Proses
perkembangan kesadaran manusia berujung pada diraihnya kesempurnaan hidup
(ngelmu kasampurnan), atau ilmu kesempurnaan, wikan sangkan paran. Filsafat
hidup yang termuat di dalam Ngelmu kasampurnan adalah gambaran kesadaran tertinggi
manusia (highest consciuousness). Maka dalam istilah Jawa ilmu kasampurnan
disebut pula ilmu kasunyatan, ilmu tuwa, ilmu sangkan paran. Hampir sepadan
dalam tradisi mistis Islam disebut makrifat.
Idiom
Jawa memiliki banyak istilah untuk menggambarkan manusia yang berhasil
menggapai ilmu kasampurnan, yakni ; jalma
limpat seprapat tamat, jalma sulaksana waskitha (weruh) sadurunge winarah.
Artinya seseorang yang memahami kebijaksanaan hidup dan memiliki kemampuan
mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu serta di luar
kemampuan akal-budi (kawaskithan).
Pedoman
hidup atau kebijaksanaan yang dihayati adalah ; wikan sangkan paran, mulih mulanira, dan manunggal. Memahami asal muasal manusia, kembali kepada Hyang
Mahamulya, dan manunggal ke dalam kesucian Zat.
Pencapaian
kesempurnaan hidup dalam serat Wedhatama disebut sebagai pamoring suksma, roroning atunggil. Menurut serat Wedhatama karya
KGPAA Mangkunegoro IV, ilmu kasampurnan disebut pula sebagai ngelmu nyata, ngelmu luhung atau akekat. Cara pencapaian kesadaran
tingkat tinggi ini, di capai melalui empat tahapan sembah, atau catur sembah;
yakni sembah raga, sembah cipta/kalbu,
sembah jiwa/sukma, dan sembah rasa,
dan meraih rahsa sejati.
Wedha
adalah petunjuk atau laku/langkah, Tama adalah utama atau luhur/mulia, yakni
ilmu tentang perilaku utama atau budi pekerti yang luhur. Dalam serat Wedhatama
mencakup ajaran perilaku ragawi yang kasat mata (solah tingkah), perilaku hati,
dan perilaku batin (bawa/perbawa) yang meliputi jiwa dan rahsa.
Dalam
rangka menggapai kesempurnaan hidup hendaknya ke-empat perilaku tersebut
menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga secara garis besar terbagi menjadi
dua bentuk kesatuan perilaku lahir dan batin. Keduanya harus dibangun dalam
wujud korelasi yang harmonisasi, sinergis antara perbuatan lahir atau solah,
dan perbuatan batin atau båwå. Wujud
solah akan merefleksikan keadaan båwå dalam batin, namun kesadaran båwå juga termanifestasikan ke dalam
wujud solah.
Apabila
tidak terjadi sinkronisasi antara solah dan båwå,
yang terjadi adalah sikap inkonsisten, kebohongan, mencla-mencle atau
plin-plan. Dalam ranah agama disebut sebagai sikap munafik. Sebaliknya
indikator manusia yang telah memperoleh kesadaran tinggi (spiritual)
dalam lingkup ngelmu kasampurnan dapat dicermati tingkat pemahamannya yang
termanifestasikan dalam beberapa barometer berikut ini ;
1. Madu Båså
Meliputi adab, sopan-santun, tata cara,
kebiasaan mengolah tutur kata dalam pergaulan. Madu adalah manis, bukan berarti
konotasi negatif seseorang yang gemar bermulut manis. Namun maksudnya adalah
seseorang yang mampu membawa diri, mawas diri atau mulat sarira.
Kata-kata yang tidak menyakitkan hati orang
lain. Ucapan yang menentramkan hati dan fikiran. Tutur kata yang bijaksana,
bermutu atau berkualitas, dan selalu menyesuaikan pada keadaan dan lawan
bicara. Maka dikatakan ajining diri kerana lathi. Kehormatan atau harga diri
seseorang tergantung pada apa yang ada dalam ucapannya.
Dalam pribahasa Indonesia terdapat tamsil
berupa peringatan agar mewaspadai mulut kita, “mulutmu harimau mu”. Madu Basa
adalah seseorang yang pandai mengolah kata sehingga dalam menyampaikan
kritikan, penilaian, protes dan nasehat mampu menggunakan bahasa yang simple,
mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang lain dan mudah diterima oleh
orang yang dituju.
Itulah bahasa akan menjadi “madu” tergantung
pada kemampuan kita memadu bahasa. Ibaratnya ikan dapat ditangkap dan airnya
tidak menjadi keruh.
2. Madu Råså
Meliputi empan papan, tepa selira, unggah
ungguh, iguh tangguh, tuju panuju, welas asih, kala mangsa, duga prayoga.
Madu rasa adalah bentuk kesadaran tinggi atau
kesadaran batin (SQ). Termanifestasikan dalam rasa kasih sayang yang tulus
kepada sesama, tanpa membedakan suku, agama, warna kulit, golongan,
pandai-bodoh, kaya miskin, drajat pangkat.
Sebuah kesadaran batin yang mampu memahami
bahwa derajat manusia adalah sama di hadapan Sang Pencipta. Perbedaan kemuliaan
hidup seseorang ditentukan tingkat kesadaran lahiriah dan batiniahnya, serta ditentukan
oleh perilaku dan perbuatannya apakah bermanfaat atau tidak untuk sesama.
Seseorang yang menghayati madu rasa, mampu
ngemong (mengendalikan) gejolak nafsu diri sendiri, maupun ngemong gejolak
nafsu orang lain. Keadaan mental seseorang madu rasa, memiliki kematangan,
tangguh, ulet dan tekun, bertekad kuat, gigih dan tidak mudah putus asa, segala
sesuatu terencana secara matang, memperhitungan segala resiko. Cermat, cakap,
tanggap, empatik dan peduli lingkungan.
3. Madu Bråtå
Pertama, meliputi sikap eling dan waspadha,
eling terhadap sangkan paraning dumadi, dan waspadha terhadap segala hal yang
menjadi penghambat upaya mencapai nglemu kasampurnan.
Kedua, madu brata diistilahkan pula
keberhasilan sikap sebagai nawung kridha. Untuk menyebut seseorang yang dapat
menyaksikan sendiri bahwa dalam menempuh kemuliaan hidupnya diperlukan
kesadaran lalu memahami akan karakter, sifat-sifat, tabiat alam, gejala dan
tanda-tanda kebesaran Hyang Maha Mulya yang sangat beragam.
Madu brata, “madu”nya perilaku dalam
menjalani kehidupan ini. Terletak pada kesadaran bahwa manusia sebagai jagad
kecil, dan alam semesta sebagai jagad besar memiliki hubungan yang harmonis dan
sinergis. Namun demikian manusia lah yang harus pandai beradaptasi dan sensitif
dalam merespon gejala alam. Madu bråtå sepadan dengan sikap hamemayu hayuning
bawånå.
Ketiga, pangastuti dan rasa sejati yang
dimilikinya dapat dimanage dengan baik, bukan lagi menjadi alam bawah sadar
namun telah berhasil membangkitkan kesadaran mutlak yang mampu meredam watak
sura dira jayaningrat melebur dalam pangastuti.
Seseorang memiliki daya batin yang jinurung
ing gaib, yakni sejalan dengan rumus Tuhan yang terangkum dalam hukum alam,
atau kodrat alam lahir maupun alam batin sebagai “bahasa” dari kodrat Ilahiah. Maka
Idune idu geni (ludahnya ludah api), kehendaknya adalah kehendak Tuhan,
sehingga apa yang diucap terwujud (sabda pendhita ratu).
Senada
dengan serat Wedhatama, dapat dilihat dalam Filsafat Widyatama, terdapat dalam
suluk Sukma Lelana, karya KRT Ronggo Warsito. Di dalamnya terdapat ajaran
tentang Widyatama atau ajaran tentang lakutama, yakni perilaku utama, atau budi
pekerti yang luhur.
Dikemas
dalam bentuk seni sastra dan budaya lainnya yang mengandung nilai filsafat
kehidupan adiluhung, dalam rangka meraih kearifan dan kebijaksanaan hidup
(ngudi kawicaksanan), serta mengupayakan kesempurnaan hidup (ngudi
kasampurnan).
Di
dalamnya diungkapkan beberapa tataran kesadaran manusia, yakni kesadaran jasad,
kesadaran batin dan tentang kesempurnaan (kasampurnan). Orang yang ngudi
kawicaksanan dan kawaskitan disebut sebagai seorang jalma sulaksana.