1. Pengantar
.
Kepemimpinan
(leadership)
merupakan unsur yang sangat penting dalam membawa suatu bangsa kepada tataran
peradaban tertentu. Dalam sejarahnya, hampir pasti suatu bangsa mencapai
kemajuan karena adanya kepemimpinan yang baik.
Dari
panggung sejarah dunia kita melihat, misalnya bangsa Mongol menonjol karena
adanya Jengis Khan, Yunani berkibar karena munculnya Iskandar Agung (Iskandar
Zulkarnain), Arab menonjol karena munculnya Muhammad, dan sederet panjang
pemimpin dengan karakter masing-masing.
Dalam
tradisi Jawa sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang, dikenal
pemimpin-pemimpin dalam kurun waktu tertentu yang menonjol yang tentu saja juga
dengan karakter masing-masing seperti Balitung, empu Sendok, Darmawangsa Teguh,
Airlangga, Empu Bharada, Jayabhaya, Kertanegara, Gajah Mada, Sunan Kalijaga,
Sunan Giri, Fatahilah, Ki Juru Martani, Panembahan Senopati, Sultan Agung,
Mangkubumi, Diponegara, dan lain-lain. Karakter pemimpin tersebut tentu saja
berkaitan dengan situasi dan kondisi zamannya yang menuntut sikap tertentu.
Pemimpin
dalam tulisan ini tidak selalu dalam artian pimpinan formal seperti raja,
presiden, bupati, dan seterusnya, tetapi lebih condong kepada model
kepemimpinan (leadership)
serta tokoh pengendali kepemimpinan. Sebagai misal, pimpinan Majapahit bukanlah
raja Majapahit, melainkan Gajah Mada yang berperan dalam pengendalian negara.
2.
Ciri-ciri Kepemimpinan Jawa
Setiap
jenis kepemimpinan memiliki ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut (termasuk
kepemimpinan Jawa) akan berubah sesuai tuntutan zaman. Maka kepemimpinan dalam
budaya Jawa memiliki beberapa ciri, yakni:
a)
monocentrum
b)
metafisis
c)
etis
d)
pragmatis
e)
sinkretis
Monocentrum bermakna bahwa
kepemimpinan berpusat pada figur yang tunggal. Kepemimpinan Jawa bersifat
tunggal, yakni berpusat pada satu orang (monoleader/monocentrum). Hal ini
merupakan suatu kelemahan karena begitu seorang pemimpin lenyap, maka sistem
mengalami kekacauan.
Tampaknya
sistem ini masih mendominasi kepemimpinan umumnya di Indonesia. Ciri ini
ternyata merupakan suatu ciri yang universal pula di belahan dunia lain. Hampir
setiap kepemimpinan ternyata memusat pada suatu tokoh.
Surutnya
seorang tokoh seringkali diikuti dengan pudarnya sistem kepemimpinan, semisal
kejayaan Majapahit sangat tergantung pada Gadjah Mada, kejayaan Mataram sangat
terikat dengan Sultan Agung, dan dominasi Orde Baru sangat terkait dengan
Suharto, serta dapat diteruskan dengan sejumlah kasus.
Dalam
kepemimpinan Jawa, orang cenderung menonjolkan figur kepemimpinan daripada
sistem kepemimpinan. Suatu lembaga, misalnya, setiap ganti pimpinan maka selalu
ganti kebijakan sesuai ”selera” sang pemimpin.
Gambaran ini juga tampak dalam gelar
raja Jawa yang menggenggam semua aspek pemerintahan dengan ungkapan ” berbudi
bawa leksana, bau dendha nyakrawati”, amirul mukminin kalifatullah sayidin
panatagama (pemurah laksana angin, yang menghukum dan menyempurnakan, pimpinan
orang mukmin, wakil Allah di bumi, pimpinan yang mengatur agama).
Kepemimpinan
Jawa juga bersifat metafisis, yakni selalu dikaitkan dengan hal-hal metafisik
seperti wahyu, pulung, drajat, keturunan (nunggak
semi), dan sebagainya. Seolah-olah, kemampuan memimpin bukan
sebagai suatu capability,
tetapi lebih condong sebagai miracle.
Karena
kepemimpinan bersifat metafisis, hampir-hampir tidak ada sistem rekruitmen
pemimpin yang baik di negeri ini. Pemimpin muncul secara sporadis dan take for granted.
Kadang-kadang di dalam menentukan pemimpin tidak ada penilaian track record dan quality (test kelayakan),
andaikan ada sangat mendasar belaka.
Dalam
serat-serat Jawa pun hanya dicantumkan tentang karakter ideal seorang pemimpin,
tetapi tidak ditunjukan ”bagaimana karakter itu dapat diproses”. Hal ini
tergambar dalam konsep ”raja
gung binatara ”. Gambaran tentang pengalaman metafisis para
calon raja diuraikan panjang lebar oleh Berg (1974) dalam bukunya Penulisan Sejarah Jawa (terjemahan).
Hal tersebut juga tergambar dalam serat-serat dalam tradisi Jawa
(Poerbatjaraka, 1952).
Secara
praktis, pandangan ini masih dianut oleh calon pemimpin-pemimpin di Jawa. Untuk
mencalonkan dalam bursa kepemimpinan, banyak calon pemimpin melakukan
ritual-ritual untuk mendapatkan kekuatan spiritual seperti memiliki/ membeli
”azimat”, tapa kungkum,
meminta restu ”orang pintar”, ritual tertentu, dan lain-lain. Sementara itu,
hal terkait dengan kapabilitasnya sering diabaikan.
Sementara
itu, secara dramatis juga digambarkan oleh Ranggawarsita bahwa raja-raja di
Jawa adalah keturunan dari Nabi Adam yang kemudian juga menurunkan dewa-dewa seperti
Batara Guru dan Semar yang tampak dalam Paramayoga
(Ranggawarsita, 1997). Khusus Semar, dianggap sebagai salah satu tanda turunnya
wahyu sehingga siapapun yang diikuti Semar akan menjadi pemimpin yang baik
(Subroto, 1957).
Nilai
kepemimpinan Jawa bersifat etis, artinya apa yang diidamkan adalah sesuatu yang
berdasar pada baik buruk, tetapi konsep aplikasi riil yang ditawarkan sama
sekali tidak ditunjukan. Dengan kata lain, nilai-nilai yang disampaikan tidak
disertai dengan semacam metode pencapaian.
Konsep
kepemimpinan yang disampaikan tampaknya merupakan konsep yang sangat pragmatis.
Hal ini misal, tampak dalam Serat Tripama
(Tiga Perumpamaan) dari lingkungan Mangkunegaran yang mengidolakan tiga tokoh kontroversial.
Kehadiran
tokoh Kumbakarna, Adipati Karna, dan Sumatri (Patih Suwanda) terkait erat
dengan fakta historis Mangkunegaran yang eksis di pihak perlawanan, khususnya
terhadap Kasunanan yang merupakan simbolisasi dari Pandawa (raja-raja Mataram
menganggap dirinya keturunan Arjuna) (Sudardi, 1995). Keterkaitan
simbolisasi tokoh ideal dengan fakta historis dapat dipahami dengan bagan
berikut.
Tokoh
|
Cerita
|
Mangkunegara
|
Kumbakarna
|
Tokoh yang setia kepada negara
|
Mangkunegara berjuang dengan dalih
mencintai dinasti Mataram
|
Karna
|
Setia pada Kurawa karena ditolong
oleh Kurawa dan dijadikan Adipati, meskipun yang menolong adalah musuh
adik-adiknya.
|
Dalam sejarahnya, Mangkunegara
adalah sentana Kartasura yang terbuang, ia dapat terangkat menjadi Adipati
karena bantuan Belanda
|
Suwanda
|
Patih yang setia pada
Arjunasasrabahu dan dapat menyelesaikan pekerjaan
|
Mangkunegara dalam sejarah
selanjunya banyak membantu Belanda dalam menumpas pemberontakan.
|
Karena
itu, dapat dipahami bila konsep kepemimpinan dalam Tripama menampilkan tokoh-tokoh idealis yang
kontroversial karena kedudukan Mangkunegara di zamannya dapat dikatagorikan
sebagai tokoh kontroversial karena berani menentang Kasunanan.
Munculnya
idealisme terhadap tokoh tersebut terkait aspek pragmatis, untuk membenarkan
tindakan-tindakan Mangkunegara selama itu.Kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis,
artinya konsep-konsep yang diambil adalah konsep-konsep yang berasal dari
berbagai agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir di Jawa, khususnya Islam
dan Hindu.
Pola
pikir Islam biasanya disadap dari ajaran-ajaran sufi yang mengedepankan aspek
wara’ (menjauhi kemewahan dunia) dan hidup sederhana sebagaimana para sufi yang
meninggalkan kehidupan dunia untuk menuju kebahagiaan sejati. Hal ini tergambar
pada idiom-idiom yang digunakan untuk pimpinan, khususnya raja.
Pengaruh Hindu
|
Pengaruh Islam
|
(1) Gung Binatara (besar
seperti dewa)
(2) ambeg paramarta
(bagaikan dewa) –konsep titisan Dewa
(3) panatagama (penata
agama),
(4) herucokro
(menyempurnakan pekerjaan) – sifat Wisnu
(5) senapati ing alaga
(hulubalang di medan laga) (sifat Indra)
(6) hastabrata (ajaran
Seri Rama) sifat Wisnu
(7) dasa darma raja
(ajaran bagi para raja)
|
(1) Ratu adil (raja yang
adil)
(2) Kalifatullah (wakil
Allah),
(3) Sayidin (yang
dituakan/ dihormati)
(4) mengerti halal haram
(paham akan agama).
(5) Sederhana (kehidupan
nabi)
(6) loyal, tidak
berwatak pedagang (cari untung) iklash
(7) rendah hati
(tawadhu’)
|
4.
Hasta Brata, Filosofi Kepemimpinan Jawa
Etika Kepemimpinan dalam masyarakat
Jawa dikenal dengan istilah “Hasta Brata”. Istilah ini diambil dari buku
Ramayana karya Yasadipura I yang hidup pada akhir abad ke-18 (1729-1803 M) di
keraton Surakarta. Secara
etimologis, “hasta” artinya delapan, sedangkan “Brata” artinya langkah.
Secara terminologis berarti delapan
langkah yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam mengemban misi
kepemimpinannya. Langkah-langkah tersebut mencontoh delapan watak dari
benda-benda di alam yakni Bumi, Matahari, Bulan. Bintang, Api, Angin, laut, dan
Air.
·
Bumi,
wataknya adalah ajeg. Sifatnya yang tegas, konstan, konsisten, dan apa
adanya. Bumi menawarkan kesejahteraan bagi seluruh mahkluk hidup yang ada di
atasnya. Tidak pandang bulu, tidak pilih kasih, dan tidak membeda-bedakan.
·
Matahari
selalu memberi penerangan (di kala siang), kehangatan, serta energi yang merata
di seluruh pelosok bumi. Energi dari cahaya matahari juga merupakan sumber
energi dari seluruh kehidupan di muka bumi. Pemimpin juga harus memberi
semangat, membangkitkan motivasi dan memberi kemanfaatan pengetahuan bagi
orang-orang yang dipimpinnya.
·
Bulan
mungkin lebih berguna daripada matahari. Karena dibandingkan matahari, bulan
memberi penerangan saat gelap dengan cahaya yang sejuk dan tidak menyilaukan.
Pemimpin yang berwatak bulan memberi kesempatan di kala gelap, memberi
kehangatan di kala susah, memberi solusi saat masalah dan menjadi penengah di
tengah konflik.
·
Bintang
adalah penunjuk arah yang indah. Seorang pemimpin harus berwatak bintang dalam
artian harus mampu menjadi panutan dan memberi petunjuk bagi orang yang
dipimpinnya. Pendirian yang teguh karena tidak pernah berpindah bisa menjadi
pedoman arah dalam melangkah.
·
Api
bersifat membakar. Artinya seorang pemimpin harus mampu membakar jika
diperlukan. Jika terdapat resiko yang mungkin bisa merusak organisasi,
kemampuan untuk merusak dan menghancurkan resiko tersebut sangat membantu untuk
kelangsungan oraganisasi.
·
Angin
adalah udara yang bergerak. Maksudnya kalo udara itu ada di mana saja. Dan
angin itu ringan bergerak ke mana saja. Jadi pemimpin itu, meskipun mungkin
kehadiran seorang pemimpin tidak disadari, namun ada dimanapun dia dibutuhkan.
Pemimpin juga tak pernah lelah bergerak dalam mengawasi orang yang dipimpinnya.
Memastikan baik-baik saja dan tidak hanya mengandalkan laporan yang bisa saja
direkayasa.
·
Laut
atau samudra yang lapang, luas, menjadi muara dari banyak aliran sungai.
Artinya seorang pemimpin mesti bersifat lapang dada dalam menerima banyak
masalah dari anak buah. Menyikapi keanekaragaman anak buah sebagai hal yang
wajar dan menanggapi dengan kacamata dan hati yang bersih.
·
Air
mengalir sampai jauh dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Meskipun
wadahnya berbeda-beda, air selalu mempunyai permukaan yang datar. Artinya,
pemimpin harus berwatak air yang berprinsip keadilan dan sama rata, kesamaan
derajat dan kedudukan. Selain itu, sifat dasar air adalah menyucikan. Pemimpn
harus bersih dan mampu membersihkan diri dan lingkungannya dari hal yang kotor
dan mengotori.
5.
Trilogi Kepemimpinan
a) Ing
ngarsa sung tuladha,
artinya sebagai seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan baik terhadap
anak buahnya yaitu dengan cara berdisiplin, jujur, penuh toleransi dan
bertindak adil.
b) Ing
madya mangun karsa,
artinya dalam melaksanakan tugas bersama-sama anak buahnya, seorang pemipmpin
harus mampu memberikan motivasi agar anak buahnya senang melaksanakan tugas
dengan baik. Pemimpin tidak hanya memerintah saja tetapi ikut melaksanakan
tugas bersama-sama dengan anak buahnya agar sasaran dan tujuan bersama dapat
tercapai dengan baik dan memuaskan.
c) Tut
wuri handayani,
artinya seorang pemimpin harus bisa mendelegasikan wewenang sesuai dengan
kemampuan anak buahnya. Pemimpin harus memberikan kepercayaan penuh pada anak
buahnya. Selama anak buahnya mampu melaksanakan tugas dengan baik, penui
dedikasi dan tanggung jawab, maka pemimpin tinggal merestui saja.
6. Penutup
Budaya
Jawa adalah sebuah budaya yang telah melewati masa perkembangan yang panjang.
Bukti-bukti arkeologi menunjukan bahwa sejak abad ke-4 (masa Tarumanegara di
Jawa Barat), budaya Jawa telah memiliki kedudukan mantap dalam bentuk institusi
dengan sistem yang baik. Kemudian abad ke-7 juga muncul Kalingga di Jawa
Tengah. Masa perkembangan dari abad ke-4 sampai dengan abad ke-21 ini tentu
mengalami perkembangan dan pasang surut dan tentu saja perubahan-perubahan.
Dewasa
ini, model kepemimpinan Jawa telah lebur ke dalam model kepemimpinan nasional
Indonesia. Sebagai suku bangsa terbesar, konsep-konsep Jawa sangat berpengaruh
dalam dinamika sosial politik Indonesia. Bahkan, idiom-idiom Jawa seperti aja dumeh, gotong royong, rukun, tepa
selira adalah contoh-contoh idiom Jawa yang sudah menasional.