Friday, July 3, 2020

Senjata Tradisional Keris Jawa

 

A. Definisi Umum

Keris adalah senjata tikam berbentuk asimetris bermata dua yang berasal dari Jawa. Dari tempat asalnya (Jawa), keris kemudian menyebar ke Pulau Bali, Lombok, Kalimantan, bahkan Brunei Darussalam, Malaysia, dan Pulau Mindanao di Filipina. Dari hanya sekedar senjata tikam, keris berkembang menjadi simbol status sosial dan simbol kejantanan/kekuasaan bagi pemiliknya.

Keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9 dan kuat kemungkinan keris telah digunakan sebelum masa tersebut. Keris merupakan salah satu dari peralatan dan perlengkapan hidup manusia, khususnya orang Jawa dan merupakan senjata untuk membela diri. Walau sebagian peneliti dan penulis bangsa Barat menggolongkan keris sebagai senjata tikam, sebenarnya keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh.

Keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam artian spiritual untuk ‘sipat kandel,’ kata orang Jawa.

Keris memiliki berbagai macam bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda. Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes.

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di Pulau Jawa, cara mengenakan keris pada suatu pesta, tidak sama ketika keris dikenakan untuk menghadiri suatu acara kematian dan penguburan. Di Jawa pada umumnya keris dikenakan orang dengan cara menyelipkannya di antara stagen, (sejenis ikat pinggang) di pinggang bagian belakang.

Yang paling umum, keris diselipkan miring ke arah tangan kanan, pada situasi yang lain, posisi keris juga lain. Misalnya, pada situasi perang keris akan diselipkan di bagian dada miring ke arah tangan kanan. Di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan. Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari bilahnya. Bilah keris tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor namun merupakan campuran berbagai logam yang berlapis-lapis, sehingga keris memiliki kekhasan berupa pamor pada bilahnya.

B. Bagian-bagian keris

Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu warangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya itulah baru dapat disebut keris.

·      Pegangan keris atau hulu keris

Pegangan keris (bahasa Jawa : gaman) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksasa, patung penari, pertapa, hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia.

Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.

Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.

·      Warangka atau sarung keris

Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar : kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning).

Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi warangka sebagai pencerminan status sosial penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.

Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis warangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan warangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.


Warangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misal menghadap raja atau acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang. Sedangkan warangka gayaman yang dipakai untuk keperluan harian, keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) atau di belakang.


Dalam perang, yang dipakai adalah warangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena warangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, bentuknya lebih sederhana.


Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk warangka, dan bagian utama menurut fungsi warangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang (sepanjang wilah keris) yang disebut gandar atau antupan ,fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) biasanya terbuat dari kayu (dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran) .


Karena fungsi gandar untuk membungkus, fungsi keindahannya tidak diutamakan, untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa (campuran tembaga emas), perak, emas.


Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

·      Wilah

Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur).

Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil.

Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting. Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan.

Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.

·      Luk

Luk adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk.


Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.

 

C. Bentuk / Dapur Keris

Ada beberapa bentuk/dapur keris yang umum kita temui, diantaranya adalah :

·      Bentuk/Dapur Keris Jenis LURUS

·      Bentuk/Dapur Keris Jenis LUK (Jumlah Luk selalu ganjil mulai Luk 3 sampai 29)

·      Bentuk/Dapur Keris Jenis TOMBAK

 

D. Tangguh keris

Di bidang perkerisan dikenal pengelompokan yang disebut tangguh yang dapat berarti periode pembuatan atau gaya pembuatan. Hal ini serupa dengan misalnya dengan tari Jawa gaya Yogyakarta dan Surakarta. Pemahaman akan tangguh akan membantu mengenali ciri-ciri fisik suatu keris. Beberapa tangguh yang biasa dikenal antara lain :

·      Tangguh Pajajaran

·      Tangguh Tuban

·      Tangguh Madura

·      Tangguh Blambangan

·      Tangguh Majapahit

·      Tangguh Demak

·      Tangguh Cirebon

·      Tangguh Pajang

·      Tangguh Mataram/Yogyakarta

·      Tangguh Surakarta

 

E.  Keris Pusaka terkenal

·      Keris Mpu Gandring, dibuat oleh seorang pandai besi yang dikenal sangat sakti yang bernama Mpu Gandring, atas pesanan Ken Arok

·      Keris Pusaka Setan Kober, adalah keris milik Adipati Jipang, Arya Penangsang. Keris ini dikenakan pada waktu ia perang tanding melawan Sutawijaya.

·      Keris Kyai Sengkelat, merupakan keris pusaka kerajaan Majapahit.

·      Keris Pusaka Nagasasra Sabuk Inten, yakni keris pusaka kerajaan pada zaman pemerintahan Dernak-Pajang, yang dibuat pada zaman Majapahit.

·      Keris Kyai Carubuk, adalah keris pusaka Sunan Kalijaga (Demak-Paiang)

·      Keris Kyai Condong Campur, keris pusaka milik Kerajaan Majapahit yang dibuat beramai-ramai oleh seratus orang mpu. Bahan kerisnya diambil dari berbagai tempat. Keris ini menjadi pusaka yang sangat ampuh tetapi memiliki watak jahat.

 

F.  Istilah-istilah dalam perkerisan Jawa

Angsar

Adalah daya kesaktian yang dipercaya oleh sebagian orang terdapat pada sebilah keris. Daya kesaktian atau daya gaib itu tidak terlihat, tetapi dapat dirasakan oleh orang yang percaya. Angsar dapat berpengaruh baik atau posistif, bisa pula sebaliknya.

Pada dasarnya, semua keris ber-angsar baik. Tetapi kadang-kadang, angsar yang baik itu belum tentu cocok bagi setiap orang. Misalnya, keris yang angsar-nya baik untuk seorang prajurit, hampir pasti tidak cocok bila dimiliki oleh seorang pedagang.

Keris yang angsar-nya baik untuk seorang pemimpin yang punya banyak anak buah, tidak sesuai bagi pegawai berpangkat rendah. Guna mengetahui angsar keris, diperlukan ilmu tanjeg. Untuk mengetahui cocok tidaknya seseorang dengan angsar sebuah keris, diperlukan ilmu tayuh.

Dapur

Adalah istilah yang digunakan untuk menyebut nama bentuk atau type bilah keris. Dengan menyebut nama dapur keris, orang yang telah paham akan langsung tahu, bentuk keris seperti apa yang dimaksud. Misal, keris ber-dapur Tilam Upih, maka yang mendengar akan tahu, yang dimaksud adalah keris lurus, bukan keris yang memakai luk.

Lain lagi kalau dapur-nya Sabuk Inten, maka itu pasti keris yang ber-luk sebelas. Dunia perkerisan di masyarakat Jawa mengenal lebih dari 145 macam dapur keris. Namun dari jumlah itu, yang dianggap sebagai dapur keris yang baku atau mengikuti pakem hanya sekitar 120 macam saja.

Luk

Istilah ini digunakan untuk bilah keris yang tidak lurus, tetapi berkelok atau berlekuk. Luk pada keris selalu gasal, tidak pernah genap. Hitungannya mulai dari luk tiga, sampai luk tigabelas. Itu keris yang normal. Jika luknya lebih dari 13, dianggap sebagai keris yang tidak normal, dan disebut keris kalawijan atau palawijan.

Jumlah luk pada keris selalu gasal, tidak pernah genap. Selain itu, irama luk keris dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, luk yang kemba atau samar. Kedua, luk yang sedeng atau sedang. Dan ketiga, luk yang rengkol -- yakni yang irama luknya tegas.

Mas kawin

Dalam dunia perkerisan adalah pembayaran sejumlah uang atau barang lain, sebagai syarat transaksi atau pemindahan hak milik atas sebilah keris, pedang, atau tombak. Dengan kata yang sederhana, mas kawin atau mahar adalah harga.

Istilah mas kawin atau mahar ini timbul karena dalam masyarakat perkerisan terdapat kepercayaan bahwa isi sebilah keris harus cocok atau jodoh dengan pemiliknya. Jika isi keris itu jodoh, si pemilik akan mendapat keberuntungan, sedangkan kalau tidak maka kesialan yang akan diperoleh. Dunia perkerisan juga mengenal istilah melamar, jika seseorang berminat hendak membeli sebuah keris.

Mendak

Adalah sebutan bagi cincin keris, yang berlaku di Pulau Jawa, Bali, dan Madura. Di daerah lain biasanya digunakan istilah cincin keris. Mendak hampir selalu dibuat dari bahan logam : emas, perak, kuningan, atau tembaga.

Banyak di antaranya yang dipermewah dengan intan atau berlian. Pada zaman dulu ada juga mendak yang dibuat dari besi berpamor. Selain sebagai hiasan kemewahan, mendak juga berfungsi sebagai pembatas antara bagian hulu keris atau ukiran dengan bagian warangka.

Pamor

Pamor dalam dunia perkerisan memiliki 3 (tiga) macam pengertian. Yang pertama menyangkut bahan pembuatannya, misal : pamor meteorit, pamor Luwu, pamor nikel, dan pamor sanak. Pengertian yang kedua menyangkut soal bentuk gambaran atau pola bentuknya. Misalnya :  pamor Ngulit Semangka, Beras Wutah, Ri Wader, Adeg, dan sebagainya. Ketiga, menyangkut soal teknik pembuatannya, misalnya : pamor mlumah, pamor miring, dan pamor puntiran.

 Selain itu, ditinjau dari niat sang empu, pola pamor yang terjadi masih dibagi lagi menjadi dua golongan. Kalau sang empu membuat pamor keris tanpa merekayasa polanya, maka pola pamor yang terjadi disebut pamor tiban. Orang akan menganggap bentuk pola pamor itu terjadi karena anugerah Tuhan. Sebaliknya, jika sang empu lebih dulu membuat rekayasa pola pamornya, disebut pamor rekan (rékan berasal dari kata réka = rekayasa).

Pendok

Pendok Berfungsi sebagai pelindung atau pelapis gandar, yaitu bagian warangka keris yang terbuat dari kayu lunak. Namun fungsi pelindung itu kemudian beralih menjadi sarana penampil kemewahan. Pendok yang sederhana biasanya terbuat dari kuningan atau tembaga, tetapi yang mewah terbuat dari perak atau emas bertatah intan berlian. Bentuk pendok ada beberapa macam, yakni pendok bunton, blewehan, slorok, dan topengan.

Perabot

Dalam dunia perkerisan, asesoris bilah keris disebut perabot keris. Asesoris atau perlengkapan sebilah keris meliputi warangka atau sarung keris, ukiran atau hulu keris, mendak atau cincin keris, selut atau pedongkok, dan pendok atau logam pelapis warangka.

Ricikan

Adalah bagian-bagian atau komponen bilah keris atau tombak. Masing-masing ricikan keris ada namanya. Dalam dunia perkerisan soal ricikan ini penting, karena sangat erat kaitannya dengan soal dapur dan tangguh keris.

Sebilah keris ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng tanda-tandanya adalah berbilah lurus, memakai gandik polos, pejetan, sogokan rangkap, tikel alis, dan tingil. Gandik polos, pejetan, sogokan rangkap, tikel alis, dan tingil, adalah komponen keris yang disebut ricikan.

Selut

Seperti  mendak, terbuat dari emas atau perak, bertatahkan permata. Tetapi fungsi selut terbatas hanya sebagai hiasan yang menampilkan kemewahan. Dilihat dari bentuk dan ukurannya, selut  terbagi menjadi dua jenis, yaitu selut njeruk pecel yang ukurannya kecil, dan selut njeruk keprok yang lebih besar.

Sebagai catatan, pada tahun 2001, selut njeruk keprok yang bermata berlian harganya dapat mencapai lebih  dari Rp. 20 juta! Karena dianggap terlalu menampilkan kemewahan, tidak setiap orang mau mengenakan keris dengan hiasan selut.

Tangguh

Tangguh arti harfiahnya adalah perkiraan atau taksiran. Dalam dunia perkerisan maksudnya adalah perkiraan zaman pembuatan bilah keris, perkiraan tempat pembuatan, atau gaya pembuatannya. Karena hanya merupakan perkiraan, me-nangguh keris bisa saja salah atau keliru.

 Kalau sebilah keris disebut tangguh Blambangan padahal sebenarnya tangguh Majapahit, orang akan memaklumi kekeliruan tersebut karena bentuk keris dari kedua tangguh itu memang mirip. Tetapi jika sebuah keris buatan baru di-tangguh keris Jenggala, maka jelas ia bukan seorang ahli tangguh yang baik.

Walaupun sebuah perkiraan, tidak sembarang orang bisa menentukan tangguh keris. Untuk itu ia perlu belajar dari seorang ahli tangguh, dan mengamati secara cermat ribuan bilah keris. Ia juga harus memiliki photographic memory yang kuat.

Tanjeg

Tanjeg dalah perkiraan manfaat atau tuah keris, tombak, atau tosan aji pusaka lainnya. Sebagian pecinta keris percaya bahwa keris memiliki 'isi' yang disebut angsar. Kegunaan atau manfaat angsar keris ini banyak macamnya. Ada yang menambah rasa percaya diri, ada yang membuat lebih luwes dalam pergaulan, ada yang membuat nasihatnya di dengar orang.

Untuk mengetahui segala manfaat angsar itu, diperlukan ilmu tanjeg. Ilmu tanjeg termasuk esoteri keris. Ilmu tanjeg ini ada dua macam, yang pertama dengan melakukan pengamatan lahiriah sebuah keris, baik dari besinya, pamornya, cara pembuatannya, bentuknya, dan rabaannya. Cara kedua adalah dengan mengandalkan kemampuan batiniah secara tradisional.

Tayuh

Merupakan perkiraan tentang cocok atau tidaknya, angsar sebilah keris dengan (calon) pemiliknya. Sebelum memutuskan, apakah keris itu akan dibeli (dibayar mas kawinnya), si peminat biasanya terlebih dulu akan menayuh atas keris itu.

Tujuannya untuk mengetahui, apakah keris itu cocok / berjodoh dengan dirinya. Ilmu ini juga bermanfaat untuk meningkatkan kepekaan seseorang agar dia dapat menangkap kesan karakter sebilah keris dan menyesuaikan dengan kesan karakter dari calon pemiliknya.

Ukiran

Kata ukiran dalam dunia perkerisan adalah gagang. Berbeda artinya dari kata 'ukiran' dalam bahasa Indonesia yang padanannya ialah carved atau engraved. Gagang keris di Bali disebut danganan, di Madura disebut landheyan, di Surakarta disebut jejeran, di Yogyakarta disebut deder. Sedangkan daerah lain di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam disebut hulu keris.

Warangka

Atau sarung keris kebanyakan terbuat dari kayu yang berserat dan bertekstur indah. Namun di beberapa daerah ada juga warangka keris yang dibuat dari gading, tanduk kerbau, dan bahkan dari fosil binatang purba.

Warangka keris selalu dibuat indah dan sering kali juga mewah. Itulah sebabnya, warangka juga dapat digunakan untuk memperlihatkan status sosial ekonomi pemiliknya. Bentuk warangka keris berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Bahkan pada satu daerah seringkali terdapat beberapa macam bentuk warangka.

Perbedaan bentuk warangka mempermudah membedakan dan mengenali keris-keris yang berasal dari Bali, Palembang, Riau, Madura, Jawa, Bugis, Bima, atau Malaysia.

Bagi pencinta dan kolektor keris, ada semacam peraturan yang penting untuk diingat ketika memilih suatu keris, yaitu : TUHSIRAPUH MORJOYO NGUN-NGGUH, yang bermakna :

·       Wutuh, yaitu keseluruhan dari keris tersebut.

·       Wesi, yaitu bahan logam keris tersebut.

·       Garap, yaitu keahlian empu pembuat keris.

·       Sepuh, yaitu umur/usia keris. semakin tua, nilainya makin tinggi.

·       Pamor, yaitu gambar/motif yang ada pada keris.

·       Wojo. yaitu unsur baja/kekerasan keris tersebut.

·       Guwoyo, yaitu tampilan keris tersebut.

·       Wangun, yaitu keindahan keris.

·       Mungguh, yaitu keselarasan keris tersebut.

 

G. Siraman Pusaka

Di Pulau Jawa, ada tradisi memandikan atau mencuci dan mewarangi keris setahun sekali, pada saat-saat tertentu. Di Keraton Surakarta, baik Keraton Kasunanan maupun Keraton Mangkunegaran tradisi mencuci keris itu disebut Siraman Pusaka, diselenggarakan pada setiap bulan Sura menurut kalender Jawa, atau Muharam menurut sebutan kalender Hijrah.

Begitu pula di Yogyakarta, baik Keraton Kasultanan maupun Keraton Pakualaman. Tradisi itu kemudian ditiru oleh orang-orang di luar keraton, baik di Jawa Tengah, maupun di Jawa Timur. Mereka pun membersihkan kerisnya pada bulan Sura setiap tahun. Tetapi di beberapa daerah lain, tradisi membersihkan keris ini ada yang dilakukan pada bulan Maulud menurut kalender Hijrah.

Sebenarnya, tradisi tahunan ini tidak selalu menguntungkan. Dengan mencuci, membersihkan, dan mewarangi keris setiap tahun, bilah keris akan cepat aus. Seharusnya, keris yang masih terawat baik tidak harus disirami setiap tahun, karena air jeruk yang digunakan sebagai pembersih pada hakekatnya juga melarutkan sebagian besi di permukaan keris itu. Sebilah keris yang terawat dengan baik, cukup dibersihkan dan diwarangi tiga atau empat tahun sekali.

 

H. Posisi Keris dalam Masyarakat Jawa

Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan tertentu misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi Jangkep (busana Jawa lengkap). Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang.

Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol "kejantanan" Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.

Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu, bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini Allah Swt, menciptakan makhluk dalam dua jenis yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.

Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat mendasar di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan itu mulanya dari Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa. Lalu muncul pula kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu bumi/pertiwi.

Yang juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan Kraton yang terdiri dari senjata tajam : tombak pusaka, pisau besar (bendho).

Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Kraton berjalan mengelilingi komplek Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir batin.

Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah.

Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditi bisnis yang tinggi nilainya.

Tosan Aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa saja, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka andalan, seperti Rencong di Aceh, Badik di Makasar, Kujang di Tanah Pasundan, pedang, tombak berujung tiga (Trisula), keris bali, dan lain-lain.

Ketika Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar kalacakra.

Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh dan kuat.

Cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu sehingga kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah serta dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu. Pernah ada suatu pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata.

Ada pula keris yang hanya dipakai untuk kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar-melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekedar hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri seperti watak Arya Penangsang.

Kaitannya dengan Arya Penangsang ialah saat Arya Penangsang berperang melawan Sutawijaya. Karena Penangsang pemarah, emosional, tidak bisa menahan diri, perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang dihujamkan oleh Sutawijaya. Ususnyapun keluar dari perutnya yang robek.

Dalam keadaan ingin balas dendam dengan penuh kemarahan, Penangsang yang sudah kesakitan itu mengalungkan ususnya ke hulu keris di pinggangnya dan terus menyerang musuhnya. Pada saat Penangsang akan menusuk lawannya dengan keris Kyai Setan Kober, begitu keris dihunus, ususnya terputus oleh mata keris pusakanya. Penangsang mati dalam perang dahsyat yang menelan banyak korban. Dari peristiwa itulah muncul ide keris pengantin dengan hiasan untaian bunga mawar dan melati.

Tosan aji atau senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain dianggap bisa menimbulkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel, penambah kepercayaan diri.

Keris atau tombak pusaka yang diberikan Sang Raja kepada bangsawan Keraton mengandung makna kepercayaan dari Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun bila kepercayaan sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk bangsawan yang diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan ditarik/diminta kembali.

Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara filosofi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling kawula – Gusti", bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera.

Selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing secara benar. Demikianlah makna yang dalam dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya.


I.    Kesimpulan

Keris adalah budaya asli Indonesia. Walau pada abad ke-14, nenek moyang bangsa Indonesia pada umumnya beragama Hindu dan Budha, tidak pernah ditemukan bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara lain. Tidak pula ditemukan bukti adanya kaitan langsung antara senjata tradisional itu dengan kedua agama itu.

Didunia perkerisan terdapat istilah-istilah tertentu mengenai keris. Istilah-istilah itu wajib dipahami oleh siapapun yang ingin atau telah memiliki keris, karena akan menentukan cocok-tidaknya antara pemilik dengan sebuah keris. Keris juga dibedakan menjadi keris pusaka dan keris biasa. Keris pusaka adalah keris yang mempunyai “isi” di dalamnya dan biasanya mendapat perlakuan khusus, seperti Siraman Pusaka setiap setahun sekali.  

Di Jawa, tata cara dalam memakai keris disesuaikan dengan kondisi. Jika dalam situasi perang, keris biasanya ditempatkan di depan, sedang untuk sehari-hari, keris ditempatkan di belakang. Di luar Jawa, keris selalu ditempatkan di depan.

Walau termasuk senjata tikam, bagi Orang Jawa keris sebenarnya lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam artian spiritual untuk ‘sipat kandel’. Bagi masyarakat Jawa, keris merupakan Tosan Aji unggulan. Selain dianggap sebagai lambang kejantanan dan kepercayaan, keris-keris tertentu mempunyai kekuatan yang kasat mata serta daya sugesti yang tinggi guna membantu meraih kejayaan bagi pemiliknya.

 

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

  Sejarah Perjuangan Leluhur Bangsa Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih ...