menyempurnakan pekerjaan) – sifat Wisnu
(5)   senapati ing alaga (hulubalang di medan laga) (sifat Indra)
(6)   hastabrata (ajaran Seri Rama) sifat Wisnu
(7)   dasa darma raja (ajaran bagi para raja)
(1)   Ratu adil (raja yang adil)
(2)   Kalifatullah (wakil Allah),   
(3)   Sayidin (yang dituakan/ dihormati)
(4)   mengerti halal haram (paham akan agama).
(5)   Sederhana (kehidupan nabi)
(6)   loyal, tidak berwatak pedagang (cari untung) iklash
(7)   rendah hati (tawadhu’)

4.  Hasta Brata, Filosofi Kepemimpinan Jawa
Etika Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “Hasta Brata”. Istilah ini diambil dari buku Ramayana karya Yasadipura I yang hidup pada akhir abad ke-18 (1729-1803 M) di keraton Surakarta. Secara etimologis, “hasta” artinya delapan, sedangkan “Brata” artinya langkah.
Secara terminologis berarti delapan langkah yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam mengemban misi kepemimpinannya. Langkah-langkah tersebut mencontoh delapan watak dari benda-benda di alam yakni Bumi, Matahari, Bulan. Bintang, Api, Angin, laut, dan Air.
·      Bumi, wataknya adalah ajeg. Sifatnya yang tegas, konstan, konsisten, dan apa adanya. Bumi menawarkan kesejahteraan bagi seluruh mahkluk hidup yang ada di atasnya. Tidak pandang bulu, tidak pilih kasih, dan tidak membeda-bedakan.

·      Matahari selalu memberi penerangan (di kala siang), kehangatan, serta energi yang merata di seluruh pelosok bumi. Energi dari cahaya matahari juga merupakan sumber energi dari seluruh kehidupan di muka bumi. Pemimpin juga harus memberi semangat, membangkitkan motivasi dan memberi kemanfaatan pengetahuan bagi orang-orang yang dipimpinnya.

·      Bulan mungkin lebih berguna daripada matahari. Karena dibandingkan matahari, bulan memberi penerangan saat gelap dengan cahaya yang sejuk dan tidak menyilaukan. Pemimpin yang berwatak bulan memberi kesempatan di kala gelap, memberi kehangatan di kala susah, memberi solusi saat masalah dan menjadi penengah di tengah konflik.

·      Bintang adalah penunjuk arah yang indah. Seorang pemimpin harus berwatak bintang dalam artian harus mampu menjadi panutan dan memberi petunjuk bagi orang yang dipimpinnya. Pendirian yang teguh karena tidak pernah berpindah bisa menjadi pedoman arah dalam melangkah.

·      Api bersifat membakar. Artinya seorang pemimpin harus mampu membakar jika diperlukan. Jika terdapat resiko yang mungkin bisa merusak organisasi, kemampuan untuk merusak dan menghancurkan resiko tersebut sangat membantu untuk kelangsungan oraganisasi.

·      Angin adalah udara yang bergerak. Maksudnya kalo udara itu ada di mana saja. Dan angin itu ringan bergerak ke mana saja. Jadi pemimpin itu, meskipun mungkin kehadiran seorang pemimpin tidak disadari, namun ada dimanapun dia dibutuhkan. Pemimpin juga tak pernah lelah bergerak dalam mengawasi orang yang dipimpinnya. Memastikan baik-baik saja dan tidak hanya mengandalkan laporan yang bisa saja direkayasa.

·      Laut atau samudra yang lapang, luas, menjadi muara dari banyak aliran sungai. Artinya seorang pemimpin mesti bersifat lapang dada dalam menerima banyak masalah dari anak buah. Menyikapi keanekaragaman anak buah sebagai hal yang wajar dan menanggapi dengan kacamata dan hati yang bersih.

·      Air mengalir sampai jauh dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Meskipun wadahnya berbeda-beda, air selalu mempunyai permukaan yang datar. Artinya, pemimpin harus berwatak air yang berprinsip keadilan dan sama rata, kesamaan derajat dan kedudukan. Selain itu, sifat dasar air adalah menyucikan. Pemimpn harus bersih dan mampu membersihkan diri dan lingkungannya dari hal yang kotor dan mengotori.


5.  Trilogi Kepemimpinan
a)    Ing ngarsa sung tuladha, artinya sebagai seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan baik terhadap anak buahnya yaitu dengan cara berdisiplin, jujur, penuh toleransi dan bertindak adil.

b)    Ing madya mangun karsa, artinya dalam melaksanakan tugas bersama-sama anak buahnya, seorang pemipmpin harus mampu memberikan motivasi agar anak buahnya senang melaksanakan tugas dengan baik. Pemimpin tidak hanya memerintah saja tetapi ikut melaksanakan tugas bersama-sama dengan anak buahnya agar sasaran dan tujuan bersama dapat tercapai dengan baik dan memuaskan.

c)    Tut wuri handayani, artinya seorang pemimpin harus bisa mendelegasikan wewenang sesuai dengan kemampuan anak buahnya. Pemimpin harus memberikan kepercayaan penuh pada anak buahnya. Selama anak buahnya mampu melaksanakan tugas dengan baik, penui dedikasi dan tanggung jawab, maka pemimpin tinggal merestui saja.


6.  Penutup
Budaya Jawa adalah sebuah budaya yang telah melewati masa perkembangan yang panjang. Bukti-bukti arkeologi menunjukan bahwa sejak abad ke-4 (masa Tarumanegara di Jawa Barat), budaya Jawa telah memiliki kedudukan mantap dalam bentuk institusi dengan sistem yang baik. Kemudian abad ke-7 juga muncul Kalingga di Jawa Tengah. Masa perkembangan dari abad ke-4 sampai dengan abad ke-21 ini tentu mengalami perkembangan dan pasang surut dan tentu saja perubahan-perubahan.

Dewasa ini, model kepemimpinan Jawa telah lebur ke dalam model kepemimpinan nasional Indonesia. Sebagai suku bangsa terbesar, konsep-konsep Jawa sangat berpengaruh dalam dinamika sosial politik Indonesia. Bahkan, idiom-idiom Jawa seperti aja dumeh, gotong royong, rukun, tepa selira adalah contoh-contoh idiom Jawa yang sudah menasional.
           




Friday, February 8, 2019

Indonesia Dijajah Belanda Hanya 4 Tahun




Benarkah Indonesia dijajah belanda selama 350 tahun ?



Kalimat Indonesia dijajah belanda selama 350 tahun muncul dari kelompok pergerakan nasional, mereka mengutip dari pernayataan gurbenur jendral BC de jonge tahun 1936 :
" kami orang belanda sudah berada di sini 300 tahun dan kami akan tinggal di sini 300 tahun lagi "
ucapan ini sebenarnya ditujukan untuk menentang kelompok pergerakan, tapi sayangnya malah di gunakan terus-menerus.

Bila di hitung-hitung dari pertama kali kedatangan belanda pun bukan 350 tahun. Orang belanda yang datang pertama kali adalah de houtman bersaudara dan mendarat di Pelabuhan Banten tahun 1552 bila di hitung dari tahun 1552 dan mereka berada di Indonesia selama 350 tahun berarti kita merdeka tahun 1902 bukan 1945.

Sebenarnya ketika de houtman datang ke banten mereka masih melakukan penjajakan wilayah, belum bisa juga di sebut sebagai menjajah kan ? kalau pun kita mau menghitung dari saat VOC menduduki Batavia tahun 1619 tidak sampai 350 tahun juga. Apalagi saat itu Jakarta yang luasnya masih sebagian dari wilayah Jakarta Utara sekarang, tidak sebanding dengan luas wilayah nusantara.


Banyak Kerajaan Merdeka
Ada tumpang tindih pernyataan 350 tahun dijajah Belanda dengan kerajaan besar abad ke 16-17 adalah masa kejayaan sultan Iskandar Muda (1607-1645) yang meluaskan kekuasaan hingga pantai barat Sumatra.

Begitu juga kejayaan Sultan Agung (1613-1645) yang meluaskan kekuasaannya ke seluruh Jawa (kecuali daerah Banten dan Batavia). GS resink mencatat antara tahun 1850-1910 banyak daerah yang masih merdeka seperti kerajaan Sumba, Goa, Aceh, Langkat dan Lingga yang merdeka tahun 1915.

Umumnya kerajaan-kerajaan di Nusantara baru kehilangan kemerdekaan di awal abad 19 dan terjadi secara bertahap akibat perang. misalnya, di sumatera utara ada perang Sisingamaraja (1887-1907), Kiras bangun (1901-1905) dan Rondahaim (1807-1889).


Status Sejajar
Bagaimana dengan VOC (1602-1798) yang selama ini di anggap sebagai cikal bakal dari penjajahan Belanda ?, VOC adalah sebuah persekutuan dagang asal Belanda yang punya hak monopoli di kawasan Asia. VOC baru membuka kantor pusat di Batavia tahun 1619 dan bukan milik pemerintah Belanda. Mereka bisa dibilang perusahaan mulitinasional namun mampu memiliki tentara dan aturan sendiri.

 Yang paling merasakan kekejaman VOC lewat tanam paksa adalah Jawa dan Sumatra, sementara wilayah lain di Nusantara ada yang terkena ada yang tidak. Setelah VOC bubar karena bangkrut, baru di ambil alih oleh pemerintahan belanda 1816. Pada masa itu Hindia-Belanda dan beberapa kerajaan Nusantara statusnya masih sejajar.

Ada peraturan pemerintahan tahun 1854 yang menyatakan gubernur jendral Hindia Belanda punya wewenang mengumumkan perang serta membuat perdamaian dan perjanjian dengan raja-raja di seluruh Nusantara.
 .

Hanya Mitos
Boleh dibilang dijajah 350 tahun itu mitos kalau bicara soal penjajahan di Indonesia tidak bisa di samaratakan karena begitu luas wilayah Nusantara, tiap-tiap daerah atau kerajaan memiliki hubungan yang berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda.

Mungkin dengan wilayah Maluku, Banten dan Jakata (markas VOC) yang paling merasakan penjajahan Belanda itu pun mereka di kuasai selama 343 tahun kalau di hitung dari wilayah Nusantara dan di hitung dari tahun 1910 seperti perhitungan resink bahwa antara tahun 1850-1910 banyak daerah yang masih merdeka, maka belanda menjajah sekitar 35 tahun. Jangan lupa tahun 1942 kehadiran Belanda sudah digantikan oleh penjajah Jepang, jadi Belanda tidak sepenuhnya menguasai Nusantara selama 35 tahun.

Angka 350 tahun itu memang sudah melekat dari kita dari dulu, semua orang tau bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 Tahun !, tapi apa benar itu kenyataannya ?,
saya membaca perdebatan antara Soe Hok Gie dengan salah seorang dosen sejarahnya. Soe sangat tidak terima Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun.

Mengutip pendapat Profesor G.J. Resink (akademisi UI yang berkebangsaan Belanda), aktivis dan mahasiswa sejarah itu menyebut angka tersebut hanya “dramatisasi politik” Soekarno untuk membakar rakyat Indonesia punya jiwa.
“Dalam kenyataannya, Belanda tak pernah bisa menguasai 100% wilayah Nusantara sampai akhir kekuasaannya” kata Soe sambil menyebut beberapa pemberontakan rakyat Aceh yang masih berlangsung hingga 1942.

Fakta sebenarnya adalah penjajahan Belanda atas Indonesia hanya 4 tahun (1945-1949). Apa sebab ? “Sebelum 1945, secara de facto dan de jure, Republik Indonesia belum ada, dengan kata lain Negara Indonesia belum lahir”.

Nama Indonesia sendiri baru disebut-sebut di kalangan ilmuwan ketika pada 1850, seorang etnolog berkebangsaan Inggris bernama James Richardson Logan menulis Ethnology of the India Archipelago (dimuat dalam The Journal of Indian Archipelago and East Asian Edisi IV. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman (1826-1905) lantas menulis sebuah buku berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu).

Sebelum 1945, wilayah Indonesia memang dikenal sebagai Hindia Belanda, Artinya India punya Belanda. Itu untuk membedakan dengan Hindia Barat atau India yang punya Inggris. Dua nama itu murni hasil kesepakatan antara bangsa penjajah semata.

Jauh sebelum ada nama Hindia Belanda, kawasan kita lebih dikenal sebagai Nusantara (artinya diantara pulau-pulau). Isinya terdiri dari berbagai bangsa dan kerajaan seperti Sunda, Bali, Gowa, Pajajaran, Melayu, Andalas, Pagaruyung, Mataram, Banten dan lain sebagainya.

Kembali ke soal angka 350. Rupanya, angka tersebut awalnya keluar dari mulut salah seorang Gubernur Hindia Gubernur Jenderal De Jonge Belanda namanya Bonifacius Cornelis de Jonge (1931-1936). Ceritanya, pada sekitar pertengahan tahun 1930-an, ia memberikan keterangan ke pers bahwa sebuah Hindia Belanda yang merdeka masih jauh dari kenyataan: “Kami sudah ada di sini sejak hampir 350 tahun yang lalu, dan kami akan tetap di sini sampai 300 tahun kemudian,” ujarnya.

Benarkah apa yang dikatakan De Jonge ?, Kalaupun itu dihitung sejak kedatangan pertama kali armada Belanda pimpinan Cornelis de Houtman pada 22 Juli 1596 atau Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Warwijck pada 1 Mei 1598, mungkin ia tidak salah. Tapi bukankah saat pertama kali mereka datang ke Pelabuhan Banten tujuannya hanya berbisnis semata, bukan melakukan penjajahan? Alih-alih menjajah, mereka bahkan terikat kesepakatan dengan Kerajaan Banten dan justru mempersembahkan upeti kepada Sultan Banten.

Harus diingat pula, setelah berdirinya Maskapai Perdagangan Hindia Timur (VOC) pada 1602 tak serta merta urusan “penguasaan” ekonomi dan politik Belanda atas kawasan Nusantara berlangsung mulus. Berbagai perlawanan terjadi ketika Belanda berniat menganeksasi wilayah kerajaan-kerajaan yang ada saat itu.

Muncullah berbagai perang yang terjadi di berbagai di kawasan Nusantara. Di Jawa Barat muncul seorang Haji Prawatasari yang memimpin secara sporadis perlawanan terhadap VOC (1703-1707), di Sumatera Barat meletus Perang Padri (1821-1837), di Jawa Tengah dan Yogyakarta terjadi Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh I (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh II (1912-1942).

Praktis hingga 1942, Belanda tidak bisa sepenuhnya menguasai wilayah Nusantara. Di beberapa kawasan seperti Banten, Aceh dan sebagian wilayah Sumatera lainnya, bahkan secara de facto Belanda hanya menguasai kawasan kota semata. Sedangkan kawasan pelosok dan pedalaman, tetap dikendalikan oleh para pejuang lokal.

Pendapat tersebut diperkuat oleh sejarawan dari Universitas Padjajaran, Nina Lubis, Menurut Nina, hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Bali, dan beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda.

Jadi masihkan kita menyebut dengan “takjub” di mimbar-mimbar dan kelas-kelas bahwa kita telah dijajah Belanda selama 350 tahun ?, pikirkan itu...!


Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...